oleh

Inilah Sikap yang Benar Menanggapi Hari Raya Nonmuslim

Akhir-akhir ini banyak masyarakat nonmuslim yang tengah merayakan hari raya mereka. Masing-masing sesuai dengan keyakinannya.

Sebagai seorang muslim yang berusaha menjalankan syariat Islam dengan seutuhnya, tentu harus mempunyai sikap yang benar tentang hal ini. Oleh sebab itu pada tulisan singkat kali ini kita akan mengupas sebuah pembahasan bertajuk: sikap yang benar menanggapi hari raya nonmuslim.

Pada pembahasan kali ini akan kami sebutkan ayat al-Quran, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atsar para Sahabat, tabi’in dan para imam terdahulu tentang permasalahan ini. Semoga bermanfaat.

Ayat al-Quran Tentang Hari Raya Nonmuslim

Allah ‘Azza wa Jalla berkata di dalam al-Quran,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّور

“dan orang-orang yang tidak menghadiri zur (kepalsuan)1.”(al-Furqan: 72)

Pakar tafsir dari kalangan Tabi’in, Mujahid rahimahullah menafsirkan makna “zur”adalah hari raya orang-orang musyrik. Demikian pula para tabi’in yang lain seperti, Rabi’ bin Anas, ad-Dhahak dan Muhammad bin Sirin, menyebutkan tafsir yang sama.2

Sehingga ayat ini merupakan pujian bagi orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah tidak menghadiri zur yang ditafsirkan dengan hari raya orang musyrik. Juga padanya terdapat hasungan untuk tidak menghadiri kegiatan hari raya mereka, terlebih lagi mengadakannya.

Allah Telah Menetapkan Dua Hari Raya untuk Kaum Muslimin

Sahabat Anas bin Malik pernah mengisahkan, dahulu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati dua hari raya yang penduduk Madinah bersukaria pada hari itu. Maka beliau bertanya, “Dalam rangka apa dua hari ini?” para Sahabat menjawab, dahulu kami biasa bermain-main pada dua hari ini ketika zaman Jahiliyah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya yang lebih baik untuk kalian, yaitu Idul ‘Adha dan Idul Fitri.”(HR. Abu Dawud no. 1134, sahih)

Pada hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakui hari raya penduduk Madinah di masa Jahiliyah yang notabene mereka masih musyrik ketika itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan dua hari yang lain, menunjukkan hari raya mereka harus ditinggalkan.

Demikian pula pada saat hari-hari Mina, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu,

يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمَ

“Abu Bakr, sesungguhnya masing-masing kaum punya ied dan ini adalah hari ied kita.”(Muttafaq ‘alaih)

Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa hari raya ied merupakan kekhususan tiap-tiap kaum. Oleh karena itu kaum Yahudi dan Nasrani punya ied tersendiri, maka kita tidak boleh ikut serta dalam hari ied mereka.


Baca juga: Hukum Shalat Ied di Tengah Kota dan Tanah Milik Non Muslim


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menyelisihi Hari Raya Nonmuslim

Suatu ketika Kuraib salah satu bekas budak Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan beberapa Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya diutus untuk menemui Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha: “Pada hari apa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam paling banyak berpuasa?”

Beliau radhiyallahu ‘anha menjawab, “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam paling sering berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُمَا يَوْمَا عِيدٍ لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَهُمْ

“Kedua hari itu (Sabtu dan Ahad -ed) adalah hari raya orang-orang musyrik, maka aku ingin menyelisihi mereka (dengan mengerjakan puasa –ed).” (HR. Ibnu Khuzaimah, sahih)3

Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai junjungan kita saja menyelisihi kaum musyrik di hari raya mereka, tentu kita ingin mengikuti petunjuk beliau. Bukan malah berpartisipasi dengan kaum nonmuslim dalam hegemoni perayaan hari raya mereka.


Baca juga: Hukum Mengikuti Perayaan Hari Raya Nasrani


Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Melarang Nonmuslim Menampakkan Hari Raya Mereka

Dahulu Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memberi berbagai persyaratan kepada nonmuslim yang tinggal bersama kaum muslimin. Di antara syarat yang ditetapkan, bahwa mereka tidak diperkenankan menampakkan hari raya mereka di tengah-tengah umat Islam4. Apabila hari raya mereka saja tidak boleh ditampakkan di masa itu, maka apakah boleh kita turut merayakannya sekarang?

Pada kesempatan yang lain Umar radhiyallahu ‘anhu secara tegas melarang kaum muslimin untuk bergabung bersama orang-orang musyrik yang tengah merayakan hari ied mereka. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ , فَإِنَّ السَّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ

“Janganlah kalian belajar bahasa orang-orang ajam dan jangan kalian bergabung dengan orang-orang musyrik di gereja-gereja mereka pada saat hari ied mereka. Sebab, kemurkaan akan turun kepada mereka.”(HR. Baihaqi no. 18861, sahih)5

Dalam atsar yang lain beliau mengatakan,

اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللهِ فِي عِيدِهِمْ

“Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari ied mereka!”(HR. Baihaqi no. 18862)


Baca juga: Perbedaan Puasa Syiah dengan Puasa Islam


Bagi yang Memeriahkan Hari Raya Nonmuslim Akan Dibangkitkan Bersama Mereka di Hari Kiamat

Dari Sahabat Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَنْ بَنَى بِبِلَادِ الْأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa tinggal di negeri orang ajam, kemudian ia ikut serta dalam hari raya Nairuz6 dan Mihrajan7 mereka, serta menyerupai mereka hingga ia mati dalam keadaan demikian; ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”(HR. Baihaqi no. 18863, sahih)8

Demikian ia dianggap sama dengan orang-orang ajam yang mempunyai adat hari Nairuz dan Mihrajan. Sebab, ia mengerjakan amalan yang menjadi kekhususan mereka, sehingga ia digolongkan sama dengan mereka. Sebagaimana hal ini disabdakan pula oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka akan digolongkan sama dengannya.”(HR. Abu Dawud no. 4031, sahih)

Berdasarkan ayat, hadits dan kalam para salaf di atas menjadi jelas bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap menanggapi berbagai hari raya nonmuslim. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk selalu mengikuti bimbingan syariat Islam dengan penuh keikhlasan dan keseriusan.

FAI-AAK


1 Secara etimologi, Zur adalah sesuatu yang dipoles dan dikemas sehingga nampak indah padahal tidak demikian senyatanya. Lihat Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim (1/482)

2 Lihat tafsir Ibnu Katsir (3/328,329), tafsir Ibnu Jarir (31/19) dan ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi (5/80).

3 Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah (2167)

4 Lihat kitab Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim karya Ahmad bin Abdul Halim.

5 Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim (1/511).

6 Nairuz adalah hari raya orang-orang persia yang beragama Majusi yang dirayakan pada awal tahun baru mereka. Lihat al-Qamus al-Muhith (2/200)

7 Mihrajan juga merupakan salah satu hari raya orang persia yang bertepatan pada tanggal 26 Oktober berdasarkan penanggalan mereka. Lihat Nihayatul Arab (1/187).

8 Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim (1/513).

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *