oleh

Pantaskah Seorang Muslim Merayakan Tahun Baru Masehi?

Pesta kembang api, hiburan, hingga pesta musik dan hura-hura yang menghabiskan banyak biaya, demikianlah warna-warni momen tahun baru yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya. Yang lebih memprihatinkan, di antara mereka ikut serta dalam memeriahkannya, tanpa tahu-menahu apa yang sebenarnya tersimpan di balik perayaan tahun baru itu sendiri.

Padahal di dalamnya sangat banyak kemungkaran bahkan perkara-perkara yang menyelisihi aqidah Islam.

Oleh karena itu kami di sini terdorong untuk menjelaskan hakekat perayaan malam tahun baru masehi dan hukumnya berdasarkan tinjauan Islam. Demikian pula, di sisi lain bahayanya bagi aqidah dan keimanan seorang muslim. Semoga dengan penjelasan ringkas ini kaum muslimin sadar serta waspada dari makar musuh Islam yang tak henti-hentinya terus melancarkan makarnya, untuk memurtadkan kaum muslimin dari agama mereka atau minimalnya merusak keislaman dan keimanan mereka. Nas’alullaha as salama wal a’fiyah.

Cikal Bakal Tahun Baru

Cukup penting untuk mengetahui cikal bakal munculnya perayaan tahun baru masehi dan latar belakang terjadinya. Agar dengannya dapat diketahui asal muasal dan sebab yang melatar belakangi munculnya perayaan tahun baru masehi.

Menurut beberapa sumber, perayaan tahun baru awal kali muncul pada zaman Kekaisaran Romawi, tepatnya di era pemerintahan Julius Caesar, meskipun saat itu masih terhitung masa Sebelum Masehi (SM).

Tak berselang lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Romawi, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan atau kalender tradisional Romawi yang telah dicanangkan sejak abad ke-7 SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli Astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru tersebut dibuat mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Julius Caesar dan Senat (dewan perwakilan rakyat) Romawi kemudian memutuskan bahwa tanggal 1 Januari sebagai hari pertama dalam kalender baru tersebut.

Istilah Januari sendiri diambil dari nama salah satu dewa dalam mitologi bangsa Romawi, yakni Dewa Janus.

Kenapa nama Dewa Janus yang dipilih sebagai nama pertama bulan tahun baru dalam kalender baru Romawi yang ada saat ini?

Dijelaskan dalam buku mereka (New Year’s Celebrations (2007)), Dewa Janus memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan belakang. Dalam kepercayaan orang Romawi, Janus diyakini sebagai dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk.

Mereka membayangkan satu wajah Dewa Janus melihat ke tahun lama sedangkan wajah lainnya menatap hari-hari ke depan di tahun baru.

Bagaimana Tradisi Awal Masyarakat Romawi Merayakan Pergantian Tahun Baru?

Sejak diberlakukan kalender baru tersebut (yang dibuat oleh Julius), pada tengah malam menjelang pergantian tahun, yaitu pada tanggal 31 Desember, orang-orang Romawi menggelar perayaan untuk menghormati Dewa Janus.

Mereka memulai tradisi dengan saling memberikan hadiah pada malam tahun baru.

Menurut keyakinan mereka, akhir tahun lama dan awal tahun baru adalah momen yang tepat untuk memberikan hadiah bermakna, biasanya berupa ranting dari pohon-pohon keramat, atau perak dan emas, yang melambangkan keberuntungan.

beragam jenis makanan disajikan, terutama madu dan permen yang dianggap sebagai simbol kedamaian. Rumah dan lingkungan sekitar dihias dengan lampu berwarna-warni dengan harapan satu tahun ke depan akan dilalui dengan penuh dengan cahaya atau kecemerlangan dalam hidup.

Tak lupa, sebagai wujud penghormatan kepada Dewa Janus, orang-orang Romawi mempersembahkan koin-koin emas dengan gambar dewa mereka itu. Harapannya, Dewa Janus akan selalu memberkati mereka dalam kehidupan setahun ke depan.

Tradisi ini terus berlanjut dari masa ke masa dan dilakukan deberbagai negara-negara kuffar (orang-orang kafir) mereka terus mengembangkannya, berbagai jenis upacara, perayaan-perayan tempat-tempat hiburan mereka difasilitasi semeriah mungkin, agar lebih menarik banyak peminat dari seluruh kalangan. Allahul musta’an

Terlepas dari benar dan tidaknya sejarah perayaan tahun baru. Yang jelas bahwa perayaaan tahun baru memang pertama kali dicetuskan oleh orang-orang kafir, dan merupakan ciri dan kebiasaan mereka. Sedangkan kita kaum muslimin dilarang mengikuti dan meniru mereka.

Fatwa Ulama Terkait Perayaan Tahun Baru Masehi

Dinukil dari al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (dewan komite riset penelitian Islam dan Fatwa) sebuah pertanyaan,

Penanya berkata, “Didapati Sebagian kaum Muslimin yang ikut merayakan hari raya orang kafir dan hari raya yang tidak Allah syariatkan, semisal hari Ibu, hari Sham El-Nessim1, tahun baru. Apa hukum orang yang ikut merayakan perayaan semacam ini?”

Jawaban: “semua hari raya yang disebutkan itu adalah bidah, tidak boleh merayakan dan menjadikannya sebagai hari raya, karena dalam Islam hanya ada dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha. Sehingga wajib baginya (sang penanya) dan siapapun yang Allah beri cahaya ilmu dan pengetahuan tentang permasalahan ini agar menyampaikan nasehat dan bimbingan dengan santun dan penuh kelembutan kepada orang yang merayakannya. Harapannya ia mau berhenti darinya, namun jika ternyata tidak, maka dia (sendiri) yang berdosa akibat perbuatannya.”2

Perayaan Tahun Baru Tasyabbuh Dengan Orang-Orang Kafir

Telah kita ketahui bersama bahwa perayaan tahun baru merupakan ajaran yang murni dibuat oleh orang-orang kafir dari bangsa Romawi yang diwarnai dengan keyakinan terhadap dewa-dewa mereka yang tentunya itu semua adalah kesyirikan.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa perayaan awal tahun baru masehi adalah sebuah tradisi orang-orang kafir yang sangat kental dengan kefasikan, kemungkaran bahkan kesyirikan dalam aqidah.

Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari sikap menyerupai dan meniru kebiasaan dan perbuatan orang-orang kafir. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai sebuah kaum maka ia digolongkan bersama mereka.” 3

Dalam Riwayat lain,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا، لَا تَشَبَّهُوا بِاليَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai selain kami. Jangan kalian menyerupai umat Yahudi ataupun Nasrani.” 4

Selain menyerupai orang-orang kafir, orang yang ikut merayakan tahun baru masehi berkonsekuensi, sadar maupun tidak, ia ridho jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala dipersekutukan dengan dewa-dewa mereka seperti Janus dan semisalnya, dan juga ridho dengan symbol-simbol kekufuran.

Ikut Merayakan Tahun Baru Meruntuhkan Prinsip Al-Wala’ dan Al-Bara’

Salah satu prinsip Islam yang amat mendasar adalah prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci karena Allah). Seorang muslim dituntut untuk merealisasikan prinsip tersebut dalam bentuk amalan. Antara lain dengan membenci perayaan-perayaan semisal ini, karena jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Seorang muslim yang jujur dan benar keimanannya, pasti memiliki sikap al-Wala’ (cinta kerena Allah dan dijalan-Nya) dan al-Bara’ (benci dan berlepas diri karena Allah dan dijalan-Nya). Dan ini merupakan bagian dari pilar keimanan yang kokoh.

Allah Ta’ala berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu dari kalangan bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tancapkan keimanan dalam hati mereka dan Allah kokohkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Allah masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, merekapun ridho terhadap-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa golongan Allah pasti beruntung.” (al-Mujadilah: 22)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi penolong dan pembela (mu); sebahagian mereka adalah penolong dan pembela bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian yang berloyal kepada mereka, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)

Menghambur-hamburkan Harta

Sudah menjadi hal yang lazim dan mesti terjadi dalam perayaan tahun baru, selalu diwarnai dengan berbagai hiburan dan pesta kembang api. Tentu hal itu akan menghabiskan biaya yang tak sedikit sementara membelanjakan harta dalam hal seperti ini termasuk Tabdzir (menghambur-hamburkan harta) pada hal yang sia-sia, padahal di sana masih banyak orang-orang yang membutuhkan.

Perbuatan ini sangat bertentangan dengan norma-norma Islam yang mengajarkan hidup hemat dan tidak membelanjakan harta kecuali pada hal yang bermanfaat, baik dalam urusan dunia terlebih akhirat. Adapun menghambur-hamburkan harta (Tabdzir) adalah sikap yang tercela dalam Islam bahkan Allah menggolongkan orang-orang yang boros dan suka menghambur-hamburkan harta sebagai saudara setan. Sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (al-Isra’: 27)

Dan sifat Tabdzir merupakan sifat yang terlarang,

لَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Janganlah berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31)

Sikap Bijak Dalam Menyikapi Tahun Baru

Syariat Islam yang mulia dan sempurna memerintahkan umatnya untuk menyelisihi cara dan metode orang-orang kafir dalam beragama, serta bersikap bijak dan adil dalam menyikapi sebuah masalah, menimbang antara maslahat (manfaat) dan madhorrat (bahaya), demikian pula meninggalkan perkara-perkara yang dapat meruntuhkan pilar-pilar Islam dan dapat merusak iman dan taqwa.

Sikap seorang muslim yang benar dan bijak dalam menyikapi tahun baru, adalah dengan tidak ikut merayakan atau berpartisipasi di dalamnya, hendaknya seorang mukmin sibuk dengan amal shalih demi menyiapkan bekal menyongsong kehidupan setelah kematian, demikianlah seorang mukmin yang cerdas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, siapakah mukmin yang paling cerdas? Beliaupun menjawab,

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ

“(Mereka) yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapan untuk menghadapinya, merekalah orang-orang cerdas.”5

Perbanyaklah berbuat amal shalih dan kebajikan lainnya, bertaubatlah dari dosa-dosa pada hari-hari yang telah lampau dan rencanakanlah target kebaikan untuk menyongsong hari ke depan.

Semoga kita digolongkan oleh Allah Ta’ala termasuk hamba-hamba-Nya yang cerdas dan diberi taufiq untuk untuk tidak berucap dan beramal kecuali sesuai bimbingan ilmu syariat, al-Qur’an dan as-Sunnah. Amin!

USN-IWU

Penulis: Usamah Najib

Referensi:

  • Shahih Wad Dha’if Sunan Ibnu Majah, karya Imam al-Albani rahimahullah
  • Irwa’ al-Gholil, karya Imam al-Albani rahimahullah
  • Shahih alJami’i as-Saghir Wa Ziyadatuh, karya Imam al-Albani rahimahullah
  • Sunan Abu Dawud
  • Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’
  • Sunan Ibnu Majah
  • Sunan at-Tirmidzi

 

Footnotes

  1. Sham El-Nessim adalah sebuah tradisi di Mesir pada musim semi yang diambil dari zaman mesir kuno yang kemudian dicampur dengan tradisi Kristen.
  2. Dinukil dari Lajnah ad-Daaimah fatwa no. 16419

    س 1: هناك من المسلمين من يحتفلون بأعياد غير المسلمين وأعياد ما أنزل الله بها من سلطان، مثل عيد الأم، عيد شم النسيم، عيد رأس السنة. ما حكم من يحتفل بهذه الأعياد؟

    ج1: كل هذه أعياد بدعية لا يجوز الاحتفال بها ولا اتخاذها عيدا، وليس في الإسلام سوى عيدين: عيد الفطر، وعيد الأضحى، وعليه فعلى من نور الله بصيرته بمعرفة الحق في ذلك النصح والإرشاد برفق ولين لمن يقيم الاحتفال بهذه الأعياد البدعية، فإن أقلع عنها وإلا فهو مصر على بدعة يأثم بفعلها

     

  3. HR. Abu Dawud no. 4031. Dari shahabat Ibnu Umar. Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil no. 2384.
  4. HR. at-Tirmidzi. 2695, dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya. Dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’i as-Saghir Wa Ziyadatuh no. 5434. Hal. 2/956
  5. HR. Ibnu Majah dalam sunannya no. 4259 , dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Wad Dha’if Sunan Ibnu Majah (9/259)
join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *