oleh

Siapakah Wali Allah? Berikut Ini Penjelasan dan Ciri-cirinya

Sudah tertanam di benak sebagian orang bahwa wali adalah seorang yang mempunyai berbagai ciri khusus. Wali dianggap sebagai sosok yang memiliki kemampuan di atas rata-rata manusia biasa. Pembahasan wali sarat dengan hal-hal ajaib di luar nalar. Itu semua diyakini sebagai bentuk karamah dari Allah kepadanya.

Inilah yang kerap digambarkan oleh media. Dipertontonkan bahwa wali Allah itu bisa terbang, bisa mengeluarkan sinar dari kantong jubahnya, tidak bisa disakiti benda tajam, dan lain sebagainya. Tidak heran jika banyak masyarakat kita yang keliru memahami sosok wali Allah.

Lantas siapakah sebenarnya wali Allah yang dimaksud dalam Islam? Berikut ini penjelasan dan ciri-ciri Wali Allah berdasarkan gambaran al-Quran dan al-Hadits.

Akar Kata Wali dalam Bahasa arab

Sebelum mengenal siapakah wali Allah dan bagaimana ciri-cirinya, maka penting kiranya kita sedikit menyelami akar kata wali itu sendiri. Dengan itu, harapannya kita dapat memahami maknanya dengan tepat, sesuai dengan bahasa al-Quran dan al-Hadits (Bahasa Arab). Kata wali (وَلِيٌّ) di dalam Bahasa Arab dapat dimaknai dengan beberapa arti berikut:

Pertama, berasal dari kata walayah (وَلَايَةٌ) yang bermakna pertolongan. Sehingga kata wali dapat diartikan sebagai penolong. Hal ini diinterpretasikan di dalam firman Allah:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Hanyalah wali (penolong) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang menegakkan shalat, menunaikan zakat, dalam keadaan mereka rukuk.” (al-Maidah: 55)

Kedua, berasal dari kata wala’ (ولاء) yang bermakna kecintaan dan loyalitas. Maka wali dapat diartikan orang yang mencintai dan berloyal kepada seseorang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Wahai Orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali (orang yang dicintai dan diberikan loyalitas kepada mereka). Sebahagian mereka itu wali bagi sebahagian lainnya. Barangsiapa di antara kalian yang ber-wala’ kepada mereka, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (al-Maidah: 51)

Ketiga, wali juga bisa dimaknai dengan orang yang dekat. Maka wali Allah adalah orang yang dekat kepada Allah karena senantiasa mengerjakan ketaatan kepada-Nya. Dikatakan hadza yali hadza (هذا يلي هذا), artinya: “yang ini dekat dengan yang itu.” Maka disebutkan di dalam al-Quran tentang sifat wali Allah:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

“Sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula rasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Demikian beberapa makna yang terkandung dalam kata wali yang dimuat di dalam al-Quran.1

Siapakah Wali Allah?

Dengan keterangan di atas, maka Wali Allah adalah orang yang mendapat bantuan dari Allah dalam urusannya dan mendapat perhatian khusus dari-Nya disebabkan kesalehan yang ada pada dirinya. Hal ini selaras dengan ayat al-Quran yang menyatakan bahwa Allah akan menolong dan membela orang-orang yang beriman. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا

“Sungguh Allah membela orang-orang yang beriman.” (al-Hajj: 38)2

Sifat kesalehan dan ketakwaan adalah ciri-ciri yang paling menonjol pada diri seorang wali. Sebagaimana sifat ini dengan jelas diberitakan Allah Azza wa Jalla di dalam al-Quran,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

“Sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula rasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Tentang ayat tersebut al-Mufassir Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa para wali-Nya adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana Allah tafsirkan secara langsung. Maka setiap orang yang bertakwa adalah wali Allah.”3

Disebutkan di dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyatakan tentang wali Allah yang dimaksud, beliau bersabda:

أَوْلِيَاءُ اللهِ تَعَالَى الَّذِيْنَ إِذَا رُؤُوا ذُكِرَ اللهُ تَعَالَى

“Para wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat maka Allah akan diingat.”

Al-Munawi rahimahullah menjelaskan, “yaitu apabila orang lain melihat mereka, maka ia akan berzikir mengingat Allah karenanya. Sebab pada diri mereka terpancar tanda-tanda kesalehan, ciri-ciri kewalian, serta cahaya terang.”4

Ash-Shon’ani rahimahullah juga menyebutkan, “hal itu karena tanda-tanda ketakwaan dan rasa takut terhadap Allah yang nampak karena bagusnya bahasa tubuh dan ketenangan mereka. Juga karena mereka senantiasa mengingatkan tentang Allah dengan lisannya, gerakannya, bahasa tubuhnya dan ketenangannya.”5

Di dalam ayat lainnya Allah menegaskan bahwa wali-wali-Nya hanyalah orang yang bertakwa bukan yang lain, Allah berfirman:

إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلاَّ الْمُتَّقُونَ

“Tidak lain wali-wali-Nya hanyalah orang-orang yang bertakwa.” (al-Anfal: 34)

Tentu, sifat takwa mengharuskan adanya ilmu tentang syariat. Karena hakikat ketakwaan itu menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya atas dasar rasa takut terhadap azab dan ancaman-Nya; disertai harapan untuk meraih keridhaan serta surga-Nya. Butuh tafaquh fiddin, mendalami ilmu agama agar bisa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dengan tepat.

Hal ini menunjukkan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang memiliki ilmu tentang syariat Allah dan mengamalkan ilmunya. Itulah wali Allah yang sesungguhnya.

Apakah Wali Allah Tidak Perlu Lagi Menjalankan Syariat?

Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah menyebutkan, ada sebagian kelompok asketis (ahli ibadah) yang beranggapan bahwa ibadah dapat menyampaikan seseorang kepada suatu kedudukan yang dapat membebaskan dirinya dari perbuatan terlarang, sehingga perbuatan itu diperbolehkan baginya dan tidak diperbolehkan bagi selainnya. Seperti halnya ia diperbolehkan berbuat zina ataupun perbuatan maksiat lainnya.6

Anggapan seperti ini banyak beredar di masyarakat. Yaitu, stigma bahwa para wali itu orang dekatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak perlu lagi shalat, puasa dan ibadah lainnya. Sudah ma’rifat katanya. Zina dan minum khamer pun tidak ada masalah, sudah diampuni Allah!

Coba sejenak kita merenungi sifat wali-wali Allah yang disebutkan al-Quran, bukankah mereka itu orang-orang yang beriman dan bertakwa? Mengerjakan perintah Allah; termasuk shalat, puasa, zakat dan lainnya. Serta menjauhi larangan Allah; termasuk zina, minum khamer dan sebagainya!

Cukup kita ambil contoh dan teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pimpinan para wali Allah. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengisahkan, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat malam sampai kedua kakiknya bengkak. Lantas ‘Aisyah pun bertanya, “Ada apa gerangan anda melakukan hal ini wahai Rasulullah? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang lalu maupun yang akan datang!”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa aku tidak senang, jika aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”7

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga masih mengingatkan Rasul-Nya tentang bab takwa. Pada sekian kesempatan Allah menegur langsung Sang Kekasih dengan teguran takwa. Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Wahai Nabi, bertakwalah anda kepada Allah, dan jangan anda mengikuti orang-orang kafir dan munafik itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Ahzab: 1)

Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja masih harus menekuni ibadah dan menjaga ketakwaan pada dirinya, tentu keharusan bagi yang selain beliau jauh lebih besar. Lantas bagaimana mungkin ada yang mengaku pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbebas dari ibadah dan takwa? Sehingga bisa leluasa menerjang syariat Allah yang senantiasa dijaga oleh Nabi-Nya?

Apa Benar Para Wali Bisa Melakukan Hal-hal Luar Biasa?

Imam asy-Syafi’i pernah menuturkan, “Jika anda melihat ada orang yang berjalan di atas air atau bisa terbang di langit, maka jangan anda tertipu dengannya sampai anda mencocokkan amal perbuatannya dengan al-Quran dan Sunnah.”8

Pada intinya jangan mudah percaya dengan orang-orang yang bisa melakukan hal-hal luar biasa seperti di atas. Sebab, belum tentu yang bisa melakukannya adalah wali Allah. Bahkan yang sering mempertontonkan hal-hal di atas adalah para tukang sulap, dukun, paranormal, ahli supranatural dan sebagainya. Penjelasan lebih detil tentang hal ini bisa merujuk kepada artikel dengan judul Karamah Para Wali.

Kesimpulannya, Siapakah wali Allah? Maka jawabannya adalah sebagaimana tersebut pada ayat, yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Inilah ciri utama para wali Allah yang nampak pada diri mereka. Bukan orang yang mampu melakukan berbagai keanehan atau hal-hal janggal di luar kebiasaan manusia, apalagi orang yang mengaku bebas dari syariat Allah. FAI-

Penulis: Fahri Abu Ilyas

Referensi:

  1. Al-Furqan Baina Auliya’ ar-Rahman wa Auliya’ asy-Syaithan, karya Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah al-Harrani
  2. Tashih al-Mafahim fi Jawanib minal Aqidah, karya Muhammad Aman al-Jami
  3. Faidhul Qadir, karya al-Munawi
  4. At-Tanwir Syarah al-Jami’ ash-Shaghir, karya ash-Shan’ani
  5. Tafsir al-Quran al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir
  6. Thabaqat asy-Syafi’iyyah, karya Ibnu Katsir
  7. Maqalat al-Islamiyyin, karya Abul Hasan al-Asy’ari

Footnotes

  1. Lihat al-Furqan baina Auliya’ ar-Rahman wa Auliya’ asy-Syaithan
  2. Lihat Tashih al-Mafahim (hlm. 123)

    الولي من تولى الله أمره وخصه بعنايته لصلاحه لأن الله يتولى الصالحين ويحب المؤمنين ويدافع عنهم {إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا}

  3. Tafsir Ibnu Katsir (4/278)

    يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّ أَوْلِيَاءَهُ هُمُ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ، كَمَا فَسَرَّهُمْ رَبُّهُمْ، فَكُلُّ مَنْ كَانَ تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا

  4. Faidhul Qadir (2/528)

    يعني إذا رآهم الناس ذكروا الله برؤيتهم لما هم عليه من سمات الصلاح وشعار الأولياء وضياء الأصفياء

  5. at-Tanwir Syarah al-Jami’ ash-Shaghir (4/381)

    لما فيهم من سيما التقوى وظهور الخشية لله من حسن الهيئة والسكينة، ولكونه مذكرًا بالله بنطقه، وهيئته، وحركته، وسكونه

  6. Maqalat Islamiyyin (1/344)

    وفي النساك قوم يزعمون أن العبادة تبلغ بهم إلى منزلة تزول عنهم العبادات وتكون الأشياء المحظورات على غيرهم من الزنا وغيره مباحات لهم

  7. HR. al-Bukhari no. 4837 di dalam Shahihnya.
  8. Thabaqat asy-Syafi’iyyah (hlm. 32)

    إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء، ويطير في الهواء، فلا تغتروا به، حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *