oleh

Adakah Amalan Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban?

-Manhaj-2,083 views

Menyambut malam nisfu sya’ban telah menjadi tradisi di berbagai negeri muslim yang terulang setiap tahunnya. Bahkan, ada beberapa amalan khusus pada malam nisfu sya’ban yang telah diyakini dan diamalkan oleh sebagian saudara kita kaum muslimin. Begitu juga beberapa hadits yang dijadikan dasar untuk beramal di malam nisfu Sya’ban sering diperdengarkan.

Fenomena ini, mendorong kita untuk mengetahui sejauh mana keshahihan dalil-dalil yang menyebutkan tentang amalan-amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban. Hal ini penting sebagai bentuk upaya untuk selalu melandaskan seluruh amalan di atas dalil yang shahih dan kuat. Mari kita simak bersama pembahasan tersebut.


Baca juga: Keutamaan Puasa di Bulan Sya’ban


Dalil-Dalil tentang Amalan Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban

Tentang amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban terdapat beberapa hadits yang telah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin. Di sini kami insyaAllah akan menyebutkan hadits-hadits tersebut beserta hukum terkait derajatnya.

1.   Mengkhususkan Ibadah Shalat dan Puasa pada Nisfu Sya’ban

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا، وَصُومُوا نَهَارَهَا

“Jika tiba malam nisfu (pertengahan) Sya’ban, maka kerjakanlah shalat di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.”1

Derajat hadits yang pertama ini sebagaimana penjelasan ulama pakar hadits, bahwa didapati padanya kecacatan pada sanadnya (jalur periwayatannya), sehingga menyebabkan hadits ini menjadi hadits yang sangat lemah bahkan dihukumi sebagai hadits palsu,2 karena terdapat seorang perowi (yang meriwayatkan hadits ini) bernama Ibnu Abi Sabrah (Abu Bakr bin Abdillah bin Muhammad al-Qurasyi).3

Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang Ibnu Abi Sabrah, “Dia tidak teranggap karena dia sering memalsukan hadits dan berdusta.”4

Imam al-Bukhari rahimahullah juga berkata tentangnya (yang artinya), “Dia adalah perowi hadits yang lemah.”5

2.   Terkabulnya Do’a pada Malam Nisfu Sya’ban

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ

“Sungguh Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’ban kemudian Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa meskipun jumlahnya lebih banyak daripada jumlah bulu dari domba-domba milik Bani Kalb.”6

Imam al-Bukhari rahimahullah menilai hadits ini dha’if (lemah), sebagaimana sang murid dari Imam al-Bukhari yang terkenal dengan keilmuan dan keahliannya dalam bidang ilmu hadits Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan:

“Aku mendengar Muhammad (nama Imam al-Bukhari) melemahkan hadits ini.”7

3.   Do’a Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban

Terdapat sebuah do’a yang diyakini termasuk amalan yang dikhususkan pada malam nisfu Sya’ban. Doa tersebut disebutkan dalam sebuah hadits dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

مَا دَعَا عَبْدٌ بِهَذِهِ الدَّعَوَاتِ إِلَّا وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي مَعِيشَتِهِ

“Tidaklah seorang hamba berdo’a dengan do’a berikut ini kecuali Allah Ta’ala akan melapangkan kehidupannya;

يَا ذَا الْمَنِّ , وَلَا يُمَنُّ عَلَيْكَ , يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ , يَا ذَا الطَّوْلِ , لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ , ظَهْرُ الَّاجِئِينَ , وَجَارُ الْمُسْتَجِيرِينَ , وَمَأْمَنُ الْخَائِفِينَ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي فِي أُمِّ الْكِتَابِ عِنْدَكَ شَقِيًّا فَامْحُ عَنِّي اسْمَ الشَّقَاءِ , وَاثْبِتْنِي عِنْدَكَ سَعِيدًا , وَإِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي فِي أُمِّ الْكِتَابِ مَحْرُومًا مُقَتَّرًا عَلَيَّ رِزْقِي , فَامْحُ عَنِّي حِرْمَانِي وَتَقْتِيرِ رِزْقِي , وَاثْبِتْنِي عِنْدَكَ سَعِيدًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرِ , فَإِنَّكَ تَقُولُ فِي كِتَابِكَ {يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ}

Wahai Dzat Yang Maha Pemurah, tidak ada yang dapat memberikan kemanfaatan kepada-Mu. Wahai Dzat Yang Maha Agung lagi Mulia, Dzat Yang Maha Sempurna. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Engkau semata. Engkaulah tempat bersandar orang yang meminta perlindungan dan tempat berlindung orang yang takut. Jika Engkau telah menetapkan dalam induk kitab (Lauh al-Mahfudz) aku sebagai hamba yang sengsara maka hilangkanlah kesengsaraan itu dariku dan tetapkanlah di sisi-Mu bahwa aku sebagai hamba yang bahagia. Jika Engkau telah menggariskan untukku bahwa aku terhalang dari rizki maka hapuskanlah ketetapan tersebut dariku dan jadikanlah aku termasuk di antara hamba-Mu yang Bahagia dengan mendapatkan kebaikan. Karena Engkau telah berkata dalam kitab-Mu ‘Allah menghapuskan dan menetapkan sesuai dengan kehendak-Nya. Dan di sisi-Nya induk kitab (Lauh al-Mahfudz) catatan-catatan.”8

Hadits ini adalah hadits yang mauquf (disandarkan kepada shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).9 Di dalam jalur periwayatannya terdapat perowi yang bernama Abdurrahman bin Ishaq.10 Dia telah dilemahkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Hibban, dan yang lainnya dari para ulama hadits rahimahumullah.11

Hadits ini juga memiliki kelemahan lain yaitu, terputusnya jalur periwayatan antara al-Qasim dengan kakeknya yaitu Shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,12 karena al-Qasim tidak bertemu langsung dengan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya Shahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu saja.13

4.   Shalat 100 Raka’at termasuk Amalan Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban

Bahwasanya suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكتاب و {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} عَشْرَ مَرَّات

 

“Wahai Ali, barangsiapa yang shalat 100 rakaat pada malam nisfu Sya’ban dengan membaca surat al-Fatihah dan ‘Katakanlah bahwa Allah itu Esa’ (surat al-Ikhlas) sebanyak 10 kali di setiap rakaatnya.”14

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabda-Nya,

يَا عَلِيُّ مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَوَاتِ إِلا قَضَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ

“Wahai Ali, tidaklah seorang hamba mengerjakan shalat 100 raka’at ini kecuali Allah Ta’ala akan mengabulkan setiap hajat yang ia minta di malam itu.”15

Seorang ulama pakar hadits dan tafsir dari negeri Irak, Imam Ibnul Jauzi (508 – 597 H / 1116 – 1201 M) rahimahullah menjelaskan hadits ini,

“Kami tidak ragu lagi bahwa hadits ini palsu. Para perowi hadits ini mayoritasnya majhul (tidak diketahui biografi mereka) oleh para ulama hadits dan tidak sedikit dari mereka merupakan perowi yang lemah. Inilah sebab yang menjadikan hadits ini tidak dapat dijadikan landasan hukum.

Di sisi yang lain kami telah menyaksikan realita yang terjadi pada sebagian orang yang melaksanakan shalat ini dan menghabiskan waktu malam untuknya. Mereka terluputkan dari shalat shubuh secara berjama’ah (padahal amalan ini hukumnya wajib). Dan mereka mengawali waktu pagi dengan penuh kemalasan.”16

Pandangan Ulama Syafi’iyyah tentang Amalan Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban

Pembahasan tentang amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban ini telah dijelaskan oleh para ulama tak terkecuali ulama dari madzhab Syafi’iyyah. Tentu penjelasan ulama adalah penjelasan ilmiah yang berpijak di atas landasan yang kuat berupa al-Qur’an dan sunnah. Semoga Allah Ta’ala membalas jasa mereka kepada umat Islam dengan kebaikan yang melimpah.

Perkataan Imam Nawawi asy-Syafi’i (631 – 676 H / 1234 – 1278 M) rahimahullah.

“Di antara perkara baru yang tidak dikenal dalam agama adalah perbuatan sebagian masyarakat dari berbagai negara berupa menyalakan obor-obor dan lentera-lentera melebihi kebutuhan di malam-malam tertentu seperti di malam nisfu Sya’ban.

Dengan sebab itu muncul banyak kerusakan antara lain, menyerupai agama Majusi (para pemuja api) dengan sikap lebih mementingkan penggunaan api, menyia-nyiakan harta bukan pada tempatnya, dan ternodainya kehormatan masjid dengan keramaian, keributan, dan mengotori masjid disebabkan berkumpulnya anak-anak kecil dan orang-orang yang tidak memiliki ilmu.”17

Perkataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (909 – 974 H / 1504 – 1567 M) rahimahullah.

“Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib di bulan Rajab dan pada malam nisfu Sya’ban adalah amalan baru dalam agama ini dan bukan termasuk amal kebajikan, karena hadits-hadits tentangnya adalah hadits yang palsu.”18

Kesimpulan

Para pembaca setia yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala, dari keterangan para ulama di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya tidak ada dalil yang shahih dan kuat tentang pensyariatan amalan-amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban.

Sehingga malam nisfu Sya’ban sama seperti malam-malam biasanya. Disyariatkan pada malam nisfu Sya’ban seperti yang disyariatkan pada malam-malam yang lainnya seperti, shalat malam, berdo’a di sepertiga malam terakhir, dan amalan-amalan lainnya yang disunnahkan oleh syariat Islam yang mulia ini.

Demikian pula pada siang harinya, tidak ada yang membedakan antara siang hari nisfu Sya’ban dengan siang hari selainnya. Seperti puasa ayyamul bidh pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan Sya’ban sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya.

Hanya saja pada bulan Sya’ban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan puasa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwasanya Shahabiyyah ‘Aisyah binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma telah berkata,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sebuah bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban, hingga seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di bulan Sya’ban sebulan penuh.”19

Sekian dari kami terkait pembahasan amalan-amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan juga bagi kaum muslimin secara umum. Segala puji hanya milik Allah Ta’ala semata. Semoga kita semua digolongkan termasuk di antara hamba Allah yang dapat menerima kebenaran dan mengikutinya dengan baik. Aamiin yaa mujibas saailiin. (AAA – AHJ/IWU)

Penulis: Abdullah al-Atsari

Referensi:

  • Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah wa al-Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ lil Ummah karya asy-Syaikh Muhammad bin Nuh bin Adam (1332 – 1420 H / 1914 – 1999 M) rahimahullah.
  • Tahdzibul Kamal fii Asmaair Rijal karya Imam al-Hafidz Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzi (654 – 742 H / 1256 – 1341 M) rahimahullah.
  • Misykatu al-Mashabih karya Imam Muhammad bin Abdillah at-Tibrizi (741 H / 1340 M) rahimahullah.
  • Al-Qadha’ wa al-Qadar karya Imam Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi (384 – 458 H / 994 – 1066 M) rahimahullah.
  • Musnad al-Faruq Amirul Mukminin Abi Hafs Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu wa Aqwalihi ‘ala Abwabil Ilm karya Imam Isma’il bin Umar bin Katsir (700 – 774 H) rahimahullah.
  • Tahdzibu at-Tahdzib karya Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i (773 – 852 H / 1372 – 1448 M) rahimahullah.
  • Al-Maudhu’at karya Imam Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi (508 – 597 H / 1116 – 1201 M) rahimahullah
  • Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (631 – 676 H / 1234 – 1278 M) rahimahullah.
  • ‘Umdatu as-Salik wa ‘Uddatu an-Nasik karya Imam Ahmad bin Lu’lu’ ar-Rumi Syihabuddin Ibnu an-Naqib asy-Syafi’i (702 – 769 H / 1302 – 1368 M) rahimahullah.
  • Tuhfatu al-Muhtaj fii Syarh al-Minhaj karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami al-Anshari asy-Syafi’i (909 – 974 H / 1504 – 1567 M) rahimahullah.
  • Sunan Ibnu Majah karya Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Majah (209 – 273 H / 824 – 887 M) rahimahullah.
  • Al-Kitab al-Musannaf fii al-Ahadits wa al-Atsar karya Imam Abu Bakr bin Abi Syaibah Abdullah bin Muhammad (159 -235 H / 776 – 850 M) rahimahullah.

Footnotes

  1. HR. Ibnu Majah no. 1388 di dalam kitab sunannya dari shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
  2. Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah wa al-Maudhu’ah no. 2132.

    وهذا إسناد مجمع على ضعفه، وهو عندي موضوع

  3. Ta’liq Sunan Ibnu Majah (li Muhammad Fuad Abdul Baqi) no. 1388.

    إسناده ضعيف لضعف ابن أبي سبرة واسمه أبو بكر بن عبد الله بن محمد بن أبي سبرة. قال فيه أحمد بن حنبل وابن معين يضع الحديث

  4. Tahdzibul Kamal fii Asmair Rijal 33/105.

    وَقَال عَبد اللَّهِ بْن أَحْمَد بْن حنبل ، عَن أبيه: ليس بشيءٍ. كان يضع الحديث ويكذب

  5. Tahdzibul Kamal fii Asmair Rijal 33/106.

    وقَال البُخارِيُّ: ضعيف

  6. HR. Ibnu Majah no. 1389 di dalam kitab sunannya dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma.
  7. Misykatul Mashabih no. 1299.

    وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: سَمِعْتُ مُحَمَّدًا يَعْنِي البُخَارِيّ يضعف هَذَا الحَدِيث

  8. HR. al-Baihaqi no. 257 di dalam al-Qadha wa al-Qadar dan Ibnu Abi Syaibah no. 29530 di dalam musannafnya dari shahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
  9. Al-Qadha wa al-Qadar no. 257.

    قَالَ: فَهَذَا مَوْقُوفٌ

  10. Ta’liq Musnad al-Faruq Amir al-Mukminin 2/550.

    وإسناده ضعيف؛ لضعف عبد الرحمن بن إسحاق

  11. Tahdzib at-Tahdzib no. 284 (tentang Abdurrahman bin Ishaq bin Sa’ad bin al-Harits).

    وقال أبو طالب عن أحمد ليس بشيء منكر الحديث وقال الدوري عن ابن معين ضعيف ليس بشيء وقال ابن سعد ويعقوب بن سفيان وأبو داود والنسائي وابن حبان ضعيف وقال النسائي ليس بذاك وقال البخاري فيه نظر

  12. Ta’liq Musnad al-Faruq Amir al-Mukminin 2/550.

    وإسناده ضعيف؛ لضعف عبد الرحمن بن إسحاق، وانقطاعه بين القاسم وجدِّه عبد الله بن مسعود

  13. Tahdzib at-Tahdzib no. 581 (tentang al-Qasim bin Abdirrahman bin Abdillah bin Mas’ud).

    وقال علي بن المديني لم يلق من الصحابة غير جابر بن سمرة

  14. Al-Maudhu’at 2/127 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
  15. Idem
  16. Al-Maudhu’at 2/129

    هَذَا حَدِيث لَا نشك أَنَّهُ مَوْضُوع، وَجُمْهُور رُوَاته فِي الطّرق الثَّلَاثَة مَجَاهِيل وَفِيهِمْ ضعفاء بمره والْحَدِيث محَال قطعا وَقَدْ رَأينَا كثيرا مِمَّن يصلى عدَّة الصَّلاة ويتفق قصر اللَّيْل فيفوتهم صَلَاة الْفجْر ويصبحون كسَالَى

  17. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 2/177-178.

    مِنْ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا يُفْعَلُ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْبُلْدَانِ مِنْ إيقَادِ الْقَنَادِيلِ الْكَثِيرَةِ الْعَظِيمَةِ السَّرَفِ فِي لَيَالٍ مَعْرُوفَةٍ مِنْ السَّنَةِ كَلَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ فَيَحْصُلُ بِسَبَبِ ذَلِكَ مَفَاسِدُ كثيرة منها مضاهات الْمَجُوسِ فِي الِاعْتِنَاءِ بِالنَّارِ وَالْإِكْثَارِ مِنْهَا وَمِنْهَا إضَاعَةُ الْمَالِ فِي غَيْرِ وَجْهِهِ وَمِنْهَا مَا يترب عَلَى ذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْمَسَاجِدِ مِنْ اجتماع الصِّبْيَانِ وَأَهْلِ الْبَطَالَةِ وَلَعِبِهِمْ وَرَفْعِ أَصْوَاتِهِمْ وَامْتِهَانِهِمْ الْمَسَاجِدَ وَانْتِهَاكِ حُرْمَتِهَا وَحُصُولِ أَوْسَاخٍ فِيهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَفَاسِدِ الَّتِي يَجِبُ صِيَانَةُ الْمَسْجِدِ مِنْ أَفْرَادِهَا

  18. Tuhfatu al-Muhtaj fii Syarh al-Minhaj 2/239.

    وَالصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ لَيْلَةَ الرَّغَائِبِ وَنِصْفِ شَعْبَانَ بِدْعَةٌ قَبِيحَةٌ وَحَدِيثُهَا مَوْضُوعٌ

  19. HR. al-Bukhari no. 1970 di dalam kitab shahihnya dari Shahabiyyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *