oleh

Mengupas Hukum Cinta Tanah Air: Memahami Batasan dan Prinsip dalam Islam

Cinta tanah air telah menjadi sebuah slogan yang tersebar luas di tengah masyarakat negeri ini.

Tak dapat disangkal bahwa cinta tanah air memang selaras dengan fitrah dan tabiat manusia. Namun, bagaimana pandangan syariat Islam dalam menilai fenomena ini? Mari kita perhatikan penjelasan dari para ulama berikut.

Hukum Cinta Tanah Air

Menurut tinjauan syariat Islam, cinta terhadap tanah air atau negeri tempat seseorang dilahirkan, dibesarkan, dan tinggal di dalamnya adalah bagian dari hal yang disyariatkan. Namun, rasa cinta tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat, salah satunya adalah bahwa tanah air atau negeri yang dicintai tersebut adalah negara Islam.

Hal itu sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah dimana beliau berkata:

“Cinta terhadap tanah air, jika itu disebabkan karena tanah air tersebut merupakan negara Islam, maka ini adalah cinta karena alasan bahwa itu adalah negara Islam.1

Demikian pula Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah mengatakan,

“Apabila tanah air yang merupakan tempat tinggal bagi kaum muslimin itu memberikan kenyamanan sekaligus mereka bisa menegakkan syariat Allah Ta’ala, saling bersosial antara satu dengan yang lainnya, mereka juga beribadah kepada Allah tanpa ada sedikitpun gangguan, maka tidak ada keraguan bahwa cinta terhadap tanah airnya merupakan sebuah kebaikan dan keutamaan.2

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga mencintai tanah airnya yaitu kota Makkah. Beliau pernah mengalami kesedihan mendalam saat terpaksa meninggalkan tanah air kota kelahiran beliau yaitu Makkah al-Mukarramah. Hal itu sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam,

وَاللهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

“Demi Allah, sungguh engkau wahai Makkah adalah bumi Allah yang paling baik dan yang paling dicintai oleh-Nya. Seandainya kalau bukan karena aku terusir dari Makkah, niscaya aku tidak ingin meninggalkan tanah airku.”3

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tatkala tiba di kota Madinah, beliau berdoa kepada Allah agar mengaruniakan kepada beliau rasa cinta terhadap kota Madinah sebagaimana cinta beliau terhadap kota Makkah.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam doa beliau shallallahu ‘alahi wa sallam,

اللهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ

“Ya Allah karuniakanlah kepada kami kecintaan terhadap kota Madinah sebagaimana engkau telah memberikan kepada kami kecintaan terhadap kota Makkah.”4

Hadits Palsu yang beredar seputar Cinta Tanah Air

Beberapa hadits yang menyatakan bahwa cinta terhadap tanah air adalah bagian dari iman telah beredar di kalangan umat Islam. Salah satu di antara hadits tersebut tersebar dengan redaksi,

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْمَانِ

Kecintaan terhadap tanah air termasuk dari keimanan.”5

Apakah redaksi tersebut ada asalnya dalam syariat?

Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah mengomentari hadits di atas,

“Hadits tersebut terkenal di kalangan masyarakat umum sebagai hadits yang shahih, padahal sebenarnya hadits tersebut adalah palsu dan dibuat-buat, bahkan dari sisi makna tidak benar, karena cinta tanah air terkadang bisa menimbulkan sikap fanatik.”6

Begitupula dengan seorang ulama ahli hadits yang terkenal, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) telah melakukan penelitian dengan seksama terhadap derajat hadits ini. Beliau mendapati hadits tersebut adalah palsu, lalu beliau berkata,

“Makna hadits tersebut tidak benar, sebab cinta tanah air itu sebagaimana cinta terhadap diri sendiri, harta benda dan sejenisnya, semua itu berasal dari naluri manusia dan bukanlah merupakan hal  yang dipuji , dan bukan pula termasuk bagian pokok keimanan. Tidakkah engkau perhatikan bahwa semua manusia ikut andil dalam mencintai tanah air, tanpa memandang perbedaan diantara mereka yang beriman atau kafir. ”7

Batasan Cinta Terhadap Tanah Air

Mencintai sesuatu selain Allah dan Rasul-Nya tentu mempunyai batasan di dalam syariat. Karena cinta  itu melahirkan kepatuhan dan pengagungan terhadap sesuaru yang dicintai. Terkait hal ini, berikut beberapa hal penting yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin:

  1. Cinta tehadap tanah air tidak melebihi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya

Di antara kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh seseorang adalah mencintai perkara dunia melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan cinta tanah air termasuk bagian dari mencintai perkara dunia. Oleh karena itu cinta terhadap tanah air tidak boleh melebihi kecintaan kita terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Cinta tanah air meskipun itu adalah naluri dan tabiat, jangan sampai mengalahkan kecintaan kita kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (at-Taubah: 24)

Bahkan yang merupakan bagian pokok dari keimanan adalah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melebihi dari kecintaan kita kepada manusia manapun selain  beliau. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak akan sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sampai aku lebih ia cintai daripada kedua orang tuanya,anaknya dan seluruh manusia.”8

  1. Tidak mengabaikan prinsip amar ma’ruf nahi munkar

Seseorang yang mencintai tanah airnya pasti akan mendambakan keamanan dan kemakmuran. Di antara sebab utama yang bisa mewujudkan keamanan dan kemakmuran adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ، ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيبُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya engkau benar-benar menyeru kepada amal kebajikan dan mencegah dari kemungkaran atau Allah akan segera menimpakan kepada kalian hukuman, kemudian kalian berdoa kepada-Nya namun Allah tidak mengkabulkan doa kalian.”9

  1. Cinta tanah air bukan di atas dasar fanatik

Cinta tanah air adalah naluri dan tabiat manusia namun terkadang kecintaan tersebut dapat menyeret seseorang terhadap sikap fanatik. Pada akhirnya, ia membela dan mencintai tanah airnya berdasarkan hawa nafsu bukan karena tanah airnya yang merupakan negara Islam.

Hal ini mengingatkan kita kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ: يُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، فَأَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ العُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ»

“Dari Abu Musa radiyallahu anhu, ia berkata, bahwa ada seseorang mendatangi nabi kemudian ia berkata, dahulu ada seseorang berperang dengan niat untuk membela tanah airnya, ada pula karena ingin dikatakan sebagai seorang pahlawan, ada pula karena ingin mencari pujian, lalu manakah yang disebut dengan jihad di jalan Allah? Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, barangsiapa yang berperang dengan tujuan kalimat Allah itu mulia maka itulah jihad di jalan Allah.”10

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, pada asalnya cinta tanah air merupakan sebuah naluri atau tabiat manusia yang bukan sesuatu yang terlarang, sepanjang kecintaan tersebut tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat. Sebagai bentuk kontribusi positif dalam mencintai tanah air adalah dengan menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan dalam syariat agar terjaga keutuhan dan keamanan bersama.

Semoga Allah Ta’ala mengkaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Aamiin. UAA/AAA/IWU

Penulis: Umar Abdul Aziz

Referensi:

  1. Syarah Riyadhus Shalihin karya Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah.
  2. Al-Mamlakah ijtima’ fiiha al-Khubban karya Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah.
  3. Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah karya ahli Hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
  4. Syarah al-Mandhumah al-Baiquniah karya Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah.

 

Footnotes

  1. Syarah Riyadhus Shalihin (1/66) karya Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah.

    حب الوطن إن كان لأنه وطن إسلامي فهذا تحبه لأنه إسلامي

     

  2. Al-Mamlakah Ijtama’a fiihaa al-Hubban: al-Hubbu al-Fithri wa al-Hubbu asy-Syar’i (1/10) karya Syaikh Abdus-Salam bin Barjas rahimahullah.

    إذا تناول الوطن الذي يعمره المسلمون يستقرون فيه يقيمون فيه شعائر الله يتواصلون بينهم يدعون إلى ربهم فلا ريب ان حب الوطن خير وفضل

     

  3. HR. Ahmad no.18175, dari shahabat Abdullah bin Adi radiyallahu ‘anhu.
  4. HR. Ahmad no.22630 dari shahabat Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu.
  5. Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/110) karya ahli Hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
  6. Syarah al-Mandhumah al-Baiquniah (1/70) karya Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah.

    وهو مشهور عند العامة على أنه حديث صحيح، وهو حديث موضوع مكذوب، بل المعنى أيضاً غير صحيح بل حب الوطن من التعصب

     

  7. Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/110) karya ahli Hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah,

    ومعناه غير مستقيم إذ إن حب الوطن كحب النفس والمال ونحوه، كل ذلك غريزي في الإنسان لا يمدح بحبه ولا هو من لوازم الإيمان، ألا ترى أن الناس كلهم مشتركون في هذا الحب لا فرق في ذلك بين مؤمنهم وكافرهم

     

  8. HR. Ahmad no.12814 dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
  9. HR. Ahmad no.23301 dari shahabat Hudzaifah ibnu Yaman radiyallahu ‘anhu
  10. HR. al-Bukhari no.7458