oleh

Kelezatan di Akhirat Itu Kekal Abadi

Kesenangan dan kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia. Bahkan kebahagiaan merupakan dambaan setiap makhluk hidup.

Sebenarnya tidak ada kesenangan yang dianggap tercela. Akan tetapi kesenangan itu tercela manakala ia meninggalkan kelezatan yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih berharga dari kelezatan yang ia rasakan/dapatkan saat ini. Atau ketika ia meninggalkannya itu lebih utama daripada berusaha tuk mendapatkannya dan ia akan terluput dari kelezatan yang lebih agung darinya.

Begitu pula ketika dia merasakan keperihan yang ada di dunia, hal itu lebih ringan daripada ia terluput dari kelezatan akhirat.

Maka, ketika itulah akan benar-benar nampak jelas antara seorang yang berakal cerdas dengan orang yang bodoh lagi dungu tentang akhirat.

Kapanpun seorang yang berakal mengetahui perbedaan yang tinggi antara 2 kelezatan dan 2 kesengsaraan ini. Dia tahu bahwa tidak bisa dibandingkan antara kelezatan dunia dengan kelezatan di akhirat kelak, niscaya ia akan mudah baginya untuk meninggalkan kelezatan yang terendah untuk mendapatkan kelezatan yang lebih besar dan lebih bernilai kelak di akhirat. Ia pun akan memilih untuk menderita sementara demi menghindari penderitaan yang lebih sengsara di akhirat nanti.

Berdasarkan kaidah di atas, maka kelezatan akhirat jelas lebih agung dan lebih kekal dibanding kelezatan dunia yang hanya rendahan dan sementara saja. Demikian halnya kesengsaraan yang ada di dunia tidak sebanding dengan kesengsaraan di akhirat. Sungguh, yang membuat ia percaya dengan itu semua tidak lain hanyalah keimanan dan keyakinan kuat yang menancap dalam sanubarinya.

Jika keyakinan tersebut telah menancap kuat dan telah merasuk dalam lubuk hatinya, pasti ia akan berusaha tuk mendahulukan kelezatan yang lebih bernilai dibandingkan kelezatan yang rendahan. Ia juga akan bersabar menahan penderitan yang ringan dibanding penderitaan yang sulit nan berat di akhirat.
-Hanya Allah lah tempat meminta bantuan- . HN-AWW

[sumber: Ad daau wad dawa’ karya Ibnul Qayyim]

لذة الأخرة أبقى

قَاعِدَة اللَّذَّة من حَيْثُ هِيَ مَطْلُوبَة للْإنْسَان بل وَلكُل حَيّ. فَلَا تذم من جِهَة كَونهَا لَذَّة وَإِنَّمَا تذم وَيكون تَركهَا خيرا من نيلها وأنفع إِذا تَضَمَّنت فَوَات لَذَّة أعظم مِنْهَا وأكمل أَو أعقبت ألما حُصُوله أعظم من ألم فَوَاتهَا فههنا يظْهر الْفرق بَين الْعَاقِل الفطن والأحمق الْجَاهِل ضمن عرف الْعقل بَين فَمَتَى عرف التَّفَاوُت بَين اللذتين والألمين وَأَنه لَا نِسْبَة لأَحَدهمَا إِلَى الآخر هان عَلَيْهِ ترك أدنى اللذتين لتَحْصِيل أعلاهما وَاحْتِمَال أيسر الألمين لدفع أعلاهما وَإِذا تقررت هَذِه الْقَاعِدَة فلذة الْآخِرَة أعظم وأدوم وَلَذَّة الدُّنْيَا أَصْغَر واقصر وَكَذَلِكَ ألم الْآخِرَة وألم الدُّنْيَا والمعوّل فِي ذَلِك على الْإِيمَان وَالْيَقِين فَإِذا قوي الْيَقِين وباشر الْقلب آثر الْأَعْلَى على الْأَدْنَى فِي جَانب اللَّذَّة وَاحْتمل الْأَلَم الأسهل على الأصعب وَالله الْمُسْتَعَان