oleh

Inilah 14 Pembatal Shalat yang Harus Anda Ketahui

Apa saja pembatal-pembatal shalat? Ini merupakan pertanyaan yang mungkin banyak dari kaum muslimin bertanya-tanya di dalam hatinya. Sebab, ia pasti khawatir apakah dalam shalatnya ada hal-hal yang ia kerjakan, sedangkan hal itu membatalkan shalat.

14 Pembatal Shalat yang Harus Anda Ketahui

Empat belas pembatal-pembatal shalat pada berikut ini adalah hal yang semestinya dan harus diketahui bagi setiap muslim. Di mana ia dalam seharinya lebih dari lima ibadah shalat yang harus terhindar dari pembatal-pembatal shalat.
Pada artikel berikut ini kami sebutkan di antara pembatal shalat berdasarkan al-Qur’an dan as-sunnah.

Berhadats

Segala sesuatu yang membatalkan wudhu. Apabila dijumpai salah satu dari pembatal wudhu saat shalat, maka batal pula shalatnya. Karena bersuci merupakan syarat sahnya shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ

“Shalat tidak akan sah, dengan tanpa bersuci”1

Imam al-Hafidz Ibnu Hajar as-Syafi’i rahimahullah di dalam Fathul Baari, tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan: “Hadits ini dijadikan dalil tentang batalnya shalat karena (pembatal wudhu) hadats. Baik hadats tersebut keluar dengan sengaja maupun tidak disengaja”.2

Berbicara dengan Sengaja

Termasuk pembatal shalat adalah, berbicara secara sengaja tanpa adanya alasan yang berkaitan dengan maslahat shalat. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu’anhu, ia mengisahkan:

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ {وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ} [البقرة: 238] فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ، وَنُهِينَا عَنِ الْكَلَامِ

“Dahulu kami berbincang di saat shalat. Salah seorang berbincang dengan teman yang di sampingnya, di saat shalat. Hingga turunlah ayat;

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (al-Baqarah:238)

Lalu kami diperintahkan untuk diam (tatkala shalat) dan dilarang dari berbicara padanya.”3

Akan tetapi jika berbicara karena lupa atau karena tidak mengetahui hukum berbicara dalam shalat maka sah shalatnya. Sebagaimana pendapat imam al-Auza’i rahimahullah.4

Imam an-Nawawi as-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Para ulama bersepakat bahwa berbicara di dalam shalat, secara sengaja dan mengetahui atas keharaman hal itu, tanpa adanya alasan yang berkaitan dengan shalat atau hal yang dapat menunjang maslahat shalat dan yang semisalnya, maka shalatnya batal.”5

Tertawa

Di antara pembatal shalat adalah tertawa dengan terbahak-bahak. Karena tertawa sama hukumnya dengan berbicara, bahkan lebih parah dari berbicara. Padanya terdapat bentuk menyepelekan ibadah shalat yang agung ini. Hal ini pula bertentangan dengan tujuan ibadah shalat. Yaitu, tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Pembatal shalat ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Adapun sebatas senyum maka tidak membatalkan shalat, namun, hendaknya perbuatan ini dihindari.

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan: “Para ulama bersepakat bahwasanya tertawa merusak shalat. Adapun tersenyum, pendapat mayoritas para ulama adalah tidak membatalkan shalat.”6

Menyingkap Aurat

Menyingkap aurat termasuk pembatal shalat. Karena menutup aurat merupakan syarat sahnya shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima shalatnya (wanita) yang telah haidh (baligh), kecuali jika menggunakan kerudung.”7 Yakni, wanita yang telah baligh.8

Imam an-Nawawi as-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Menutup aurat termasuk syarat sahnya shalat. Apabila ia menyingkap auratnya tatkala shalat, maka shalatnya tidak sah (batal).”9

Tidak Menghadap Kiblat dengan Sengaja

Membelakangi kiblat atau tidak menghadap kiblat dengan sengaja, maka perbuatan ini membatalkan shalat. Karena menghadap kiblat termasuk syarat sahnya shalat. Allah Ta’ala mengatakan,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Palingkan wajahmu ke arah Masjidilharam.” (al-Baqarah: 144)

Imam al-Mawardi rahimahullahu Ta’ala (364 – 450 H) mengatakan: “Apabila seorang tatkala mengambil pakaian di kala shalat membelakangi kiblat maka shalatnya batal. Karena membelakangi kiblat secara sengaja menghalangi sahnya shalat.”10


Baca Juga: Hukum Menghadap Kiblat Ketika Shalat


Menyentuh Benda Najis

Termasuk pembatal shalat yaitu, menyentuh benda najis dan ia mengetahui bahwa itu adalah najis dalam keadaan ia sadar serta ia tidak segera menghilangkannya benda najis itu.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengtakan: “Menghilangkan najis merupakan syarat sahnya shalat, baik shalat wajib, shalat sunnah, shalat jenazah atau shalat syukur. Inilah madzhab kami (madzhab as-Syafi’i), pendapat ini pula yang dipegangi oleh Abu Hanifah, Ahmad dan mayoritas para ulama yang terdahulu maupun belakangan, demikian pula dari imam Malik rahimahumullah. Adapun pendapat yang paling masyhur dan lebih tepat terkait menghilangkan najis di saat shalat adalah, apabila ia shalat dengan adanya najis sedangkan ia mengetahui hal itu maka, shalatnya tidak sah (batal). Namun, apabila ia tidak mengetahuinya atau karena lupa maka shalatnya sah, dan itu pendapat imam as-Syafi’i yang lama.”11


Baca Juga: Jenis Air yang Digunakan untuk Bersuci


Meninggalkan Salah Satu Rukun atau Syarat Shalat

Meninggalkan salah satu dari rukun-rukun shalat atau salah satu dari syarat shalat, dengan sengaja tanpa adanya udzur syar’i. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, karena rukun shalat atau syaratnya harus terpenuhi, demi keabsahan shalat tersebut.

Imam Ibnu Ruslan (w. 844 H) rahimahullah mengatakan: “Shalat itu batal jika ditinggalkan salah satu dari rukun shalat atau luput dari salah satu syarat shalat.”12

Banyak Bergerak yang Tidak Dibutuhkan

Banyak gerak dalam hal yang tidak dibutuhkan dan bukan untuk kemanfaatan shalatnya. Adapun patokan dari banyaknya gerak adalah dikembalikan kepada ‘Urf (adat setempat), apabila gerakan tersebut dilakukan dalam intensitifitas yang banyak dan secara berturut-turut, maka batal shalatnya. Demikian pula secara ‘urf terhitung banyak gerak maka hal tersebut membatalkan shalat.13

Imam as-Syinqity rahimahullah mengatakan: “Banyak gerak yang dianggap secara ‘urf maka termasuk pembatal shalat karena jika seorang banyak melakukan gerakan yang tidak ada kaitannya dengan shalat maka ia telah keluar dari keadaan shalat. Dengan dasar itu banyak gerak merupakan pembatal shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الصَّلاَةِ لَشُغْلًا

“Sungguh dalam shalat ada kesibukan.”14.”15

Bersandar Tanpa Udzur

Termasuk pembatal shalat adalah bersandar tanpa adanya udzur. Karena berdiri temasuk dari syarat sahnya shalat.

Para imam yang bermadzhab malikiyyah berpendapat, bahwa jika bersandar kepada sandaran yang kuat di saat shalat tanpa adanya udzur (alasan), yang mana jika dihilangkan sandaran itu ia jatuh, maka shalatnya batal. Ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yang bermadzhab Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.16

Sengaja Menambah Rukun Shalat

Sengaja menambah rukun shalat berupa perbuatan, seperti menambah rukuk atau sujud. Yang mana jika menambahnya karena lupa maka disyariatkan sujud sahwi.

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan: “Sebab yang kedua yang mengharuskan sujud sahwi adalah, mengerjakan hal yang jika dikerjakan secara sengaja maka batal shalatnya. Seperti,…..menambah rukun shalat yang berupa perbuatan, seperti menambah rukuk.”17

Tidak Tertib

Sengaja mendahulukan salah satu rukun shalat dari rukun shalat lainnya, maka hal ini membatalkan shalat. Karena berurutan dalam mengerjakan rukun shalat merupakan syarat sahnya shalat.

Disebutkan di dalam kitab Nihayatul Mathalib, bahwa memerhatikan urutan rukun shalat adalah wajib. Apabila ia tidak melakukannya secara berurutan dengan sengaja maka shalatnya batal.18

Demikian pula karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan rukun-rukun shalat secara berurutan.19 Di mana Beliau bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah sebagaima kalian melihat aku shalat.”20

Sengaja Salam Sebelum Selesai Shalat

Menyengaja salam sebelum selesai shalatnya. Karena ia telah berbicara padanya dan karena niatnya telah rusak atau telah terputus. Sedangkan shalat batal dengan berbicara bagi orang yang telah mengetahui bahwa akan batalnya shalat karena berbicara.21 Silakan lihat pada pembatal shalat di atas yang kedua.

Membatalkan Niat

Merusak niat dengan membatalkan niat shalatnya. Karena niat adalah syarat pada semua jenis ibadah, apabila ia menghilangkan niat tersebut dengan membatalkannya, maka batal pula shalat dia. Demikian pula rusaknya niat yang disebabkan ragu antara batalnya niat dengan tetapnya niat. Karena keraguan membatalkan keberadaan niat tersebut.22


Baca Juga: Penjelasan Hadits Niat


Dilintasi Anjing Hitam

Di antara pembatal shalat yaitu, melintasnya anjing hitam di hadapan orang yang sedang shalat. Hal ini berdalil dengan hadits,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ» قُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ: «الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seaorang dari kalian berdiri untuk shalat, dia terhalangi (dari sesuatu yang akan lewat di depannya) jika di hadapannya ada benda (sutrah) setinggi kayu di bagian pelana unta. Jika tidak ada di depannya (sutrah) setinggi kayu di bagian belakang pelana unta, shalatnya bisa batal dengan lewatnya keledai, wanita atau anjing hitam. Aku (Abdullah bin Shamit) bertanya: “Wahai abu Dzar, apa bedanya anjing hitam dengan anjing merah dan kuning?”, Abu Dzar menjawab: “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang engkau tanyakan kepadaku. Lalu Beliau menjawab: “Anjing hitam adalah setan.”23

Adapun melintasnya wanita dan keledai di hadapan orang yang sedang shalat, permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Namun, pendapat yang dipilih oleh para ulama di antaranya imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan ulama Hanabilah adalah, tidak batal shalat dengan lewatnya wanita dan keledai di hadapan orang yang sedang shalat. Mereka berdalil dengan adanya pertentangan dengan berbagai hadits tentang tidak batalnya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lewatnya wanita dan keledai. 24

Di sana pula, ada pendapat bahwa batal shalat seseorang ketika melintasinya keledai dan wanita dengan adanya dalil tentang hal itu, di antaranya dhahir hadits di atas. Yakni, hadits Abi Dzar radhiyallahu ‘anhu. Maka tidak mengapa jika pembaca lebih memilih pendapat ini berdasarkan dalil tersebut.

Demikian pembatal-pembatal shalat yang dapat kami jelaskan pada artikiel ini. walaupun di sana masih ada pembatal shalat yang lain. Jika pembaca ingin mengetahui lebih mendalam dan rinci tentang hal ini, silakan merujuk ke kitab-kitab fiqih muthawwalat (yang membahas permasalahan fiqih secara luas dan terperinci).

Harapanya yang ringkas ini dapat menambah wawasan dan ilmu yang bermanfaat serta menjadi pijakan dalam beramal bagi penulis dan pembaca sekalian. Amin

MSM-IWU

Penulis: Muhammad as-Sijnul Mubarak.

Referensi:

1. Fathulbari karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani.

2. Syarah Sahih Muslim karya al-Imam an-Nawawi.

3. Al-Muhgni karya al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi.

4. Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya al-Imam an-Nawawi.

5. Al-Hawi al-Kabir karya al-Imam al-Mawardi.

6. Syarhu Zaadul Mustaqni’ karya al-imam as-Syinqiti.

7. Nihayatul Mathalib karya Abu al-Ma’ali al-Juwaini.


 

Footnotes

  1. HR. Muslim no.224. dalam sahihnya. Dari sahabat Mush’ab bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu
  2. Lihat Fathul Baari hlm.235.

    وَاسْتُدِلَّ بِالْحَدِيثِ عَلَى بُطْلَانِ الصَّلَاةِ بِالْحَدَثِ سَوَاءٌ كَانَ خُرُوجُهُ اخْتِيَارِيًّا أَمِ اضْطِرَارِيًّا

     

  3. HR. al-bukhari no. 4534 dan Muslim no. 539. Dari sahabat Zaid bin Arqam.
  4. Lihat Syrah sahih Muslim Li an-Nawawi hlm.27/5.

    وَأَمَّا الْكَلَامُ لِمَصْلَحَتِهَا فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَالْجُمْهُورُ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَجَوَّزَهُ الْأَوْزَاعِيُّ وَبَعْضُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَطَائِفَةٌ قَلِيلَةٌ وَكَلَامُ النَّاسِي لَا يُبْطِلُهَا عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ مَا لَمْ يُطِلْ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالْكُوفِيُّونَ يُبْطِلُ

     

  5. Lihat Syrah sahih Muslim Li an-Nawawi hlm.27/5.

    وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْكَلَامَ فِيهَا عَامِدًا عَالِمًا بِتَحْرِيمِهِ بِغَيْرِ مَصْلَحَتِهَا وَبِغَيْرِ إِنْقَاذِهَا وَشِبْهَهُ مُبْطِلٌ لِلصَّلَاةِ

     

  6. Lihat al-Mughni hlm. 40/2

    قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الضَّحِكَ يُفْسِدُ الصَّلَاةَ، وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ التَّبَسُّمَ لَا يُفْسِدُهَا

     

  7. HR. Ibnu Majah no.655. Dari sahabiyah Aisyah ummul mukminin, sahih, lihat al-Irwa’ no.196.
  8. Lihat al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab hlm.166/3.

    وَالْمُرَادُ بِالْحَائِضِ الَّتِي بَلَغَتْ

     

  9. Lihat al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab hlm.166/3.

    فَسَتْرُ الْعَوْرَةِ شرط لصحة الصلاة فان انكشف شئ مِنْ عَوْرَةِ الْمُصَلِّي لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ

     

  10. Lihat al-Hawi al-Kabir hlm. 311/2.

    فَأَمَّا إِنِ اسْتَدْبَرَتِ الْقِبْلَةَ فِي أَخْذِهَا فَصَلَاتُهَا بَاطِلَةٌ، لِأَنَّ الِاسْتِدْبَارَ فِي حَالِ الِاخْتِيَارِ يَمْنَعُ صِحَّةَ الصَّلَاةِ، وَإِنْ كَانَ الثَّوْبُ بَعِيدًا

     

  11. Lihat al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab hlm.132/3.

    وَسَوَاءٌ صَلَاةُ الْفَرْضِ وَالنَّفَلِ وَصَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَسُجُودُ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ فَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ شَرْطٌ لِجَمِيعِهَا هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَعَنْ مَالِكٍ فِي إزَالَةِ النَّجَاسَةِ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ أَصَحُّهَا وَأَشْهُرُهَا أَنَّهُ إنْ صَلَّى عَالِمًا بِهَا لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَإِنْ كَانَ جَاهِلًا أَوْ نَاسِيًا صَحَّتْ وَهُوَ قَوْلٌ قَدِيمٌ عَنْ الشَّافِعِيِّ

     

  12. Lihat az-Zubad Fi Fiqhi as-Syafi’i hlm. 104.

    وَيبْطل الصَّلَاة ترك ركن أَو فَوَات شَرط من شُرُوط قد مضوا

  13. Lihat Syarhu Zaadul Mustaqni’ Li as-Syinqity hlm.6/50.
  14. HR al-Bukhari no.1216.
  15. Lihat Syarhu Zaadul Mustaqni’ Li as-Syinqity hlm.6/50.

    فعمل المستكثر عادة يعتبر من موجبات بطلان الصلاة؛ لأن الإنسان إذا فعل الأفعال الكثيرة التي لا تتعلق بالصلاة خرج عن كونه مصلياً، وبناءً على ذلك يحكم ببطلان صلاته، وقد قال عليه الصلاة والسلام في الحديث الصحيح: (إن في الصلاة لشغلاً)

     

  16. Lihat al-Minhal al-Adzbu al-Maurud Syarah Sunan Abi Dawud, hlm. 54/6.

    فإن كان الاعتماد لغير عذر (فقالت) المالكية إنه لوكان الاستناد قويًا بحيث لو أزيل المستند إليه لسقط بطلت صلاته وبه قال جمهور الشافعية والحنابلة

  17. Lihat al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah. Hlm.129.

    الثانيمن الأسباب فعل ما لا يبطل سهوهالصلاة ويبطل عمده كالكلام القليل ناسيًاأو الأكل القليل ناسيًا أو زيادة ركن فعلي ناسيًا كالركوع

     

  18. Nihayatul Mathalib hlm.2/257. Karya Abu al-Ma’ali al-Juwaini ( 419 – 478 H).

    رعاية الترتيب واجبة في أركان الصلاة، فلو أخلّ المصلي بالترتيب قصداً، بطلت صلاته

     

  19. Fathul ‘Aziz Bi Syarhi al-Wajiz. Hlm.149/4.
  20. HR. al-Bukhari no. 631.
  21. Lihat al-Asilah Wa al-Ajwibah al-Fiqhiyyah hlm.132/1.

    وتعمد السلام قبل إتمامها؛ لأنه تكلم فيها وبفسخ النية، وتبطل الصلاة بالكلام عمدًا من عالم أنه يبطل

     

  22. Lihat Fiqhul ‘Ibadat ‘Ala Madzhab al-Hanbali, hlm.204.
  23. HR. Muslim no. 510. Di dalam sahihnya dari sahabat Abdillah bin Shamit dari Abi Dzar radhiyallahu ‘anhuma.
  24. Lihat Fathu al-Bari Li Ibni Rajab hlm. 126-127/4.

    Di antara dalil tidak batalnya shalat dengan wanita adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

    “Dahulu aku tidur di hadapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblat Beliau, apabila hendak sujud, Beliau memberi isyarat dengan matanya kepadaku. Maka aku menekuk kedua kakiku. Apabila Beliau bangkit aku menjulurkannya kembali.” HR. al-Bukhari no. 513. Dari sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha.

    Namun, ada yang berpendapat tidak batal jika shalat Sunnah dan batal jika shalat wajib. Seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathu al-Bari ( 126-127/4). Wallahu a’lam bish shawab, wal ilmu ‘indallah.

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *