oleh

Sudah Moderat Dan Legalkah Sikap Kita Menghadapi Bencana?

Sebagaimana memahami kematian dan hari akhir, demikian banyak teori yang berkembang hingga sebagiannya terlanjur menjadi doktrin. Sejak dulu hingga kini ada yang percaya terhadap kematian sebagai bagian kecil perjalanan menuju akhirat. Ada pula yang memandangnya justru sebagai akhir segalanya, tak kan ada lagi kehidupan berikutnya. Juga demikian dengan berbagai bencana yang menimpa beberapa daerah negeri ini, ditanggapi beragam oleh masyarakatnya. Yang legal tertanam dalam sanubari muslim tentu keyakinan bahwa sebagian bencana itu merupakan peringatan dan ujian dari Allah sekaligus merupakan tanda semakin dekatnya hari akhir. Bukan perkara yang aneh sebenarnya, karena tengaranya telah diingatkan sejak lebih 14 abad silam;

Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ ، وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ ، وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ ، وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ ، وَهُوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ ، حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمْ الْمَالُ فَيَفِيض

“Hari kiamat tidak akan terjadi, hingga; ilmu agama tercabut, gempa bumi kerap melanda, waktu semakin terasa pendek, merebak gangguan kedamaian dan banyak huru-hara berupa pembunuhan di sana-sini, (juga) sampai begitu melimpah harta diantara kalian hingga tidak lagi dihiraukan”
demikian sahabat mulia Abu Hurairah menuturkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Namun – perlu jujur diakui – di antara kita ada yang masih kukuh menyoal tinjauan dari sisi pengetahuan alam ataupun tinjauan geologis. Coba kita simak, bagaimana sebagian pencetus opini ini mengecam cara berpikir yang menautkan gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu dan sekitarnya beberapa pekan lalu, dengan apa yang disebut “hukuman Allah” sebagai sesuatu yang “sangat berbahaya.”

Ada yang mengungkapkan di media publik “Kalau ada pendapat-pendapat seperti itu, saya kira pendapat itu harus di-counter, karena itu berbahaya sekali.” Subhanallah, nyata masih belum sepakat di antara kita, setelah sudah sekian abad diwanti-wanti panutan kita bersama, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Memang tidak perlu menutup mata dan telinga dari berbagai teori pengetahuan alam yang berkembang. Akan tetapi untuk menyejajarkannya apalagi memosisikannya sebagai satu-satunya sebab terjadinya bencana, perlu dikoreksi dan disangkal dengan keimanan yang kuat.

Bukankah “Hingga saat ini, tidak ada satu pun lembaga resmi dan pakar yang kredibel dan diakui mampu memprediksi gempa,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono beberapa waktu lalu.

Kalaupun sebagian peneliti menemukan kesimpulan data statistik yang menunjukkan bahwa terjadinya gempa memiliki pola tertentu dan tidak acak waktu terjadinya, apakah hal tersebut bisa dicegah oleh manusia ataukah pasti tidak ada hubungannya dengan perilaku melanggar hukum syariat agama? Tidak demikian mestinya…

Baca Juga: INILAH HARGA SEBUAH WAKTU

Mari bersikap adil wahai saudara sekalian! Alangkah moderatnya apabila kita sikapi temuan terkait fenomena tektonik ataupun vulkanik apabila benar terbukti nyata, cukup kita sebut sebagai sebab turutan yang terjadi dengan takdir Allah dengan segenap Sifat Hikmah-Nya sebagai adzab bagi yang tidak beriman, dan peringatan ataupun cobaan bagi yang beriman, dari sebab utama berupa pelanggaran-pelanggaran agama yang merajalela.

Ada pula yang malah mengaitkan dengan anggapan mistis budaya lokal. Ambil contoh perilaku di bawah jembatan Ponulele Palu yang terekam dalam salah satu ungkapan salah seorang warga setempat.

Dikisahkan bahwa sebagian anak negeri melakukan tradisi atau ritual khusus agar buaya yang terkadang muncul di sekitarnya tidak meminta tumbal. Karena itu, menurut salah seorang warga yang diwawancarai sebuah media nasional, terkadang orang akan melihat warga setempat membawa sesajen ke muara Sungai Palu yang berada persis di bawah Jembatan Ponulele. “Jadi, biasanya warga di sini suka membawa telur dan menghanyutkannya ke muara agar buaya tidak memakan korban jiwa,” demikian narasumber menuturkan.

Betapa jauh dari kepantasan adab kepada Sang Pemberi keamanan, Allah Tuhan yang kita sepakati untuk dimintai dalam kebaikan dan dimintai perlindungan dalam menghindari bahaya. Ya Allah ampunilah kami dan tunjukilah jalan-Mu yang lurus.

Di lain pihak, patut disyukuri mulai munculnya kesadaran bahwa semua musibah yang melanda adalah peringatan Allah Sang Pencipta, akibat ulah dan perilaku tak patut penduduk negeri yang tak mampu diingkari sesamanya.

Hanya saja tetap kita sebagai insan yang penuh kesalahan dan kelemahan ini perlu terus introspeksi dan melakukan evaluasi menyeluruh.

Pertanyaan-pertanyaan kritis yang membangun penting untuk sama-sama kita ajukan kepada diri kita; “Sudahkah pengakuan akan dosa, yang dosa itu berakibat peringatan dan cobaan ini, kita akui secara tulus hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa saja?” ataukah masih ada tersisip mitos-mitos penuh misteri yang kita sangka merupakan bagian dari hukum ilahi? walaupun kita mengemas acara taubat dengan istilah-istilah islami?

Baca Juga: Adakah Keterkaitan Antara Dosa Dan Bencana?

Menjadi selalu penting dievaluasi pula, apabila pengakuan tulus sebagai pijakan awal taubat telah bersemi, apakah cara yang ditempuh dalam menyesali dan menyadari kesalahan-kesalahan itu telah kita terapkan sesuai teladan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dari beliaulah diketahui mana yang legal dari yang ilegal di sisi Allah Subhanahu wata’ala ?

Tampaknya kita semua memerlukan diri untuk sering merenungi dan berkaca dari ayat Allah Subhanahu Wata’ala

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا* [الكهف : 110]

“Katakanlah: Sesungguhnya saya ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan kepada saya : “Bahwa sesungguhnya Tuhan yang merupakan sesembahan kalian itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka *hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-Nya”. [Al Kahfi: 110]

Semoga negeri tercinta ini dikaruniakan penduduk yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dengan cara yang benar-benar dituntunkan Nabi-Nya. Bukankah yang demikian inilah misi menuju jalan yang moderat lagi legal?

Mari kita jalani bersama berbenah secara moderat dan legal, besar harapan rahmat dan ampunan Allah menyertai negeri tercinta.