oleh

Shalat Tolak Bala Rebo Wekasan dalam Tinjauan Syariat

Shalat tolak bala Rebo Wekasan adalah sebuah ritual yang diyakini dapat mencegah turunnya bala. Mungkin pembaca tidak banyak mendengarnya. Ternyata ritual ini memang digeluti oleh Sebagian kaum muslimin di negeri ini. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan mereka.

Lantas bagaimana status hukum ritual tersebut dalam tinjauan syariat? pada kesempatan kali ini kami akan mencoba mengupasnya secara ringkas.

Apa itu Rebo Wekasan?

Rebo Wekasan adalah istilah dalam Bahasa Jawa. “Rebo” artinya hari Rabu. Sedangkan “Wekasan” artinya paling akhir, sering disebut pula “pungkasan”. Maksudnya adalah hari Rabu terakhir dalam satu bulan. Istilah seperti ini akrab dijumpai di dalam penanggalan Jawa.

Adapun shalat tolak bala Rebo Wekasan yang dimaksud adalah shalat yang dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar (penanggalan Hijriah). Shalat ini juga dikenal dengan shalat sunnah lidaf’il bala (artinya: menolak bala).

Asal Usul Shalat Tolak Bala Rebo Wekasan

Usut punya usut, ritual shalat tolak bala ini bermula dari anggapan bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan dan malapetaka. Puncak malapetaka akan terjadi pada hari Rabu terakhir (Rebo Wekasan) di bulan itu. Maka atas dasar inilah, Sebagian kalangan mengadakan ritual Shalat Tolak Bala Rebo Wekasan dengan keyakinan bisa menjadi sebab menangkal bala tersebut.

Para pelaku ritual ini menyatakan bahwa munculnya ritual rebo wekasan berdasarkan ilham dan ijtihad para Sufi terdahulu. Namun, tidak bisa dipastikan siapa orang pertama yang mencetuskannya. Hanya saja ternukilkan dalam beberapa literatur tulisan mereka. Antara lain:

ذَكَرَ بَعْضُ العَارِفِيْنَ أَنَّهُ يَنْزِلُ فِي كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةٍ وَعِشْرُونَ أَلْفاً مِنَ البَلَيَاتِ، وَكُلُّ ذَلِكَ فِي يَوْمِ الأَرْبِعَاءِ الأَخِيرِ مِنْ صَفَرَ، فَيَكُونُ ذَلِكَ اليَوْمُ أَصْعَبَ أَيَّامِ السَنَةِ كُلِّهَا، فَمَنْ صَلَّى فِي ذَلِكَ اليَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ مَرَّةً، وَسُورَةَ الكَوثَرِ سَبْعَ عَشْرَةَ مَرَّةً وَالإِخْلاَصَ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَالمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّةً، وَيَدْعُو بَعْدَ السَّلاَمِ بِهَذَا الدُعَاِءِ، حَفِظَهُ اللهُ بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيعِ البَلَيَاتِ الَّتِي تَنْزِلُ فِي ذَلِكَ اليَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ فِي تِلْكَ السَنَةِ

“Sebagian Ulama Ahli Ma’rifat (Sufi) menyatakan bahwa dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala yang semuanya ditimpakan pada hari Rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu adalah hari tersulit pada tahun tersebut.

Barangsiapa yang shalat 4 rakaat di hari itu, dengan membaca pada setiap rakaat surat al-Fatihah satu kali, al-Kautsar 17 kali, al-Ikhlas 15 kali, al-Falaq dan an-Nas satu kali; lalu ia berdoa setelah salam dengan doa ini (tolak bala), maka Allah, berkat kemurahan-Nya, akan menjaganya dari segala macam malapetaka yang turun pada hari itu dan daerah sekitarnya pun akan terjaga dari musibah selama satu tahun.”1

Bulan Safar Menurut Kaum Jahiliyah

Jika kita mencermati asal usul shalat tolak bala Rebo Wekasan di atas, hal itu seakan menjadi sebuah refleksi (cerminan) dari keyakinan kaum Arab Jahiliyah terdahulu. Sebab, kaum jahiliyah dahulu juga meyakini bahwa bulan Safar adalah bulan nahas dan banyak malapetaka. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membantah keyakinan mereka tersebut dengan bersabda,

لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ

“Tidak ada penyakit menular, tidak ada Safar dan tidak ada Hamah.”2

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu menjelaskan, salah satu pendapat ulama menyatakan bahwa yang dimaksud Safar (dalam hadits di atas) adalah bulan Safar. Hal itu karena orang Arab dahulu mengharamkan bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharam. Maka Islam datang untuk meluruskan kesalahan mereka itu, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak ada Safar, maknanya tidak ada kesialan padanya.

Imam Ibnu Bathal rahimahullahu menyatakan, pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik.4

Hari Nahas yang Berkelanjutan (Yaum Nahsin Mustamir)

Telah diketahui bersama dari penjelasan di atas, bahwa anggapan sial atau nahas terhadap suatu hari atau apapun itu, merupakan sifat Kaum Jahiliyah. Kemudian hadits riwayat al-Bukhari di atas merupakan hujjah tegas yang menafikan anggapan kesialan.

Akan tetapi, mungkin saja ada orang yang berdalih dengan firman Allah Ta’ala :

إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ

“Sungguh kami telah mengutus kepada mereka (Kaum ‘Ad) angin yang sangat dingin di hari nahas yang berkelanjutan.” (al-Qomar: 19)

Imam al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan salah satu tafsir “hari nahas yang berkelanjutan” adalah terjadi pada hari Rabu di akhir bulan.5

Ayat tersebut beserta tafsir dari Imam al-Baghawi tidak bertentangan dengan hadits shahih riwayat al-Bukhari yang kami sebutkan sebelumnya. Karena Imam al-Baghawi tidak menyatakan bahwa hari nahas tersebut berkelanjutan sampai zaman sekarang. Akan tetapi yang dimaksud adalah angin tersebut menimpa kaum ‘Ad di hari Rabu akhir bulan dan terus berkelanjutan hingga satu tahun.

Sementara Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat adh-Dhahak, Qotadah dan as-Suddi, bahwa yang dimaksud “berkelanjutan” pada ayat itu adalah kesialan dan kehancurannya, karena azab yang menimpa mereka berkelanjutan dari azab dunia hingga ke akhirat kelak.6

Selain itu Ibnu Rajab juga menerangkan bahwa anggapan sial tentang bulan Safar, lebih khusus lagi pada hari Rabu adalah keyakinan orang-orang yang tidak berpengetahuan dan termasuk perbuatan thiyarah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini didasarkan atas hadits dha’if7 yang menyebutkan bahwa hari itu adalah hari nahas yang berkelanjutan (pada ayat).
8

“Mengkhususkan salah satu waktu tertentu dengan kesialan, baik bulan Safar atau yang lainnya adalah tidak benar. Seluruh waktu itu hakekatnya adalah ciptaan Allah dan segala macam perbuatan anak Adam terjadi padanya (nahas maupun mujur).

Kapan pun waktu yang dimanfaatkan seorang mukmin untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah maka itu adalah waktu yang berkah baginya. Sebaliknya, kapan pun seorang hamba menggunakan waktunya untuk maksiat kepada Allah, maka itulah waktu nahas baginya. Maka nahas yang hakiki adalah kemaksiatan kepada Allah Ta’ala”, demikian Imam Ibnu Rajab menerangkan.

9

Hukum Shalat Tolak Bala Rebo Wekasan

Dari uraian singkat di atas, maka bisa disimpulkan bahwa shalat tolak bala Rebo Wekasan tidak ada tuntunannya yang benar dan pasti dalam syariat Islam. Adapun dalil yang dijadikan sandaran untuk melegalkan ritual rebo wekasan ini belum bisa dikatakan sebagai hujjah atau pijakan dalam beramal saleh.

Oleh karena itu kami menasehatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk beramal dengan landasan dan dasar yang pasti, yang bersumber dari al-Quran, Sunnah dan bimbingan para ulama yang terpercaya. Serta meninggalkan beragam bentuk amalan yang tidak jelas tuntunannya, apalagi cenderung bertentangan dengan keyakinan Islam yang makruf di kalangan umat.

Sebab, amalan yang dikerjakan dan dianggap ibadah tanpa ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak dan tidak diterima di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa beramal sebuah amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalannya tertolak.”10

Bukankah Shalat dan Doa adalah Ibadah?

Mungkin akan ada yang bergumam, Apa tidak boleh mengerjakan shalat tertentu atau doa tertentu? Bukankah shalat dan doa adalah ibadah? Shalat tolak bala Rebo Wekasan kan juga termasuk ibadah?

Memang benar, shalat dan doa adalah ibadah yang sangat agung lagi mulia. Namun, keabsahan suatu ibadah tidak bisa dinilai secara umum begitu saja. Karena shalat dan doa ada tuntunannya secara langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatacara shalat dan zikir-zikir di dalamnya adalah perkara yang harus didasarkan kepada dalil secara khusus.

Syekh Ali Mahfuzh di dalam kitab al-Ibda’ fi Madharri al-Ibtida’ 11 mencuplik pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah,

“Bukankah anda mengetahui bahwa para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para Tabi’in yang mengikuti bimbingan mereka dengan baik mengingkari dikumandangkannya azan pada selain shalat 5 waktu, seperti pada shalat Ied? Padahal tidak ada sama sekali larangan dalam hal ini!

Mereka juga membenci istilam (mencium atau mengusap) dua rukun syam, dan shalat setelah mengerjakan sa’i antara Shofa dan Marwa yang dikiaskan dengan thowaf. Demikian pula segala hal yang tidak dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada kesempatan untuk mengerjakannya, maka perkara tersebut jika ditinggalkan akan bernilai sunnah dan jika dikerjakan akan bernilai bid’ah yang tercela!”

12

Syekh Ali Mahfuzh juga menerangkan, bahwa seorang yang berpegang dengan dalil-dalil secara umum lalu mengabaikan perincian Rasul dan meninggalkan sunnah yang beliau wariskan, maka ia telah mengikuti dalil-dalil yang samar (mutasyabih) yang dilarang oleh Allah.

Kalau sekiranya kita hanya berpegang dengan dalil-dalil yang bersifat umum dan berpaling dari rincian hukumnya tentu hal ini akan membuka lebar pintu-pintu kebid’ahan. Pemalsuan syariat sulit dibendung dan tidak akan pernah berakhir.

13

Beberapa Doa yang Dituntunkan Syariat Untuk Menolak Bala

Ada berbagai doa syar’i yang dapat dipanjatkan oleh seorang muslim untuk menangkal bala. insyaAllah akan kami sebutkan beberapa contoh doa tersebut berdasarkan dalil-dalil sahih. Mari kita simak bersama:

  1. Dari Khaulah bintu Hakim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan,

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala kejelekan makhluk yang Ia ciptakan.” Maka tidak ada yang bisa memudaratkannya apapun, hingga ia pergi dari tempat tersebut.”14

  1. Dari Asma’ bintu ‘Umais radhiyallahu ‘anha, ia menyatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajari aku doa yang bisa aku panjatkan ketika tertimpa kesulitan:

اللهُ اللهُ رَبِّي، لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Allah, Allah, Rabbku. Aku tidak menyekutukannya dengan apapun.”15

  1. Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa setiap pagi dan malam mengucapkan doa berikut masing-masing tiga kali:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dengan menyebut Nama Allah yang bersama Nama-Nya tidak ada sesuatu pun yang dapat memudaratkan di bumi dan di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Maka tidak ada yang dapat memudaratkannya apapun itu.”16

Masih banyak lagi doa-doa yang semisal. InsyaAllah dengan memanjatkan doa-doa tersebut disertai rasa ikhlas, yakin dan penuh harap kepada Allah Ta’ala kita dapat terlindungi dari marabahaya apapun. Kita sangat meyakini hal itu, karena doa-doa tersebut diajarkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya berdasarkan hadits yang sahih.

Kesimpulannya, dengan menjalankan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencukupi kebutuhan kita di dunia dan di akhirat. Sehingga tidak perlu lagi mencari-cari cara lain yang tidak jelas sumber dan asal-usulnya, seperti shalat tolak bala Rebo Wekasan dan amalan-amalan yang semisal itu. Wallahu Ta’ala A’lam. FAI-IWU

Penulis : Fahri Abu Ilyas

Referensi:

  • Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
  • Lathaif al-Ma’arif, karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali.
  • Ma’alim at-Tanzil, karya Imam al-Baghawi asy-Syafi’i
  • Tafsir al-Quran al-‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir.
  • Shalat at-Tarawih, karya Muhammad Nashirudin al-Albani.

Footnotes

  1. Sebatas referensi yang kami dapatkan, statemen ini dimuat dalam kitab Mujarobat ad-Dairobi, Jawahir al-Khamsi, Kanzun Najah dan Rawiyyu azh-Zham’an.
  2. HR. al-Bukhari no. 5717 di dalam Shahihnya, dari Sahabat Abu Hurairah
  3. Fathul Bari (10/171)

    وَقِيلَ فِي الصَّفَرِ قَوْلٌ آخَرُ وَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ شَهْرُ صَفَرٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْعَرَب كَانَت تحرم صفر وتستحل الْمحرم كَمَا تَقَدَّمَ فِي كِتَابِ الْحَجِّ فَجَاءَ الْإِسْلَامُ بِرَدِّ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ مِنْ ذَلِكَ فَلِذَلِكَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَفَرَ قَالَ بن بَطَّالٍ وَهَذَا الْقَوْلُ مَرْوِيٌّ عَنْ مَالِكٍ

    [\efn_note]

    Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullahu, ia mengemukakan: “Maksud dari hadits di atas adalah dahulu Kaum Jahiliyah menganggap sial bulan Safar. Mereka mengatakan: bulan Safar adalah bulan nahas.”

    3Lathaif al-Ma’arif (hlm. 74)

    أن المراد أن أهل الجاهلية كانوا يستيشمون بصفر ويقولون: إنه شهر مشئوم

  4. Ma’alim at-Tanzil (7/430)

    قِيلَ: كَانَ ذَلِكَ يَوْمُ الْأَرْبِعَاءِ فِي آخِرِ الشَّهْرِ

  5. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (7/479)

    {فِي يَوْمِ نَحْسٍ} أَيْ: عَلَيْهِمْ. قَالَهُ الضَّحَّاكُ، وقَتَادَةُ، وَالسُّدِّيُّ. {مُسْتَمِرٍّ} عَلَيْهِمْ نَحْسُهُ وَدَمَارُهُ؛ لِأَنَّهُ يَوْمٌ اتَّصَلَ فِيهِ عَذَابُهُمُ الدُّنْيَوِيُّ بِالْأُخْرَوِيِّ

  6. Hadits tersebut berbunyi:

    إِنَّ يَوْمَ الأَرْبِعَاءِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٌّ

    “Sesungguhnya hari Rabu adalah hari nahas yang berkelanjutan.” (HR. ath-Thabrani no. 797 dan Abu ‘Awanah no. 6457, dari Sahabat Jabir)

    Imam ath-Thabrani menjelaskan, hadits ini hanya melalui satu jalur periwayatan, yaitu dari perawi bernama Ibrahim bin Abi Hayah. Imam al-Bukhari menyatakan bahwa perawi tersebut ‘munkarul hadits’, sehingga hadits ini dihukumi sangat lemah. Silakan merujuk Mustakhraj Abu ‘Awanah, bagian catatan kaki ([13/117], Cet. Universitas Islam Madinah)

  7. Lathaif al-Ma’arif (hlm. 74)

    وكثير من الجهال يتشاءم بصفر وربما ينهى عن السفر فيه والتشاؤم بصفر هو من جنس الطيرة المنهى عنها وكذلك التشاؤم بالأيام كيوم الأربعاء وقد روي أنه: “يوم نحس مستمرفي حديث لا يصح

  8. Lathaif al-Ma’arif (hlm. 75)

    وأما تخصيص الشؤم بزمان دون زمان كشهر صفر أو غيره فغير صحيح وإنما الزمان كله خلق الله تعالى وفيه تقع أفعال بني آدم فكل زمان شغله المؤمن بطاعة الله فهو زمان مبارك عليه وكل زمان شغله العبد بمعصية الله فهو مشؤم عليه فالشؤم في الحقيقة هو معصية الله تعالى

  9. HR. Muslim no. 1718 di dalam Shahihnya, dari Sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha
  10. Kitab ini sangat bagus dalam menjelaskan masalah bid’ah. Sempat dijadikan rujukan dalam kurikulum Universitas al-Azhar (Shalat Tarawih, hlm.28)
  11. Dinukil dari Kitab Shalat Tarawih karya Muhammad Nashirudin (hlm. 52)

    ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان أنكروا الأذان لغير الصلوات الخمس كالعيدين وإن لم يكن فيه نهي وكرهوا استلام الركنين الشاميين والصلاة عقب السعي بين الصفا والمروة قياسا على الطواف وكذا ما تركه صلى الله عليه وسلم مع قيام المقتضي يكون تركه سنة وفعله بدعة مذمومة

  12. Al-Ibda’ (hlm. 25), disadur dari Kitab Shalat Tarawih (hlm.39)

    وعلمت أن التمسك بالعمومات مع الغفلة عم بيان الرسول وتركه هو اتباع المتشابه الذي نهى الله عنه ولو عولنا على العمومات وصرفنا النظر عن البيان لا نفتح باب كبير من أبواب البدعة لا يمكن سده ولا يقف الاختراع في الدين

  13. HR. Muslim no. 2708 di dalam Shahihnya
  14. HR. Abu Dawud no. 1535, lihat Silsilah ash-Shahihah (2755)
  15. HR. al-Bukhari no. 660 di dalam al-Adab al-Mufrad. Disahihkan di dalam Shahih al-Jami’ (5745)
join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *