oleh

Mengenal 8 Kewajiban dalam Shalat Beserta Dalilnya

-Fiqih-2,349 views

Di kesempatan kali ini kami ingin mengulas sedikit terkait beberapa kewajiban dalam shalat yang mana ibadah tersebut adalah ibadah yang agung. Padanya mengandung dzikir-dzikir dan gerakan-gerakan tertentu yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana definisi shalat yang para ulama sebutkan, yaitu: “Sebuah ibadah yang tersusun dari ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam”. Ucapan dan gerakan ini terbagi menjadi tiga macam: Rukun, wajib dan sunnah.

Perbedaan Rukun dan Kewajiban Shalat

Sebelum itu penting diketahui perbedaan antara rukun dan wajib. Adapun rukun adalah bacaan atau gerakan shalat yang harus ditunaikan, apabila ditinggalkan dalam keadaan apapun maka shalatnya tidak sah. Berbeda halnya dengan kewajiban, apabila ditinggalkan karena lupa maka cukup diganti dengan sujud sahwi.

Sehingga rukun shalat lebih ditekankan hukumnya daripada kewajiban shalat, namun shalatnya tetap batal ketika meninggalkannya secara sengaja baik yang berbentuk perbuatan ataupun ucapan karena meninggalkan kewajiban dalam shalat hukumnya tidak boleh.

8 Kewajiban dalam Shalat

Kata “Wajib” yang dalam bahasa arab (وَجَبَ) bermakna (لَزِمَ) yang berarti: Tetap/butuh/perlu. Sebagaimana dalam hadits: “Mandi jum’at (untuk shalat jum’at) wajib bagi setiap yang sudah baligh”.1

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara wajib dan fardhu, yaitu segala sesuatu yang ada hukumannya ketika ditinggalkan.2

Berikut ini delapan perkara yang merupakan kewajiban dalam shalat:

  1. Seluruh takbir yaitu: ucapan dengan lisannya اللَّهُ أَكْبَرُ ”Allah Maha Besar” dalam shalat kecuali takbiratul ihram.

Takbir ini dinamakan takbiratul intiqal (takbir perpindahan). Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu beliau berkata: “Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertakbir pada setiap bangkit, turun, berdiri, duduk3 dan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya hingga beliau wafat. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga berkata: “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat”

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits tersebut menunjukkan atas disyariatkannya takbir pada setiap bangkit, turun, berdiri dan duduk kecuali ketika bangkit dari ruku’, karena ucapan pada saat itu adalah:سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ.

Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah: “Hal ini, yaitu takbir telah disepakati pada ulama masa ini dan yang terdahulu.”4

  1. Ucapan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ”Allah mengabulkan orang-orang yang memujinya” bagi imam dan yang shalat sendiri (Munfarid).

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu: “Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bertakbir saat menegakkan shalat, kemudian bertakbir ketika ruku’ lalu beliau mengucapkan: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُketika bangkit dari ruku’ setelah itu beliau mengucapkan: رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ dalam keadaan berdiri.5

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah dalil yang dipegangi oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan sekelompok ulama tentang dianjurkan bagi imam, makmum dan munfarid untuk menggabungkan antara bacaanسَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ dan

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ.

Dia mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ketika bangkit dari ruku’ dan mengucapkan

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ ketika badan sudah tegak sempurna dalam i’tidal. Karena telah sah diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melakukan semuanya.6

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Penulis kitab al-Hawi al-Imam al-Mawardi asy-Syafi’i rahimahullah dan selainnya berkata: “Disunnahkan bagi imam untuk mengeraskan bacaan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ agar para makmum dapat mendengarnya sehingga makmum mengetahui bahwa imam sudah bangkit dari ruku’ sebagaimana imam mengeraskan bacaan takbir.

Adapun bacaan رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُmaka imam melirihkannya karena sang imam membacanya ketika i’tidal sehingga bacaan tersebut menyerupai bacaan tasbih ketika ruku’ dan sujud.

Sementara bagi makmum hendaknya melirihkan kedua bacaan tadi sebagaimana melirihkan bacaan takbir. Namun apabila makmum ingin mengingatkan makmum yang lain bahwa imam telah bangkit dari ruku’ maka tidak mengapa ia mengeraskan bacaannya.7

    1. Bacaan رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ hanya diperuntukkan bagi makmum. Adapun imam dan munfarid disunnahkan menggabung bacaan ini dengan bacaan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ sebagaimana penjelasan sebelumnya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu diatas dan juga hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu: “Ketika imam mengucapkan:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, maka katakanlah: رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ.8

Telah teriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada 4 bacaan ketika i’tidal yang seseorang bisa membaca salah satunya, yaitu:

    1. رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ“Wahai Rabb kami, segala pujian hanya untukMu”9
    2. رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ“Wahai Rabb kami dan segala pujian hanya untukMu”10
    3. اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ“Ya Allah Rabb kami, segala pujian hanya untukMu”11
    4. للَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ “Ya Allah Rabb kami dan segala pujian hanya untukMu”12

Akan tetapi yang lebih utama baginya adalah ia membaca yang lainnya juga secara bergantian di kesempatan yang berbeda, karena hal itu termasuk penjagaan dan peneladanan terhadap sunnah serta membuat hati lebih khusyu’ ketika shalat. Terlebih karena seorang manusia jika terus-menerus dengan 1 bacaan yang sama terkadang dia tidak sadar telah membacanya.13

Al-Imam an-Nawawi berkata14:”Disunnahkan membaca ketika i’tidal:

اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ Ya Allah Rabb kami segala pujian untukMu sepenuh langit dan bumi dan sepenuh segala sesuatu sesuai kehendakMu setelahnya””15 kemudian al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Al-Imam an-Nawawi berpendapat bolehnya memperlama i’tidal dengan memperpanjang bacaan”16

  1. Ucapan: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ“Maha Suci Rabbku yang Maha Agung” dibaca 1 kali ketika ruku’.
  2. Ucapan: سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi” dibaca 1 kali ketika sujud.

Berdasarkan hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu: (Dahulu –yakni Nabi shallallahu’alaihi wa sallam- mengucapkan: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِdalam ruku’nya dan mengucapkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَىdalam sujudnya.17

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan ulama lainnya berpendapat sunnahnya bacaan سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ ketika ruku’ dan

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى di dalam sujud diulang 3 kali dan disunnahkan pula menggabung bacaan tadi dengan bacaan yang datang pada hadits Ali radhiyallahu’anhu: اللهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ dan اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ (sampai akhir hadits).18
Hanya saja, bacaan sebanyak 3 kali dan memperpanjang bacaan hanya disunnahkan bagi selain imam atau seorang imam yang mengerti bahwa makmumnya akan senang dengan panjangnya bacaan imam ketika ruku’ dan sujud, namun jika ragu maka tidak disunnahkan.19


Baca Juga: Inilah 14 Pembatal Shalat yang Harus Anda Ketahui


  1. Ucapan: رَبِّ اغْفِرْ لِيْ ”Wahai Rabbku ampunilah aku” ketika duduk di antara dua sujud.

Berdasarkan hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam mengucapkan: رَبِّ اغْفِرْ لِيْ” “رَبِّ اغْفِرْ لِيْ ketika duduk di antara dua sujud.20

Disunnahkan untuk mengulang-ngulang bacaan tersebut. Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Al-Imam Abu Abdillah rahimahullah berkata: “Disunnahkan mengulang-ulang bacaan رَبِّ اغْفِرْ لِيْ” “رَبِّ اغْفِرْ لِيْ ketika duduk di antara dua sujud.21

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan tentang disyari’atkannya memohon ampunan ketika duduk diantara 2 sujud”22

  1. Tasyahud Awal, yaitu ucapan:

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ“.

“Segala Pengagungan hanya milik Allah, shalawat dan amalan-amalan kebaikan hanya untuknya, semoga keselamatan, rahmat Allah dam keberkahan dariNya senantiasa tercurahkan kepada engkai wahai Nabi, semoga keselamatan senantiasa tercurah kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya”23

Adapun bagi yang bermakmum dengan seorang imam yang berdiri pada raka’at ketiga tanpa melakukan tasyahud karena lupa, maka yang wajib baginya adalah tetap mengikuti imam tanpa tasyahud, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika lupa tasyahud beliau tidak turun untuk duduk kembali, namun hanya menggantinya dengan sujud sawhi.24

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Dinamakan dengan (Tasyahud) karena padanya ada ucapan syahadat, wahdaniyah (keesaan Allah Ta’ala) dan risalah (kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)”.25

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya (al-Umm) berkata:”Disunnahkan memberi dengan jari telunjuk ketika sampai pada ucapan syahadat”.26

  1. Duduk –tasyahud awal- berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu marfu’ sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: (Jika kalian duduk di setiap 2 raka’at, bacalah:

(التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ). Juga berdasarkan hadits Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu’anhu: (Jika engkau duduk pada pertengahan shalat, tuma’ninahlah dan bentangkan kaki kirimu -yaitu: duduk iftirosy- kemudian bertasyahudlah).27
Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Makna duduk iftirosy ialah membentangkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Sunnahnya adalah duduk iftirosy pada setiap duduk (di dalam shalat) kecuali duduk yang diakhiri dengan salam (duduk tasyahud akhir)”28

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Ulama telah sepakat tentang disunnahkannya meletakkan tangan kiri di atas atau di sisi paha. Hikmahnya adalah mencegah dari perbuatan sia-sia.

Adapun isyarat dengan jari telunjuk maka menurut kami hukumnya sunnah (dianjurkan) berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan dia berisyarat dengan tangan kanannya bukan dengan tangan kiri.

Termasuk amalan yang disunnahkan juga pandangannya tidak melebihi isyarat tangannya, yakni ia melihat kearah jari telunjuknya. Terdapat hadits shahih dalam Sunan Abu Dawud, yaitu: Berisyarat ke arah kiblat sembari berniat mengesakan Allah dan ikhlash kepada Allah semata”29

Penutup

Demikian 8 kewajiban shalat menurut pendapat sebagian ulama’ yang kami pandang benar sebagaimana yang telah dipaparkan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan bagi kita semua dalam menunaikan shalat sesuai bimbingan junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

REI/IWU

Penulis: Reihan Audie

Referensi:

  1. Lisanul ‘Arab
  2. Al-Fiqh al-Muyassar
  3. Al-Mulakhosh al-Fiqhi, karya asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
  4. Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
  5. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah
  6. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah
  7. Nailul Author, karya al-Imam asy-Syaukani rahimahullah
  8. Al-Mughni, karya al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
  9. Asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih rahimahullah

 

Footnotes

  1. HR. Ahmad no. 11578 dan Thabarani dalam Mu’jam as-Shagir no. 1155, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, shahih lihat al-Irwa’ no. 143
  2. Lihat Lisanul ‘Arab (1/793)

    وجب: وَجَبَ الشيءُ يَجِبُ وُجوباً أَي لزمَ. وأَوجَبهُ هُوَ، وأَوجَبَه اللَّهُ، واسْتَوْجَبَه أَي اسْتَحَقَّه. وَفِي الْحَدِيثِ:

    غُسْلُ الجُمُعةِ واجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِم.

    والواجِبُ والفَرْضُ، عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، سواءٌ، وَهُوَ كُلُّ مَا يُعاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ؛ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا أَبو حَنِيفَةَ، فالفَرْض عِنْدَهُ آكَدُ مِنَ الْوَاجِبِ.

  3. HR. an-Nasa’i no.2/20 dan at-Tirmidzi no. 203 dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, at-Tirmidzi berkata tentang hadits ini: “Hasan shahih”, lihat Shahih at-Tirmidzi no. 208

  4. Lihat Nailul Author (2/278).

    وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ التَّكْبِيرِ فِي كُلِّ خَفْضٍ وَرَفْعٍ وَقِيَامٍ وَقُعُودٍ إلَّا فِي الرَّفْعِ مِنْ الرُّكُوعِ فَإِنَّهُ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ

    حَمِدَهُ. قَالَ النَّوَوِيُّ: وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَمِنْ الْأَعْصَارِ الْمُتَقَدِّمَةِ

  5. HR. Muslim no. 28 dalam shahihnya dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
  6. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/99)

    فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَطَائِفَةٍ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِكُلِّ مُصَلٍّ مِنَ إِمَامٍ وَمَأْمُومٍ وَمُنْفَرِدٍ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ فَيَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حمده فِي حَالِ ارْتِفَاعِهِ وَرَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ فِي حَالِ اسْتِوَائِهِ وَانْتِصَابِهِ فِي الِاعْتِدَالِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فَعَلَهُمَا جَمِيعًا

  7. Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (3/418)

    قَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي وَغَيْرُهُ يُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْهَرَ بِقَوْلِهِ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِيَسْمَعَ الْمَأْمُومُونَ وَيَعْلَمُوا انْتِقَالَهُ كما يجهر بالكبير وَيُسِرُّ بِقَوْلِهِ رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ لِأَنَّهُ يَفْعَلُهُ فِي الِاعْتِدَالِ فَأَسَرَّ بِهِ كَالتَّسْبِيحِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَأَمَّا الْمَأْمُومُ فَيُسِرُّ بِهِمَا كَمَا يُسِرُّ بالتكبير فان أَرَادَ تَبْلِيغَ غَيْرِهِ انْتِقَالَ الْإِمَامِ كَمَا يُبَلَّغُ التكبيره جهر بقول سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

  8. HR. Muslim no.404 dalam shahihnya, dan Ahmad (4/399) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu
  9. HR. al-Bukhari no. 732 dan Muslim no. (411)-77 dalam shahih keduanya dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
  10. HR. al-Bukhari no. 789 dalam shahihnya dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
  11. HR. al-Bukhari no. 796 dan Muslim no. (409)-71 dalam shahih keduanya sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
  12. HR. al-Bukhari no. 795 dalam shahihnya sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
  13. Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (3/98)
  14. Lihat al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (4/192-193)

    وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا اسْتِحْبَابُ هذا الذكر

  15. HR. Muslim no. (476)-203 dalam shahihnya dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu’anhu
  16. Lihat Fathul Bari (2/289)

    وَمِنْ ثَمَّ اخْتَارَ النَّوَوِيُّ جَوَازَ تَطْوِيلِ الرُّكْنِ الْقَصِيرِ بِالذِّكْرِ

  17. HR. Abu Dawud no.874, at-Tirmidzi no.262, dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu’anhu, at-Tirmidzi berkata tentang hadits ini: “Hasan shahih”, an-Nasa’i (1/172), Ibnu Majah no. 987, shahih lihat (Shahih an-Nasa’i) no. 1097.

  18. HR. Muslim no. (771)-201 dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
  19. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/197)

    وَاسْتَحَبَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَغَيْرُهُ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَفِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَيُكَرِّرُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَيَضُمُّ إِلَيْهِ مَا جَاءَ فِي حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرَهُ مُسْلِمٌ بَعْدَ هَذَا اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ إِلَى آخِرِهِ وَإِنَّمَا يُسْتَحَبُّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا لِغَيْرِ الْإِمَامِ وَلِلْإِمَامِ الَّذِي يَعْلَمُ أَنَّ الْمَأْمُومِينَ يُؤْثِرُونَ التَّطْوِيلَ فَإِنْ شَكَّ لَمْ يَزِدْ عَلَى التَّسْبِيحِ

  20. HR. an-Nasa’i (1/172), Ibnu Majah no. 897, dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu’anhu, shahih lihat (al-Irwa’) no. 335
  21. Lihat al-Mughni (1/377)

    الْمُسْتَحَبُّ عِنْدَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَنْ يَقُولَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي: يُكَرِّرُ ذَلِكَ مِرَارًا

  22. 22 Lihat Nailul Authar (2/305)

    هُوَ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ طَلَبِ الْمَغْفِرَةِ فِي الِاعْتِدَالِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ

  23. HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim (402)-55 dalam shahih keduanya, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud,
  24. HR. al-Bukhari no. 1230 dan Muslim no. (570)-86 dalam shahih keduanya, dari sahabat Abdullah bin Buhainah al-Asadi radhiyallahu’anhu
  25. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/116)

    وَأَمَّا أَلْفَاظُ الْبَابِ فَفِيهِ لَفْظَةُ التَّشَهُّدِ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِلنُّطْقِ بِالشَّهَادَةِ بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالرِّسَالَةِ

  26. Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (3/460)

    وَيُسْتَحَبُّ إذَا بَلَغَ الشَّهَادَةَ أَنْ يُشِيرَ بِالْمُسَبِّحَةِ

  27. HR. Abu Dawud no. 856, dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu’anhu, hasan lihat (al-Irwa’) no. 337
  28. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/214-215)

    يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى مَعْنَاهُ يَجْلِسُ مُفْتَرِشًا فِيهِ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى السُّنَّةُ أَنْ يَجْلِسَ كُلَّ الْجِلْسَاتِ مُفْتَرِشًا إِلَّا الَّتِي يَعْقُبُهَا السَّلَامُ

  29. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (5/81-82)

    وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ وَضْعِهَا عِنْدَ الرُّكْبَةِ أَوْ عَلَى الرُّكْبَةِ وَالْحِكْمَةُ فِي وَضْعِهَا عِنْدَ الرُّكْبَةِ مَنْعُهَا مِنَ الْعَبَثِ وَأَمَّا الْإِشَارَةُ بِالْمُسَبِّحَةِ فَمُسْتَحَبَّةٌ عِنْدَنَا لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَيُشِيرُ بِمُسَبِّحَةِ الْيُمْنَى لَا غَيْرُ وَالسُّنَّةُ أَنْ لَا يُجَاوِزَ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ وَفِيهِ حَدِيثٌ صَحِيحٌ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ وَيُشِيرُ بِهَا مُوَجَّهَةٌ إِلَى الْقِبْلَةِ وَيَنْوِي بِالْإِشَارَةِ التَّوْحِيدَ وَالْإِخْلَاصَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *