oleh

Hikmah dari Peristiwa Wahyu yang Terputus

Wahyu merupakan anugerah yang Allah karuniakan kepada para nabi, termasuk Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang merupakan utusan terakhir. Wahyu merupakan pembeda antara seorang nabi dengan manusia biasa. Disebutkan dalam beberapa kitab sejarah, bahwa terputusnya wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad pernah terjadi selama beberapa waktu. Tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar di benak kita, “Apa yang sebenarnya terjadi?” Untuk menjawab pertanyaan itu, ikuti penjelasan di bawah ini sampai tuntas.

Wahyu yang Terputus

Setelah peristiwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berlalu, beliau sering merasa sedih karena wahyu yang terputus hingga jangka waktu tertentu. Seakan beliau ingin menjatuhkan diri dari puncak gunung (gua Hira’).

Setiap kali beliau mencapai puncak gunung tersebut, maka malaikat Jibril menampakkan dirinya seraya berkata, “Wahai Muhammad, sungguh engkau benar-benar utusan Allah.” Seketika kegelisahan beliau pun mereda, jiwa pun menjadi tenang, dan akhirnya beliau pun kembali turun.

Namun tatkala wahyu berikutnya tak kunjung datang hingga sekian waktu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kembali melakukan hal yang sama. Maka setiap kali beliau mencapai puncak gunung, malaikat Jibril menghampiri beliau seraya menampakkan dirinya untuk menghibur Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan perkataan yang sama seperti sebelumnya.[1]

Hikmah dari Peristiwa Wahyu yang Terputus

Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah menjelaskan hikmah dari peristiwa wahyu yang terputus tersebut, “Hikmah dari fenomena wahyu yang terputus dan tidak berkelanjutan pada awal mula turunnya adalah agar kerinduan Nabi terhadap wahyu semakin memuncak  dan kuat, sebagaimana yang telah terjadi. Karena ketika wahyu terputus, akhirnya beliau mencari Malaikat Jibril alaihissalam. Sampai-sampai beliau shallallahu alaihi wa sallam ingin melemparkan diri dari puncak gunung karena kesedihan dan kegundahan yang beliau rasakan.”[2]


Baca Juga: Sejarah Penting Awal Mula Turunnya Wahyu dalam Islam


Hal yang Perlu diluruskan terkait Peristiwa Wahyu yang Terputus

Syaikh Arafat bin Hasan al-Muhammadi hafizhahullah berkata seraya meluruskan kekeliruan terkait peristiwa tersebut,

“Disebutkan di dalam Shahih al-Bukhari (sebenarnya ini merupakan syubhat) yang ditunjukkan kaum orientalis dan ateis dalam hadits ‘Aisyah tentang kisah turunnya wahyu dan peristiwa yang terjadi di gua Hira’. Pada akhir hadits disebutkan bahwa ketika wahyu terputus maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat bersedih karenanya. Kemudian beliau shallallahu alaihi wa sallam mendaki gunung dan ingin melemparkan dirinya dari puncak gunung tersebut.

Kisah ini dijadikan oleh mereka (kaum orientalis dan ateis) sebagai bahan untuk menyerang dan mencela kaum muslimin. Mereka menyatakan, “Kalian mengatakan bahwa nabi kalian ma’shum (terjaga dari kesalahan), padahal lihatlah dia ingin bunuh diri!”

Jika ada seseorang yang mengatakan, “Bukankah hadits ini berada dalam Shahih al-Bukhari yang merupakan kitab rujukan paling shahih (benar) bagi kalian (setelah al-Qur’an)?” Maka jawabannya adalah bahwa riwayat hadits tersebut dha’if, tidak shahih, karena datang melalui riwayat az-Zuhri[3]. Sedangkan lafazh yang menjelaskan kondisi kesedihan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut sejatinya merupakan keterangan tambahan dari az-Zuhri sendiri. Maka keterangan tersebut tidak memiliki sanad (mata rantai para perawi hadits) yang bersambung.

Imam az-Zuhri sendiri merupakan seorang tabi’in (murid sahabat nabi) junior. Periwayatan beliau langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dihukumi mursal[4]bahkan mudhal[5]kerena riwayat beliau dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki jarak dua orang perawi hadits.

Kesimpulannya adalah bahwa riwayat tersebut merupakan tambahan yang tidak shahih. Dan perlu diketahui pula bahwa di dalam kitab Shahih al-Bukhari sendiri terdapat hadits yang dha’if (lemah). Di antara cirinya adalah ketika Imam Bukhari menyebutkan haditsnya dengan shigah tamridh (seperti qila (telah dikatakan), ruwiya (telah diriwayatkan), -pen) tanpa menyebutkan sanad haditsnya.”[6]

Penutupan

Sekian pembahasan dari kami tentang hikmah dari peristiwa wahyu yang terputus. Semoga Allah Ta’ala berikan kemudahan kepada kita untuk mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui dan kemudian menyebarkannya. Aamiin. (MZA/LTC/IWU)

Referensi:

  • Sirah Nabawiyyah minal Bidayah wan Nihayah karya Imam Abul Fida Ismail bin ‘Umar bin Katsir rahimahullahu Ta’ala (701 – 774 H).
  • Syarh Ushul fit Tafsir karya Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullahu Ta’ala (1347 – 1421 H).

[1] Lihat Shahih Bukhari kitab at- Ta’bir juz 6 hal 2561

[2] lihat Syarahi Ushul fi Tafsir karya Syaikh Muhammad bin Shalih hal.149.

[3] Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab bin Abdillah al-Qurasy az-Zuhri rahimahullah (51 – 124 H) beliau merupakan salah satu tabi’in junior terkemuka, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Syihab az-Zuhri.

[4] Hadits yang terputus sanadnya pada seorang setelah tabi’in.

[5] Hadits yang di dalamnya terdapat dua perawi atau lebih yang gugur/terputus.

[6] Audio Syaikh Arafat terkait syarah beliau terhadap kitab Sittatu Mawadhi’ minas Sirah (01/ 49:10-53:04).

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *