oleh

Berhias dengan Sifat Malu

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan luput dari interaksi dengan sesama. Oleh karena itu, syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sempurna menetapkan adab-adab serta akhlak mulia. Dengannya terlahirlah keharmonisan di dalam interaksi manusia.

Ketahuilah wahai saudaraku, kebahagiaan dan keharmonisan tidaklah identik dengan kemewahan, nasab yang tinggi, atau hal-hal yang bersifat materi lainnya. Akan tetapi bersumber dari adab-adab serta akhlak mulia yang semestinya setiap insan berhias dengan keduanya.

Berhias dengan Sifat Malu

Akhlak merupakan perkara batin yang dengannya seorang manusia bertabiat. Ini merupakan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada siapa yang ia kehendaki dari hambaNya. Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada shahabat al-Asyaj bin Qois radhiyallahu ‘anhu :

إن فيك خصلتين يُحبُّهما الله: الحِلْمُ والأناة، فقال: يا رسولَ الله أنا أتَخَلَّقُ بهما، أم اللهُ جَبَلَني عليهما؟ قال: بل الله جَبَلك عليهما

“Sungguh pada dirimu ada dua perangai yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya yakni kelembutan dan bijaksana. Dia berkata: wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah dua perangai tersebut aku yang mengupakannya ataukah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menganugerahkannya untukku? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: Bahkan Dia-lah yang mengaruniakannya untukmu.” (HR. Bukhari di dalam kitab al Adab no. 5225, hasan)

Di sisi lain, akhlak mulia juga dapat diusahakan dengan upaya dan latihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimanapun engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya. Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”(HR. Ahmad no. 21403, hasan).

Di antara akhlak mulia adalah sifat malu yang kita semua berusaha untuk berhias dengannya. Sifat malu terbagi menjadi dua:

Malu yang Terpuji

Menurut para ulama’ malu yang tepuji adalah sebuah perangai yang dengannya seseorang akan meninggalkan perkara yang buruk dan tidak mengurangi hak orang lain, serta tidak menyelisihi kebiasaan atau adat manusia. Maka tatkala ia melakukan perbuatan yang tak sepantasnya untuk ia lakukan diapun malu kepada manusia. Begitu pula ketika ia melakukan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan atau dia meninggalkan kewajiban yang harus ia lakukan maka diapun merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga malu tersebut akan membuat dia memperbaiki dan memperindah perbuatannya. Dikarenakan sekian banyak keutamaan yang terkandung dari perangai ini, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung seseorang untuk berhias diri dengannya, di antaranya adalah:

  1. Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau melewati seorang lelaki dari kalangan anshar yang tengah memberikan nasihat kepada saudaranya terkait sifat malu yang ada pada diri saudaranya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

    دَعْهُ فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

    “Biarkanlah dia, sesungguhnya sifat malu merupakan bagian dari iman”.(HR. Bukhari (24) di dalam shahihnya)

  2. Dari shahabat Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

    الحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

    “Sifat malu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”(HR. Bukhari (6117) di dalam shahihnya).

    Di dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

    الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ

    “Sifat malu seluruhnya terpuji.” (HR. Muslim (37) di dalam shahihnya)

Dua hadits di atas menunjukkan kemuliaan sifat malu dan cukup menjadi hasungan untuk kita berhias dengannya.

Malu yang Tercela

Perlu diperhatikan bahwa sifat malu tidaklah mencegah seseorang untuk bertanya tentang perkara agamanya. Terlebih lagi perkara yang ia wajib mengetahuinya. Ketahuilah hal tersebut bukanlah bagian dari sifat malu sedikit pun. Bahkan itu merupakan sifat tercela yang muncul dari rasa takut dan sifat pengecut dikarenakan tipu daya dan bujukan syaithan. Maka jangan takut wahai pencari kebenaran, bertanyalah. Adapun selain perkara agama dan kewajiban, maka malu lebih utama. Shahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

”Sungguh yang manusia dapatkan dari ucapan kenabian yang pertama adalah jika engkau tak malu maka lakukanlah semaumu.”(HR. Ahmad no. 17098, shahih).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq kepada kita agar dapat berhias dengan sifat malu. NSM