oleh

Benarkah Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu?

-Fiqih-3,223 views

Wudhu memiliki peran penting terhadap shalat karena ia merupakan salah satu syarat sah shalat. Sholat seseorang akan sah apabila ditegakkan di atas wudhu yang benar. Begitu pun sebaliknya, shalat tidak akan sah apabila tanpa berwudhu atau dengan wudhu yang tidak benar.

Dalam bidang fikih ibadah, terdapat pembahasan apakah bersentuhan dengan istri membatalkan wudhu ataukah tidak? Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa bersentuhan dengan istri membatalkan wudhu. Ada pula yang berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah membatalkan wudhu serta ada juga yang merinci. Mari kita ikuti rincian penjelasannya.

Pendapat yang Menyatakan Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu

Pendapat ini populer di kalangan ulama madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak, baik secara sengaja ataupun tidak.1

Imam Syafi’i rahimahullah berfatwa di dalam salah satu karyanya yang menjadi rujukan madzhab syafi’iyyah yaitu kitab al-Umm, beliau berkata: apabila seseorang menyentuh perempuan dengan tangan atau anggota badan lainnya secara langsung baik dengan syahwat ataupun tidak maka wajib bagi keduanya untuk berwudhu. selama yang bersentuhan itu adalah kulit dari laki-laki dan perempuan tersebut.2

Salah satu landasan argumennya adalah firman Allat Ta’ala di dalam surat an-Nisa ayat: 43

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

“Atau jika kalian menyentuh wanita.”

Disebutkan pula dalam suatu riwayat dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa mencium atau meraba istrinya, maka wajib baginya untuk berwudhu.3

Pendapat yang Menyatakan Bersentuhan dengan Istri Tidak Membatalkan Wudhu

Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.4 Beliau berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu5 dengan dalil hadits (dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’ anha), beliau radhiyallahu ‘anha berkata:

Di suatu malam aku kehilangan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur. maka aku berusaha mencarinya hingga tanganku menyentuh bagian dalam telapak kaki beliau, sedangkan saat itu beliau sedang shalat di masjid.6

Begitu pula dalam hadits lain,7 Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan “dahulu aku tidur di hadapan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kakiku di arah kiblatnya. Ketika akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Lalu aku pun melipat kakiku. Tatkala Beliau berdiri kembali, maka aku membentangkan kakiku.”

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa bersentuhan dengan istri tidak membatalkan wudhu. Seandainya sekedar menyentuh istri membatalkan wudhu, niscaya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menyentuh istrinya atau Beliau akan membatalkan shalatnya.

Pendapat yang Menyatakan Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu Jika Diiringi Syahwat

Pendapat ini dipilih dari Imam Ahmad rahimahullah,8demikian pula Imam Malik rahimahullah9 dan populer di kalangan ulama madzhab Hanbaliyah.10 Mereka mengemukakan bahwa menyentuh istri dengan syahwat membatalkan wudhu. Imam Malik rahimahullah menyatakan bahwa menyentuh istri tanpa diiringi dorongan syahwat dan tidak disertai keluarnya mani maka tidak membatalkan wudhu.11

Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah mengatakan di dalam salah satu fatwanya bahwa yang benar terkait permasalahan ini adalah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik diiringi syahwat ataupun tidak, selama tidak keluar sesuatu (mani atau madzi) karenanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya lalu menunaikan shalat dan tidak mengulangi wudhunya. Karena hukum asal ialah tetap dalam keadaan suci dan tidak ada tanggungan untuk kembali berwudhu. Sehingga tidak wajib berwudhu kecuali ada dalil sah dan jelas tidak ada yang menyanggahnya.12

Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan jika seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti menjelaskannya secara jelas dan gamblang. Adapun kata Mulamasah pada ayat ke-43 di dalam surat an-Nisa adalah kiasan dari makna jimak. Sebagaimana tafsir dari sahabat Ibnu Abbas dan sebagian ulama.13 Fatwa ini pun juga selaras sebagaimana yang dikeluarkan oleh Komite Dewan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi.14

Kesimpulannya bahwa menyentuh istri baik diiringi dengan syahwat atau tanpa adanya syahwat tidak membatalkan wudhu. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:

  1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah menyentuh istrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha saat sedang shalat.
  2. Hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah tetap dalam keadaan suci dan menjadi batal dengan pembatal wudhu yang jelas secara syar’i.
  3. Tidak ada penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu.
  4. Makna mulamasah pada ayat ke-43 di dalam surat an-Nisa adalah jimak (hubungan suami istri), bukan sekedar bersentuhan antarkulit.

Demikianlah rubrik fikih pembahasan “Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu”. Setiap ulama telah berijtihad dalam menghukumi suatu permasalahan berdasarkan ilmu yang sampai kepada mereka. Maka sepantasnya bagi kita seorang mukmin sejati untuk berpegang dengan dalil yang shahih dan tidak bersikap fanatik buta terhadap madzhab tertentu. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam memahami dan mengamalkan agama ini.

Wallahua’lam bis shawab. BFR-IWU

Penulis: Bustanul Fikri Ramadhan

Referensi:

  1. Kitab al-Umm, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah
  2. Syarah Shahih Muslim Ikmalul Mu’lim bi Fawaid Muslim, karya Qadhi Iyadh rahimahullah
  3. Al-Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
  4. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, karya Syaikhul Islam Abul Abbas bin Abdul Halim rahimahullah
  5. Majmu’ Fatawa Ibnu Bazz, karya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
  6. Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, dikeluarkan oleh Komite Dewan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi

Footnotes

  1. Majmu’ Fatawa Ibnu Bazz(135/10), karya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
  2. Kitab al-Umm (1/30), karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah

    وَإِذَا أَفْضَى الرَّجُلُ بِيَدِهِ إلَى امْرَأَتِهِ أَوْ بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أَوْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ وَوَجَبَ عَلَيْهَا، وَكَذَلِكَ إنْ لَمَسَتْهُ هِيَ وَجَبَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا الْوُضُوءُ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ أَيُّ بَدَنَيْهِمَا أَفْضَى إلَى الْآخَرِ إذَا أَفْضَى إلَى بَشَرَتِهَا

     

  3. HR. Imam Malik di dalam al-Muwattha’, dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma

    قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

     

  4. Majmu’ Fatawa Ibnu Bazz (135/10), karya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
  5. Syarah Shahih Muslim Ikmalul Mu’lim bi Fawaid Muslim (401/2), karya Qadhi Iyadh rahimahullah
  6. HR. Muslim no. 222 di dalam Shahihnya, dari sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha

    فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

     

  7. HR. al-Bukhari di dalam Shahihnya no. 513 dari sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha

    كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي، فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

     

  8. Majmu’ Fatawa Ibnu Bazz (135/10), karya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
  9. Syarah Shahih Muslim Ikmalul Mu’lim bi Fawaid Muslim (401/2), karya Qadhi Iyadh rahimahullah dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (367/20), karya Syaikhul Islam Abul Abbas bin Abdul Halim rahimahullah
  10. Al-Mughni (141/1), karya Imam Ibnu Qudamah rahimahullah

    أَنَّ لَمْسَ النِّسَاءِ لِشَهْوَةٍ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ، وَلَا يَنْقُضُهُ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ

     

  11. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (367/20), karya Syaikhul Islam Abul Abbas bin Abdul Halim rahimahullah
  12. Majmu’ Fatawa Ibnu Bazz (135/10), karya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah,

    لِأَنَّ مَسَّ الْمَرْأَةِ لَا يُنْقِضُ الْوُضُوْءَ مُطْلَقًا، سَوَاءٌ كَانَ عَنْ شَهْوَةٍ أَمْ لَا، إِذَا لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ شَيْءٌ؛ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، وَلِأَنَّ الْأَصْلَ: سَلَامَةُ الطَّهَارَةِ، وَبَرَاءَةُ الذِّمَّةِ مِنْ وُضُوْءِ آخَرَ، فَلَا يَجِبُ الْوُضُوْءُ إِلَّا بِدَلِيْلٍ سَلِيْمٍ لَا مُعَارِضَ لَهُ

  13. Majmu’ Fatawa Ibnu Bazz (135/10), karya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah,

    فَلَوْ كَانَ الْمَسُّ يَنْقُضُ الْوُضُوْءَ لَبَيَّنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَانًا وَاضِحًا، وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ} وَفِيْ قِرَاءَةٍ أُخْرَى {أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ} فَالْمُرَادُ بِهِ: الْجِمَاعُ، فَكَنَى اللهُ بِذَلِكَ عَنِ الْجِمَاعِ، كَمَا كَنَى اللهُ عَنْهُ سُبْحَانَهُ بِالْمَسِّ فِيْ آيَةٍ أُخْرَى، هَكَذَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَهُوَ الصَّوَابُ

     

  14. Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (288/5), dikeluarkan oleh Komite Dewan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi
join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *