oleh

Lima Adab Berutang dalam Islam

Islam telah mengatur dan membimbing muamalah antar sesama makhluk dengan aturan yang sempurna. Di antara muamalah yang dibimbing dalam islam adalah adab berutang. Dengan menerapkan adab berutang, akan terwujud kemaslahatan bagi yang berutang dan yang diutangi. Berikut ini adalah lima adab berutang dalam Islam yang penting untuk diketahui.

1.    Berniat Membayar Utang

Seseorang yang berutang memiliki kewajiban membayar utangnya. Hal ini karena utang adalah suatu pinjaman yang harus dikembalikan. Seseorang yang tidak membayar utang, sungguh dia telah berbuat sewenang-wenang dan terjatuh ke dalam perkara haram, yaitu berbuat zalim dengan tidak menunaikan hak saudaranya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meminjam harta orang lain dan ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan melunasinya. Sebaliknya, barangsiapa yang meminjam harta manusia dengan niat menghancurkannya, maka Allah akan menghancurkannya.”1

Dalam kesempatan yang lain Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengatakan,

“Siapa pun laki-laki yang berutang dan tidak berniat untuk melunasi hak orang yang mengutanginya, maka dia telah menipu orang tersebut sampai ia mengambil hartanya. Kemudian dia pun mati dalam keadaan belum membayar utangnya. Maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam keadaan sebagai pencuri.”2

2.    Tidak Menunda Pembayaran

Menunda-nunda pembayaran utang dalam keadaan mampu tanpa alasan yang benar adalah kezaliman. Hal itu karena pihak berutang tidak menunaikan hak orang lain yang telah berbuat baik kepadanya dengan memberikan utang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang hal ini, “Penundaan pembayaran oleh pihak berutang yang mampu adalah suatu kezaliman.”3

Semestinya orang yang berutang wajib menunaikan pembayaran dari sisi waktu dan jumlah sesuai kesepakatan kedua belah pihak yang terikat perjanjian utang piutang. Karena hal ini merupakan salah satu adab dalam berutang.

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini bahwa seorang yang belum mampu untuk melunasi utangnya, maka tidak teranggap melakukan kezaliman (pada hadits ini). Hal ini dipahami melalui lafal hadits. Karena keterkaitan hukum (zalim) dengan sifat orang yang melakukannya (mampu membayar utang) menunjukkan peniadaan hukum (zalim) ketika hilangnya sifat itu (mampu).4

3.    Tidak Meremehkan Utang

Seorang mukmin yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan adanya hari pembalasan tidak akan menganggap remeh utang sekecil apapun yang menjadi tanggungannya. Hal ini dikarenakan konsekuensi yang akan ia peroleh. Dimana setiap amalan, baik itu amal kebajikan atau kejelekan pasti mendapatkan balasannya. Adapun seorang mukmin dia akan senang dan bersemangat melakukan amalan kebajikan. Di sisi lain dia pun tidak merasa aman dengan amalan-amalan kejelekan.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian menyebabkan takut pada diri kalian setelah diliputi rasa aman.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” “Utang,” jawab beliau.5

Dalam kesempatan lainnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengatakan, “Barangsiapa yang rohnya telah berpisah dari jasadnya dalam keadaan dia terbebas dari tiga perkara, maka dia akan masuk ke dalam surga: mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi, utang dan kesombongan.”6

Lebih dari itu, utang adalah hak saudaranya terkait harta yang wajib baginya untuk ditunaikan.

4.    Bersikap Jujur dalam Berutang

Di antara akhlak seorang mukmin sejati adalah jujur dan tidak berdusta dalam kehidupannya. Begitu pula di dalam muamalah utang piutang, hendaknya seorang hamba yang beriman mengedepankan sikap jujur dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Terkait hal ini, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa di dalam shalatnya dengan doa,

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.”7

Maka ada yang bertanya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasullullah, mengapa betapa seringnya engkau berlindung dari utang? Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, bila berbicara dia berdusta dan ketika berjanji dia ingkar.”8

5.    Tidak Berutang dengan Sistem Riba

Adab berikutnya dalam berutang adalah tidak berutang dengan menggunakan sistem riba. Karena tujuan mendasar dari berutang sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara riba hanya akan menambah beban pihak yang berutang. Bahkan harta dari hasil praktek riba dengan cara apapun akan lenyap dan tidak diberkahi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (al-Baqarah: 276)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan melenyapkannya, baik dilenyapkan harta riba secara total dari tangan pemiliknya atau Allah hilangkan keberkahan harta tersebut hingga ia tidak bisa mendapatkan manfaat darinya.9

Sehingga seharusnya bagi setiap muslim memperhatikan hal tersebut dan berhati-hati darinya serta mengikhlaskan niat dalam peminjamannya. Selain itu, riba merupakan perkara yang haram dan dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah: 278)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini bahwa Allah Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya. Begitu pula Allah Ta’ala juga melarang para hamba-Nya dari berbagai dosa yang bisa mendatangkan kemarahan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan-Nya. Kemudian Beliau rahimahullah menafsirkan kalimat:

وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا

yaitu, “jauhi dan tinggalkanlah tambahan (riba) dari pokok-pokok harta kalian yang dipinjamkan kepada manusia.”10 [10]

Begitu pula Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan hasil riba, memberi makan dengan hasil riba, pencatat perjanjian riba serta saksinya. Beliau pun menyatakan, “Mereka itu semua sama (dalam dosa).”11

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini secara tegas menunjukkan haramnya transaksi riba, memberikan persaksian kepada kedua pihak yang melakukan transaksi riba serta memberikan bantuan pada perkara batil.12

Penutup

Demikian pembahasan ringkas lima adab berutang dalam Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan hamba-Nya yang berhias dengan adab-adab mulia serta mengokohkan kita di atas agama-Nya. Wallahu a’lam bis shawab. BFR/IWU

Penulis: Bustanul Fikri Ramadhan

Referensi:

  • Tafsir Ibnu Katsir, karya Ibnu Katsir rahimahullah
  • Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
  • Al-Minhaj, karya Imam an-Nawawi rahimahullah
  • Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, karya Muhammad Nashiruddin rahimahullah

Footnotes

  1. HR. al-Bukhari no. 2387 di dalam Shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

    مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

  2. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no.1807

    وأيُّما رجلٍ اسْتَدان دَيْناً لا يريدُ أنْ يُؤَدِّيَ إلى صاحِبِه حقَّه؛ خدعَهُ حتى أخَذَ مالَهُ، فماتَ ولَمْ يُؤَدِّ إليه دينَهُ؛ لَقِيَ الله وهو سارِقٌ

  3. HR. al-Bukhari no. 2287 di dalam Shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

    مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ

  4. Fathul Bari (4/466)

    أَنَّ الْعَاجِزَ عَنِ الْأَدَاءِ لَا يَدْخُلُ فِي الظُّلْمِ وَهُوَ بِطَرِيقِ الْمَفْهُومِ لِأَنَّ تَعْلِيقَ الْحُكْمِ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ يَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الْحُكْمِ عَنِ الذَّاتِ عِنْدَ انْتِفَاءِ تِلْكَ الصِّفَةِ

  5. HR. Ahmad (22369) di dalam Musnadnya dan al-Balhaqi (9/101) di dalam sunannya, dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 1797 (2/165)

    لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا. قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الدَّيْنُ

  6. HR. at-Tirmidzi (1573), Ibnu Majah (2412) al-Hakim (2217) di dalam Sunan mereka dan Ahmad (22369) di dalam Musnadnya, dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 1798 (2/166)

    مَنْ فَارَقَ رُوْحُهُ جَسَدَهُ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ؛ الْغُلُولُ، وَالدَّيْنُ، وَالْكِبْرُ

  7. HR. al-Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589 di dalam Shahih keduanya, dari sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha

    اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ

  8. HR. al-Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589 di dalam Shahih keduanya, dari sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha

    إنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ، حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ: مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ:

  9. Tafsir Ibnu Katsir (1/713)

    يُخْبِرُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ يَمْحَقُ الرِّبَا، أَيْ: يُذْهِبُهُ، إِمَّا بِأَنْ يُذْهِبَهُ بِالْكُلِّيَّةِ مِنْ يَدِ صَاحِبِهِ، أَوْ يَحْرمَه بَرَكَةَ مَالِهِ فَلَا يَنْتَفِعُ بِهِ

  10. Tafsir Ibnu Katsir (1/716)

    وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا أَيِ: اتْرُكُوا مَا لَكَمَ عَلَى النَّاسِ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى رُؤُوسِ الْأَمْوَالِ

  11. HR. Muslim no. 1598 di dalam Shahihnya, dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu

    لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ»، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

  12. Al-Minhaj (11 /26)

    هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابيين والشهادة عليهما وَفِيهِ تَحْرِيمُ الْإِعَانَةِ عَلَى الْبَاطِلِ