oleh

Kebiasaan yang Menyelisihi Sunnah ketika Berdoa

-Fiqih-1,502 views

Doa merupakan salah satu ibadah. Doa adalah cara dan sebab terkuat untuk menolak sesuatu yang dibenci dan mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Akan tetapi, hasil dari doa terkadang tertunda. Bisa jadi karena lemahnya doa tersebut pada jiwa orang yang berdoa atau tata cara dalam berdoa yang menyelisihi bimbingan dan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan terkadang doa itu tidak memiliki hasil sama sekali karena tidak diijabahi oleh Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, pada pembahasan ini, kita akan membahas beberapa kebiasaan yang menyelisihi sunnah ketika berdoa agar kita dapat menjauhinya, di antaranya,

Mengangkat Tangan Setelah Shalat Wajib

Terus-menerus mengangkat tangan saat berdoa setelah shalat wajib merupakan perbuatan yang tidak ada dalilnya. Yakni tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak pernah dinukilkan dari para sahabat bahwa mereka melakukan amalan tersebut.

Apabila seseorang terus-menerus mengangkat tangan saat berdoa setelah shalat, bahkan menjadikannya sebagai kebiasaan maka hal ini termasuk perbuatan yang menyelisihi sunnah. Adapun amalan yang sunnah setelah melakukan shalat wajib adalah berzikir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat tangan untuk berdoa setelah shalat wajib, sebagaimana hadits,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdoa kecuali setelah shalat Istisqa’ (shalat meminta agar turun hujan), sungguh beliau mengangkat kedua tangannya sampai-sampai terlihat ketiak beliau yang putih (yaitu ketika selesai shalat Istisqa’).1

Mengangkat Kedua Tangan di Pertengahan Shalat Wajib

Seorang mengangkat kedua tangan (untuk berdoa) di pertengahan shalat, yaitu ketika bangkit dari rukuk seperti membaca doa qunut pada shalat Subuh dan semisalnya yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga perbuatan tersebut masuk pada larangan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-ada (sebuah amalan) di dalam agama ini yang bukan bagian darinya maka amalan tersebut tertolak.”2

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang tidak ada perintahnya dari Kami maka amalan tersebut tertolak.”3

Tidak Khusyuk dan Tidak Menghadirkan Hati

Khusyuk (tenang) dan merendahkan suara saat berdoa merupakan faktor pendorong dikabulkannya doa. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً

Berdoalah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut.” (al-A’raf: 55)

Ulama ahli ilmu tafsir Imam ath-Thabari rahimahullah menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan,

“Berdoalah kalian wahai manusia hanya kepada Allah Ta’ala semata, ikhlaskanlah doa hanya kepada-Nya tanpa berdoa kepada sesembahan selain-Nya dan patung-patung. Kata {تَضَرُّعًا} bermakna merendahkan diri dan tunduk untuk taat hanya kepada-Nya. Kata {وَخُفْيَةً} bermakna tenangnya hati dan benarnya keyakinan kalian dengan adanya pengawasan Allah Ta’ala.”4

Sebaliknya, tidak khusyuk dan mengeraskan suara, menyelisihi adab dalam berdoa dan bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala dalam ayat di atas.

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 205)

Tentu tidak diragukan lagi bahwa doa termasuk zikir kepada Allah Ta’ala, bahkan doa termasuk seutama-utama zikir. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

Sebagaian sahabat pernah mengeraskan suara saat berdoa di suatu safar, maka Nabi menegur mereka seraya bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Wahai sekalian manusia, sayangilah diri-diri kalian (dengan tidak mengeraskan suara saat berdoa), sungguh kalian tidak berdoa kepada zat yang tuli dan gaib. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Zat Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.’5

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّهُمْ كانُوا يُسارِعُونَ فِي الْخَيْراتِ وَيَدْعُونَنا رَغَباً وَرَهَباً وَكانُوا لَنا خاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan kebajikan dan berdoa kepada Kami dengan rasa harap dan cemas. Mereka termasuk orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (al-Anbiya:90)

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata,

Berharap rahmat Allah dan takut terhadap azab-Nya. {وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ} makna kalimat ini adalah merendahkan diri.

Imam Qatadah rahimahullah menjelaskan makna kalimat tersebut, beliau berkata, “Yaitu tunduk terhadap perintah Allah Ta’ala.”

Imam Mujahid rahimahullah juga berkata tentang makna kalimat tersebut: “Al-Khusyuk adalah rasa takut yang ada di dalam hati.”6

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ

Wahai manusia! Jika kalian meminta kepada Allah Azza wa Jalla, maka mintalah dalam keadaan kalian yakin permintaan tersebut akan dikabulkan, karena sungguh Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai.7

Maka sudah sepantasnya bagi seseorang yang berdoa untuk bersemangat dan berusaha menyempurnakan doanya agar Allah Ta’ala mengabulkan keinginannya.

Putus Asa dari Dikabulkannya Doa dan Terburu-Buru

Sikap putus asa dari terkabulnya doa dan terburu-buru agar doanya dikabulkan merupakan salah satu penghalang tidak dikabulkannya doa dan sikap yang bertentangan dengan adab-adab dalam berdoa. Sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي

Doa salah seorang di antara kalian akan senantiasa dikabulkan selama ia tidak terburu-buru akan terkabulnya doa tersebut, lalu (orang yang berdoa) berkata: ‘Aku telah berdoa namun tak kunjung dikabulkan.’8

Sehingga, sepantasnya bagi siapapun yang berdoa, hendaknya ia yakin bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Karena dia memohan kepada Zat Yang Maha Mulia dan Maha Kaya, Sang Pemilik alam semesta. Bahkan Allah Ta’ala telah menjamin akan mengabulkan doa hamba yang meminta, Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Rabbmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu.” (Ghafir: 60)

Namun, apabila doa seseorang tak kunjung dikabulkan maka penyebabnya satu dari dua kemungkinan,

  1. Kemungkinan pertama; Adanya penghalang yang menghalangi terkabulnya doa. Berupa perbuatan memutus tali silaturahmi, doa yang mengandung unsur permusuhan atau dia memakan sesuatu yang haram. Inilah di antara sebab-sebab yang sangat berpengaruh dalam menghalangi terkabulnya doa.

  2. Kemungkinan kedua; Pengabulan doanya ditunda atau dalam rangka menghindarkan kejelekan yang akan muncul dari keinginan dalam doanya tersebut. Sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ، قَالَ: اللَّهُ أَكْثَرُ

Tidaklah seorang muslim berdoa yang padanya (yakni pada doa tersebut) tidak mengandung dosa atau memutus tali silaturahmi, melainkan Allah Ta’ala akan memberikan satu dari tiga balasan; Bisa jadi Allah segera langsung mengabulkan doanya, atau Allah menyimpannya di akhirat (tidak dikabulkan di dunia tetapi nanti di akhirat), atau bisa jadi Allah menghindarkan ia dari kejelekan yang akan timbul dari keinginannya tersebut.

Para sahabat berkata: ‘Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Perbanyaklah’.”9

Adapun hadits,

إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِجَاهِيْ، فَإِنَّ جَاهِيْ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ

Apabila kalian berdoa kepada Allah maka mintalah kepada-Nya dengan perantara kedudukanku (Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena kedudukanku di sisi Allah sangatlah agung.”

Adalah hadits yang tidak benar penyandarannya kepada Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,

Kedudukan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah sangatlah besar dibanding kedudukan seluruh Nabi dan Rasul selain beliau. Akan tetapi, kedudukan makhluk di sisi Allah tidak seperti kedudukan makhluk di antara makhluk lainnya.

Karena, ketika seorang makhluk memberikan syafaat kepada makhluk yang lain tanpa izin dari Allah Ta’ala maka dia telah menjadi tandingan bagi Allah dalam hal mendapatkan apa yang ia inginkan. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman,

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ وَلا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ

Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat biji sawi pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak memiliki suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu.” (Saba’: 22-23)

Sehingga kedudukan mulia Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah tidak berkonsekuensi adanya pembolehan untuk bertawassul (menjadikannya sebagai perantara dalam doa ataupun ibadah lainnya) dengan kedudukan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena tidak adanya perintah dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan hal itu.10

Penutup

Banyak orang yang mengira bahwa rahasia terkabulkannya sebuah doa terletak pada lafal doa itu semata. Sehingga, dia pun membaca doa tersebut tanpa disertai dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang merupakan pendukung terkabulnya doa.

Tentunya anggapan ini tidaklah benar, karena doa adalah ibadah yang tentu memiliki aturan dan ketentuan, baik tuntunan-tuntunan ataupun adab-adab dalam berdoa. Harapannya setelah mengetahui beberapa kebiasaan yang menyelisihi sunnah ketika berdoa kita dapat menjauhinya dan memperbaiki adab dan tata cara kita dalam berdoa. Semoga dalam kesempatan lain kita bisa membahas beberapa adab lainnya dalam berdoa, Aamin. LHL-AAA/IWU

Penulis: Lekat Hidayat

Referensi:

  1. Al-Minzhar karya Asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad rahimahullah.

  2. Al-Qo’idatul Jali’lah karya Asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim (W. 729 H) rahimahullah.

  3. Tafsir ath-Thabari karya al-Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari rahimahullah.

  4. Tafsir al-Baghawi karya al-Imam Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi (W. 510 H) rahimahullah.


1 HR. Muslim no. 1031 di dalam shahihnya, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

2 HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 17 di dalam shahih keduanya, dari sahabiyah Aisyah radhiyallahu’ anha.

3 HR. al-Bukhari dan Muslim no. 14 di dalam shahih keduanya, dari sahabiyah Aisyah radhiyallahu’ anha..

4 Lihat Tafsir ath-Thabari (10/247)

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: ادْعُوا أَيُّهَا النَّاسُ رَبَّكُمْ وَحْدَهُ، فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ دُونَ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مِنَ الْآلِهَةِ وَالْأَصْنَامِ. {تَضَرُّعًا} يَقُولُ: تَذَلُّلًا وَاسْتِكَانَةً لِطَاعَتِهِ. {وَخُفْيَةً} يَقُولُ: بِخُشُوعِ قُلُوبِكُمْ وَصِحَّةِ الْيَقِينِ مِنْكُمْ بِوَحْدَانِيَّتِهِ فِيمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ، لَا جِهَارًا مُرَاءَاةً، وَقُلُوبُكُمْ غَيْرُ مُوقِنَةٍ بِوَحْدَانِيَّتِهِ وَرُبُوبِيَّتِهِ، فِعْلَ أَهْلِ النِّفَاقِ وَالْخِدَاعِ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ

5 HR. al-Bukhari no. 6384 dan Muslim no. 44 di dalam shahih keduanya dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu

6 Lihat Tafsir al-Baghawi (5/353).

رَغبًا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَرَهبًا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ، {وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ} أَيْ مُتَوَاضِعِينَ، قَالَ قَتَادَةُ: ذُلِّلَا لِأَمْرِ اللَّهِ. قَالَ مُجَاهِدٌ: الْخُشُوعُ هُوَ الْخَوْفُ اللَّازِمُ فِي الْقَلْبِ

7 HR. Ahmad no. 6655 dan selainnya di dalam musnadnya, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyaallahu ’anhu, hadits hasan. Lihat at-Targhib wa at-Tarhib (2/491-492).

8 HR. al-Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 90 di dalam shahih keduanya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

9 HR. Ahmad no. 11133 di dalam sunannya dan selainnya dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, hasan.Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 1633.

10 Lihat al-Qo’idatul Jali’lah (hlm.132)

قال: “مع أن جاهه صلى الله عليه وسلم عند الله أعظم من جاه جميع الأنبياء والمرسلين، ولكن جاه المخلوق عند الخالق ليس كجاه المخلوق عند المخلوق فإنه لا يشفع عنده أحد إلا بإذنه، والمخلوق يشفع عند المخلوق بغير إذنه، فهو شريك له في حصول المطلوب، والله تعالى لا شريك له كما قال سبحانه: {قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ وَلا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ}.

فلا يلزم إذن من كون جاهه صلى الله عليه وسلم عند ربه عظيماً، أن نتوسل به إلى الله تعالى لعدم ثبوت الأمر به عنه صلى الله عليه وسلم