oleh

6 Jenis Kemaksiatan Lisan yang Disebutkan dalam Nash

Lisan merupakan salah satu anggota badan yang tidak bertulang, panca indera yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dengan lisan seseorang bisa meraih kebahagiaan bila ia menggunakannya pada hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah, dan sebaliknya, ia akan terjerumus dalam jurang kebinasaan bila lisan tersebut ia gunakan pada hal-hal yang dimurkai dan dibenci oleh Allah.

Tujuan Diciptakannya Lisan

Tidaklah Allah menciptakan sesuatu kecuali pasti ada tujuan dan hikmah yang agung di balik itu. Termasuk lisan, ia diciptakan untuk suatu tujuan yang mulia yaitu agar ia digunakan dalam ketaatan kepada Allah, dan ditahan dari kemaksiatan dan dosa. Apabila lisan bisa dimanfaatkan dengan baik niscaya akan menjadi sebab keberuntungan dan keselamatan bagi pemiliknya di dunia dan di akhirat.1

Namun, betapa banyak manusia yang tidak mengerti tujuan penciptaan lisan. Oleh karenanya tidak sedikit dari mereka yang terjerembab dalam kubang kemaksiatan akibat lisannya. Na’udzubillah!

Maka seyogyanya bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam mempelajari ilmu agama, karena hanya dengan pertolongan Allah kemudian dengan ilmu yang bermanfaat seseorang mampu mengontrol lisannya dengan baik, dan menjaganya dari berbagai kemaksiatan dan kejelekan lisan.

Jenis-jenis Kemaksiatan Lisan

Kemaksiatan dan kejelekan yang lisan sering tergelincir padanya antara lain:

  1. Mengucapkan perkatan yang sia-sia
    Dalam sebuah hadits yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah, meniggalkan berbagai perkara yang tidak bermanfaat.”2

  1. Larut dalam kebatilan

Yaitu berkecimpung dalam membicarakan kemaksiatan atau kebatilan.

Dari Abu Hurairah radhiyallhu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan sebuah perkataan (tentang suatu kemaksiatan tertentu) yang menyebabkan dirinya terprosok ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” 3

Termasuk pembicaraan yang mengandung kebatilan adalah adu pendapat dan debat kusir, yaitu sering membantah ucapan orang lain untuk menjelaskan kesalahan dan membungkam mulut lawan debatnya tersebut. Perbuatan ini terjadi biasanya disebabkan sikap merasa tinggi dan sombong yang mendorong seseorang untuk memamerkan kelebihan dan membela dirinya.

Dan yang lebih parah dari perdebatan adalah pertikaian, (adu mulut) yang akan mewariskan kebencian dan permusuhan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ

“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah yang paling keras lagi paling suka bertikai.”4

  1. Berkata kotor, mencaci maki, dan yang semisalnya

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ، وَلَا اللِّعَانِ، وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Bukanlah ciri seorang mukmin, suka mencela, melaknat, dan berbuat keji atupun berkata kotor.”5

  1. Mengejek, mengolok-olok, meremehkan serta merendahkan orang lain

Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ

“Cukuplah seseorang itu dikatakan telah melakukan kejelekan apabila ia merendahkan saudaranya semuslim, setiap muslim terhadap muslim yang lain haram darahnya hartanya dan kehormatannya.”6

  1. Ghibah (membicarakan aib dan kekurangan orang lain)

Telah ada larangan dari perbuatan ini di dalam al-Qur’an. Allah telah menyamakan pelaku ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya yang ia ghibahi:

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Janganlah Sebagian kalian mengghibahi Sebagian yang lain, apakah salah seorang diantara kalian suka memakan bangkai saudaranya? Tentu kalian merasa jijik dan enggan untuk memakanya. Maka bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.” (Al-Hujurat:12)

Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentang hal ini:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai orang yang beriman dengan lisannya, sementara keimanan belum memasuki hatinya! Janganlah kalian mengghibahi kaum muslimin dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Barang siapa mencari-cari aib mereka pasti Allah akan mencari-cari aibnya. Barang siapa yang Allah cari aibnya,niscaya Allah akan membongkarnya walaupun dia berada di dalam rumahnya.”7

  1. Menyebarkan rahasia orang lain, mengingkari janji, dan berdusta Ketika berbicara dan bersumpah atau bersaksi.

Allah Ta’ala berfirman:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“(Ingatlah) ketika kalian menerima berita bohong itu melalui ucapan lisan kalian, lalu kalian sebarkan dengan mulut-mulut kalian tanpa mengetahui dasar ilmunya sedikitpun, sementara kalian menganggapnya sebagai perkara yang sepele. Padahal di sisi Allah (pertanggung jawabannya) sangatlah besar.” (an-Nuur:15).

Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara dia (mudah) berdusta, apabila berjanji dia (suka) menyelisihinya, dan apabila diberi amanah dia (gampang) berkhianat.”8

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang lain:

أَكْبَرُ الكَبَائِرِ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ ثَلاَثًا أَوْ: قَوْلُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

“Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, dan persaksian palsu (beliau mengulanginya) sebanyak 3 kali -atau Beliu mengatakan: “Ucapan dusta.” Beliau terus mengulang-ulangnya sampai kamipun(para sahabat) berkata (dalam hati karena kasihan kepada beliau): “Seandainya beliau berhenti (dari pengulangan tersebut).”9

Inilah sebagian dari jenis-jenis kemaksiatan lisan dan kejelekannya yang dapat kami sajikan pada pembahasan kali ini, mudah-mudahan Allah selalu memberikan kemudahan kepada kita untuk menjaga lisan-lisan kita dari berbagai perkara yang dilarang oleh-Nya. Aamiin IBL- IWU

Penulis: Ibrahim Lampung

Referensi:

  1. Mukhtashar Minhajul Qashidin karya Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
  2. Taisirul Karimir Rahman Karya Al-Imam As-Sa’di.

 

Footnotes

  1. Lihat Taisirul Karimir Rahman hal. 377

    فالله تعالى خلق الخلق لعبادته ومعرفته بأسمائه وصفاته، وأمرهم بذلك، فمن انقاد، وأدى ما أمر به، فهو من المفلحين، ومن أعرض عن ذلك، فأولئك هم الخاسرون، ولا بد أن يجمعهم في دار يجازيهم فيها على ما أمرهم به ونهاهم.

  2. HR. At-Tirmidzi no.2317 dalam sunannya,dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam shahihul jami’.
  3. HR. Al-Bukhari no. 6477, dan Muslim no. 2988.
  4. HR. Al-Bukhari no. 7188, dan Muslim no. 2668. Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu’anha.
  5. HR. Al-Bukhari no. 312 dalam adabul mufrad, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 320.
  6. HR. Muslim no. 2564 dalam shahihnya dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu.
  7. HR. Abu Dawud no. 4880, dari sahabat Abu Barzah al-Aslami radhiallhu’anhu, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’.
  8. HR. Al-Bukhari no.33 dalam shahihnya dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu.
  9. HR. Al-Bukhari no.6919 dalam shahihnya dari sahabat Abu Bakrah radhiallhu’anhu.