oleh

Hukum Jual Beli Janin Hewan Ternak

Transaksi jual beli begitu penting dalam kehidupan manusia dari dulu hingga saat ini. Barang dagangan maupun sistem transaksi selalu saja berkembang dengan berbagai bentuk dan caranya. Namun ajaran Islam yang datang sebagai agama yang mudah dan satu-satunya jalan menuju keselamatan, telah menjelaskan segala sesuatu (demi kemaslahatan hidup para pemeluknya) dengan begitu terperinci apa saja yang boleh dan apa saja yang terlarang. Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang hukum menjual janin hewan ternak. Mari simak penjelasannya yang kami ringkas dari penjelasan Syaikh Muhammad bin shalih rahimahullah

Jual Beli Janin Hewan Ternak Mengandung Unsur Gharar (Spekulasi)

Menjual janin hewan ternak tanpa menjual induknya dilarang dalam agama Islam dan tidak sah jual belinya. Karena di dalamnya terdapat unsur gharar (spekulasi atau ketidakjelasan) sehingga dikhawatirkan akan merugikan salah satunya (penjual atau pembeli). Keduanya tidak tahu apakah di dalamnya terdapat satu janin atau lebih? Jantan atau betina? Apakah janin tersebut keluar dengan selamat ataukah tidak? Maka jual beli seperti ini sangat samar dan tidak pasti.

Sedangkan salah satu syarat jual beli adalah harus transparan (diketahui secara mendetail barangnya oleh kedua belah pihak) dan tidak ada di dalamnya unsur gharar (ketidakjelasan). Sebagaimana hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

«نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ»

“Rasulullah ﷺ melarang sistem transaksi dengan cara melempar sesuatu dan yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) padanya.” 1

Hadits ini bersifat umum, seluruh transaksi yang mengandung ketidakjelasan maka masuk ke dalam larangan ini. Oleh karena itu, agama Islam melarang jual beli janin hewan ternak karena terdapat padanya unsur ketidakjelasan.

Larangan Nabi dari Jual Beli Janin Hewan Ternak

Begitu pula di dalam hadits Nabi ﷺ terdapat larangan yang jelas dari jual beli janin hewan ternak. Hal ini sebagaimana di dalam hadits riwayat Muslim dari shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الحَبَلَةِ

“Bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang jual beli janin hewan ternak yang masih dalam kandungan.” 2 

Contoh: Penjual mengatakan, “Aku menjual kepadamu janin kambing ini dengan harga Rp.500.000.” Lalu si pembeli membayarnya dan menunggunya hingga anak kambing itu lahir. Bisa jadi si pembeli untung jika anak kambing tersebut sehat dan bagus. Karena bila dijual secara normal, harganya di atas itu. Namun sebaliknya, bila anak kambing tersebut ternyata mati, maka uang tersebut tidak bisa dikembalikan sehingga pembeli rugi.

Dengan sebab inilah ajaran Islam melarang jual beli yang demikian. Ini demi kenyamanan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dan tidak ada pihak yang dirugikan. 

Bagaimana Bila Janin Dijual Bersama Induknya?

Dalam hal ini berbeda kondisi. Para ulama membolehkannya dengan syarat tidak boleh terpisah transaksinya, contoh: Penjual berkata, “Aku menjual kambing bunting ini kepadamu beserta janin yang ada di dalamnya.”

Adapaun jika janin tersebut dijual mengikuti induknya maka ini tidak lah mengapa. Berdasarkan kaidah fikih yaitu,

يَثْبُتُ تَبَعًا مَا لَا يَثْبُتُ اسْتِقْلَالًا

“Sesuatu dapat berlaku ketika mengikuti (pokoknya), tetapi tidak berlaku apabila terpisah.”

Yakni yang dijual adalah induk kambing, namun janin itu turut terjual karena mengikuti induknya. Akan tetapi apabila janin dijual secara terpisah (tanpa induknya), maka ini masuk di dalam larangan jual beli hewan ternak yang terdapat di dalam hadits. 3


Baca Juga: Hukum Jual Beli Kredit Menurut Syariat Islam


Akhir kata

Para pembaca rahimakumullah. Inilah sedikit gambaran seputar hukum jual beli janin hewan ternak. Para ulama telah merincinya, dibolehkan bila janin tersebut dijual beserta induknya dan dilarang bila janin tersebut dijual secara sendiri. Harapannya kita bisa mengamalkannya dan tidak terjatuh ke dalam firman Allah Ta’ala,

وَلَا ‌تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ” 

 “Dan janganlah kalian memakan harta di antara kalian secara yang bathil (haram)” (al-Baqarah: 177)

Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita dan kaum muslimin seluruhnya. Aamiin.

Penulis: Mu’awiyah Ciamis

Referensi

Kitab Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah (W. 1421H). 

 

Footnotes

  1.  HR. Muslim di dalam Bab Buthlan Bai’ul Hashat No. 1513.

     

  2.  Sahih al-Bukhari di dalam bab Bai’ul Gharar wa Habalil Habalah no. 2256.

     

  3. Disadur secara ringkas dari Kitab Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (8/153-154).