oleh

Urgensi Berpegang Teguh dengan Sunnah Nabi

-Hadits-737 views

Berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan keselamatan di zaman yang penuh ujian ini, sehingga sangatlah dibutuhkan keteguhan dan kesabaran dalam menjalaninya. Oleh karena itu, rubrik hadits pada kesempatan kali ini akan membahas sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya berpegang teguh dengan Sunnah di masa-masa yang penuh dengan ujian, dalam rangka memotivasi diri untuk menjalankan Sunnah tersebut.

Nasihat yang Sangat Berharga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.

“Aku mewasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah Ta’ala, serta mendengar dan taat (kepada penguasa muslim),  sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing. Gigitlah sunnah itu (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah dari perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah sesat.”1

Makna Hadits Berpegang Teguh dengan Sunnah Nabi

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullahu menjelaskan makna hadits di atas yang akan kami paparkan dalam poin-poin berikut :

Bertakwa dan Taat Kepada Pemeritah Kita

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku mewasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah Ta’ala, serta mendengar dan taat (kepada penguasa muslim).”

Pada dua kalimat ini terkumpul padanya dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Takwa merupakan penjamin kebahagiaan seseorang di dunia dan akhirat, bagi orang-orang yang istiqamah di atasnya.

Adapun mendengar dan taat kepada penguasa muslim, padanya terdapat kebahagiaan dunia. Dengannya, berbagai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat menjadi teratur. Dengan ketaatan kepada pengusa muslim juga, hal itu akan membantu kaum muslimin dalam menampakkan (syi’ar) agama mereka dan ketaatan kepada Rabb mereka.2

Solusi di Kala Fitnah Melanda

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku akan melihat banyak perselisihan.”

Ini merupakan berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fenomena yang akan menimpa umat ini sepeninggal beliau, berupa banyaknya perselisihan dalam permasalahan pokok agama dan cabang-cabangnya, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun keyakinan.3


Baca juga : Benarkah Surga dan Neraka Sudah Ada Sekarang?


1.      Berpegang Teguh dengan Ajaran Nabi dan Sunnahnya

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing.”

Ini adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat terjadi perpecahan dan perselisihan, yaitu perintah agar berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin sepeninggal beliau.4

Imam az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Berpegang teguh dengan as-Sunnah adalah keselamatan.”5

Sedangkan makna sunnah itu sendiri telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, “Sunnah adalah jalan (beragama) yang ditempuh, mencakup segala permasalahan aqidah, amalan, dan ucapan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin berada di atasnya.

Inilah makna sunnah yang paling mencakup. Oleh karena itu para ulama salaf tidak memutlakkan nama sunnah kecuali pada perkara-perkara tersebut. As-Sunnah dengan makna seperti ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auza’i, dan al-Fudhail bin Iyadh rahimahumullahu. Sedangkan mayoritas ulama yang hidup pada masa belakangan ini mengkhususkan penamaan sunnah hanya terkait permasalahan akidah, karena akidah adalah pokok agama, dan orang yang menyelisihi akidah yang benar itu berada dalam bahaya besar.”6

2.      Berpedoman Juga dengan Ajarannya Para Shahabat Nabi

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing.”

Mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan hidayah, yaitu empat khalifah berdasarkan kesepakatan umat Islam: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum.7

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:  “Yang  terbimbing”

Dalam riwayat lain “yang mendapat petunjuk”, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing (memberi petunjuk) kepada kebenaran dan tidak menyesatkannya.

Dalam hal ini ada tiga golongan:

-Golongan yang lurus, adalah yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya.

-Golongan yang menyimpang, adalah yang mengetahui kebenaran namun enggan mengikutinya.

-Golongan yang sesat, adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui kebenaran.

Golongan yang lurus (agamanya) adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (hidayah). Oleh karena itu orang yang mendapat hidayah dengan sempurna, maka akan lurus (agamanya) karena hidayah akan sempurna dengan mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.8

3.      Menjauhi Perkara yang Diada-adakan Dalam Agama

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berhati-hatilah dari perkara yang diada-adakan (dalam agama).”

Ini merpakan peringatan bagi umat ini dari mengikuti perkara-perkara bid’ah. Hal tersebut diperkuat dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.”

Makna bid’ah itu sendiri adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama yang secara asal tidak ada tuntunan dan petunjuk syariat. Adapun perkara yang memang ditunjukkan oleh syariat, maka hal itu bukanlah bid’ah secara istilah, walaupun secara bahasa bisa disebut bid’ah.9

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah sesat.”

Ini adalah salah satu pokok yang agung dan senada dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini suatu hal baru yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.”10

Sehingga siapa saja yang membuat-buat hal baru kemudian menisbatkannya kepada agama padahal tidak ada dasar dan rujukannya, maka perkara tersebut adalah sesat dan agama ini berlepas diri darinya, sama saja apakah perkara tersebut tentang akidah, amalan, maupun ucapan yang nampak maupun tersembunyi.11

Demikianlah bimbingan hadits di atas untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga hal ini bisa menambah keteguhan dan kesabaran kita untuk tetap istiqamah di atas kebenaran hingga hari perjumpaan dengan-Nya.

IPK/MPS/AAK

Penulis: Indra Permana Kebumen

Referensi:

-Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah

-Siyar A’lam an-Nubala karya Imam ad-Dzahabi rahimahullah

-Syarh al-Arbain an-Nawawiyyah karya Imam Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah

Footnotes

  1. HR. Abu Dawud (4607) dan at-Tirmidzi (2676), shahih, Irwaul Ghalil no. 2455 (8/107), dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu.

  2. Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (2/116,117)

    فَهَاتَانِ الْكَلِمَتَانِ تَجْمَعَانِ سَعَادَةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: أَمَّا التَّقْوَى فَهِيَ كَافِلَةٌ بِسَعَادَةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهَا وَأَمَّا السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِوُلَاةِ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ، فَفِيهَا سَعَادَةُ الدُّنْيَا، وَبِهَا تَنْتَظِمُ مَصَالِحُ الْعِبَادِ فِي مَعَايِشِهِمْ، وَبِهَا يَسْتَعِينُونَ عَلَى إِظْهَارِ دِينِهِمْ وَطَاعَةِ رَبِّهِمْ

  3. Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (2/120)

    هَذَا إِخْبَارٌ مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا وَقَعَ فِي أُمَّتِهِ بَعْدَهُ مِنْ كَثْرَةِ الِاخْتِلَافِ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ، وَفِي الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ وَالِاعْتِقَادَاتِ

  4. Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (2/120)

    وَكَذَلِكَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَمْرٌ عِنْدَ الِافْتِرَاقِ وَالِاخْتِلَافِ بِالتَّمَسُّكِ بِسُنَّتِهِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِهِ

  5. Siyar A’lam an-Nubala (5/337)

    عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: الاَعتصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ

  6. Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (2/120)

    وَالسُّنَّةُ: هِيَ الطَّرِيقَةُ الْمَسْلُوكَةُ، فَيَشْمَلُ ذَلِكَ التَّمَسُّكَ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ هُوَ وَخُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ مِنَ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَقْوَالِ، وَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ الْكَامِلَةُ، وَلِهَذَا كَانَ السَّلَفُ قَدِيمًا لَا يُطْلِقُونَ اسْمَ السُّنَّةِ إِلَّا عَلَى مَا يَشْمَلُ ذَلِكَ كُلَّهُ، وَرُوِيَ مَعْنَى ذَلِكَ عَنِ الْحَسَنِ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَالْفُضَيْلِ بْنِ عِيَاض وَكَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْمُتَأَخِّرِينَ يَخُصُّ اسْمَ السُّنَّةِ بِمَا يَتَعَلَّقُ بِالِاعْتِقَادَاتِ، لِأَنَّهَا أَصْلُ الدِّينِ، وَالْمُخَالِفُ فِيهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ

  7. Syarh Al-Arbain an-Nawawiyyah libni Daqiqil Ied hal. 97

    يعني الذين شملهم الهدى وهم الأربعة بالإجماع: أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهما أجمعين

  8. Syarh Jami’ Ulum wal Hikam (2/126)

    وَفِي رِوَايَةٍ: ” الْمَهْدِيِّينَ ” يَعْنِي: أَنَّ اللَّهَ يَهْدِيهِمْ لِلْحَقِّ، وَلَا يُضِلُّهُمْ عَنْهُ، فَالْأَقْسَامُ ثَلَاثَةٌ: رَاشِدٌ وَغَاوٍ وَضَالٌّ، فَالرَّاشِدُ عَرَفَ الْحَقَّ وَاتَّبَعَهُ، وَالْغَاوِي: عَرَفَهُ وَلَمْ يَتْبَعْهُ، وَالضَّالُّ: لَمْ يَعْرِفْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، فَكُلُّ رَاشِدٍ فَهُوَ مُهْتَدٍ، وَكُلُّ مُهْتَدٍ هِدَايَةً تَامَّةً فَهُوَ رَاشِدٌ، لِأَنَّ الْهِدَايَةَ إِنَّمَا تَتِمُّ بِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ وَالْعَمَلِ بِهِ أَيْضًا.

  9. Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (2/127)

    تَحْذِيرٌ لِلْأَمَةِ مِنَ اتِّبَاعِ الْأُمُورِ الْمُحْدَثَةِ الْمُبْتَدَعَةِ، وَأَكَّدَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ: مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ، فَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ، فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا، وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً

  10. HR. Al-Bukhari (2697) dan Muslim (17-1718) di dalam shahih keduanya, dari sahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha
  11. Syarh Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (2/128)

    وَهُوَ أَصْلٌ عَظِيمٌ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ، وَهُوَ شَبِيهٌ بِقَوْلِهِ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» ، فَكُلُّ مَنْ أَحْدَثَ شَيْئًا، وَنَسَبَهُ إِلَى الدِّينِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الدِّينِ يَرْجِعُ إِلَيْهِ، فَهُوَ ضَلَالَةٌ، وَالِدَيْنُ بَرِيءٌ مِنْهُ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مَسَائِلُ الِاعْتِقَادَاتِ، أَوِ الْأَعْمَالُ، أَوِ الْأَقْوَالُ الظَّاهِرَةُ وَالْبَاطِنَةُ.