oleh

Tradisi Rejeban Dalam Tinjauan Islam

Di antara tradisi yang sebagian masyarakat Jawa rayakan di bulan Rajab adalah Rejeban. Tradisi Rejeban terdapat padanya beragam bentuk ritual. Antara lain pemberian sesajen, penyembelihan hewan, dan beberapa ritual lainnya. Pada artikel yang ringkas ini kita akan mengulas pandangan syariat Islam terkait tradisi Rejeban. Mari ikuti ulasan berikut.

Apa Itu Sesajen?

Definisi sesajen atau sajen di dalam KBBI adalah makanan (bunga-bungaan dan sebagainya) yang disajikan kepada orang halus dan sebagainya. Pemberian sesajen hampir tidak pernah kosong dari berbagai ritual yang sebagian masyarakat negeri ini lakukan. Tradisi yang satu ini kerap sebagian masyarakat melakukannya baik dalam acara adat maupun yang bernuansa agama.

Subhanallah, ternyata sesajen juga salah satu tradisi kaum musyrikin jahiliah sebelum Allah Ta’ala Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bermacam-macam sesajen baik berupa tanaman (hasil panen), makanan atau hewan mereka persembahkan untuk berhala-berhala mereka. Allah Ta’ala mengabarkan hal itu dalam al-Quran,

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian (hasil panen) dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Bagian ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami”. Maka bagian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, adapun bagian yang diperuntukkan bagi Allah, justru sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. (al-An’am: 136)


Baca juga : Islam dan Tradisi Sesajen Apakah Bisa Bersatu?


Di Balik Ritual Sesajen

Jika kita menelisik lebih jauh dengan kacamata syariat Islam, maka ritual sesajen hakekatnya merupakan bentuk peribadatan kepada selain Allah Ta’ala. Hal itu karena terkandung padanya unsur pengagungan dan perendahan diri kepada pihak yang diberi sesajen tersebut.

Di sisi lain pelaku sesajen biasanya meyakini bahwa pihak yang ia beri sejajen memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau menolak marabahaya. Tentu sikap dan anggapan semisal ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai tauhid.

Sementara makhluk yang ia beri sesajen amat sangat lemah dan tak berdaya di hadapan Allah Ta’ala. Makhluk yang amat lemah tidak akan mampu memberikan manfaat dan menolak petaka bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain. Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tegaskan di dalam al-Qur’an,

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لا يَمْلِكُونَ لأنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلا ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“Katakanlah (wahai Rasul), “Siapakah Tuhan pemilik langit dan bumi?” Jawabanya adalah, “Allah.” Sampaikanlah, “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudaratan bagi diri mereka sendiri?”.

Kemudian katakanlah, “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau sama antara gelap gulita dengan terang benderang, apakah mereka yang menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Jawablah, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (ar-Ra’d:16)

Rasa Takut dan Harap di Balik Sesajen

Ketika seseorang memberi sesajen pasti ada dalam dirinya rasa harap, takut, tawakal dan meminta perlindungan kepada pihak yang ia beri sesajen itu. Padahal sikap dan keyakinan seperti ini merupakan bentuk ibadah yang tidak boleh bagi siapapun untuk mempersembahkannya kepada selain Allah Ta’ala. Agama Islam melarang bagi siapapun untuk memberikan satu bentuk ibadah selain Allah. Baik itu di tujukan kepada berhala, danyang, makhluk halus, kuburan, roh-roh batu, pohon  dan lainnya. Sekalipun kepada Nabi yang Allah Ta’ala utus atau malaikat yang dekat dengan Allah. Semua ini terlarang karena ibadah adalah hak khusus milik Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162-163)

Mempersembahkan Ibadah kepada Selain Allah Merupakan Kesyrikan

Barangsiapa yang mempersembahkan ibadah dalam  bentuk apapun kepada selain Allah Ta’ala sungguh ia telah terjatuh ke dalam kesyirikan karena telah menjadikan tandingan bagi Allah dalam ibadah.1 Padahal Allah Ta’ala telah melarang hamba dari kesyirikan,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (an-Nisa’: 36)

Bahkan Allah pun telah mengancam pelaku kesyirikan dengan berbagai ancaman yang keras. Antara lain dalam firman-nya,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (al-Maidah: 72)

Juga perkataan Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapus seluruh amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)

Maka wajib bagi kaum muslimin selaku hamba Allah untuk menyadari betapa bahaya perbuatan ini dan hendaklah waspada agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Penyembelihan Hewan dalam Tradisi Rejeban

Dalam rangkaian tradisi rejeban, terdapat pula ritual penyembelihan hewan. Ritual ini masuk dalam proses pemberian sesajen kepada roh leluhur yang mereka yakini. Setelah prosesi penyembelihan, bagian tertentu mereka kubur sebagai bentuk pasang sesaji atau tolak bala. Sisanya mereka bagikan agar masyarakat konsumsi dengan anggapan bisa mendapatkan berkah dari sembelihan tersebut.

Suatu hal yang telah maklum bahwa penyembelihan yang bernilai ibadah hanya boleh kita persembahkan kepada Allah Ta’ala semata, tidak boleh kita tujukan kepada makhluk halus, roh-roh dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabmu dan berkurbanlah.” (al-Kautsar: 2)

Seorang ulama pakar tafsir bermadzhab Syafi’i, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas,

“Maka ikhlaskanlah shalat, baik yang wajib maupun sunnah dan ikhlaskan sesembelihanmu hanya kepada Allah Ta’ala. Sembahlah Allah semata, tidak ada sekutu baginya. Sembelihlah dengan nama-Nya tidak ada sekutu baginya.2

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang memalingkan ibadah sembelihannya kepada selain Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ

“Allah Ta’ala melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah Ta’ala.”3

Atas dasar ini kita memahami bahwasa menyembelih yang bernilai ibadah tidak boleh ditujukan kepada sesuatu apapun selain Allah Ta’ala. Barangsiapa mempersembahkannya kepada selain Allah, maka ia telah melakukan praktik kesyirikan karena menjadikan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam ibadah

Tranformasi Tradisi Rejeban

Sebagian kalangan berusaha mengislamisasi berbagai tradisi nenek moyang yang merupakan warisan secara turun temurun walaupun jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam dan nilai tauhid yang luhur. Mereka memodifikasi ritual tradisi rejeban agar lebih nampak islami dan seakan-akan bagian dari syariat Islam yang mulia. Pada awalnya perayaan tradisi rejeban mereka rayakan dengan praktik yang bertentangan dengan tauhid, lalu mereka tranformasikan menjadi acara selamatan yang bernuansa Islam.

Tradisi rejeban tersebut mereka gelar dengan mengundang masyarakat dan warga untuk menyantap hidangan yang telah tersajikan. Setelah bersama-sama melakukan doa dan shalawatan yang tidak jarang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi, barulah bersama-sama menikmati hidangan. Bahkan tak jarang pelaksanaan tradisi rejeban ini mereka lakukan di masjid, karena anggapan mereka itu adalah ibadah. Allahul musta’an

Dua Syarat Ibadah

Sementara seluruh amalan ibadah tidak akan Allah Ta’ala terima kecuali jika terpenuhi dua syarat mutlak, yaitu:

  • Ikhlas, mengharap wajah Allah semata.
  • Ittiba’, sesuai contoh dan bimbingan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara dalilnya adalah perkataan Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabnya.” (al-Kahfi: 110)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“(Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabnya) maksudnya, mengharapkan pahala dan balasan  terbaik. (Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh) yaitu yang mencocoki syariat Allah Ta’ala. (Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya) itulah amal ibadah yang diharapkan padanya wajah Allah semata tidak ada sekutu baginya. Inilah dua rukun dari amalan yang diterima. Seorang yang beramal harus ikhlas kepada Allah Ta’ala dan mencocoki bimbingan dan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”4

Sehingga dua syarat ini harus terpenuhi pada setiap amalan ibadah yang kita lakukan.

Niat Baik Tidak Cukup

Tidak cukup seseorang melakukan suatu amalan atas dasar niat baik semata tanpa memperhatikan kesesuaian dengan bimbingan Rasulullah. Karena sebatas niat baik belum cukup menjadikan amalan tersebut menjadi amal sholeh yang Allah Ta’ala terima di sisi-Nya.

Namun, niat yang baik harus selalu bersanding dengan ittiba’, yaitu mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimaan telah kami sebutkan di atas. Allah Ta’ala berkata,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم

“Maka waspadalah orang-orang yang menyelisihi perintah dan bimbingan Rasul untuk ia ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”5

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dahulu tidak pernah membenarkan dan menyetujui tradisi kesyirikan masyarakat jahiliah yang bertentangan dengan Islam. Kecuali jika tradisi dan kebiasaan jahiliah yang sesuai dengan syariat Islam, maka hal itu beliau tetapkan dalam Islam.

Dalih Mempertahankan Tradisi dan Adat Istiadat

Dengan dalih mempertahankan tradisi leluhur dan adat istiadat, sebagian pihak berusaha melegalkan berbagai macam tradisi yang sekali sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mulia. Bahkan berdalih dengan salah satu kaidah fikih al-‘adah muhakkamah (adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum).

Memang benar kaidah tersebut ketetapan di dalam agama Islam dan para ulama menerimanya. Namun, kaidah ini tidak bisa kita terapkan begitu saja tanpa ada ketentuan dan persyaratan. Di antara syarat yang para ulama letakkan agar kaidah tersebut tepat dalam pengamalannya adalah apabila adat istiadat atau tradisi tidak menyelisihi al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak menyelisihi prinsip Islam dan nilai tauhid yang luhur.

Seorang ulama besar bermazhab Hanafi, Imam Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi rahimahullah menegaskan, “Adat kebiasaan  dapat menjadi landasan (beramal) selama tidak ada dalil yang menyelisihinya.”6

Sehingga sebuah amalan tidak serta merta bisa kita lakukan dengan dalih tradisi atau adat-istiadat. Namun, harus kita harus meneliti, adakah dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyelisihinya ataukah tidak. Dengan kata lain tradisi tersebut tidak bertetangan dengan syariat Islam.

Tradisi Rejeban memang sebuah tradisi dan adat turun temurun. Namun, karena terdapat dalil-dalil yang menyelisihi berbagai ritual yang ada di dalamnya sebagaimana yang telah kami paparkan, maka dalih ini tidak bisa menjadi dasar pembolehan tradisi rejeban.


Baca juga : Mengenal Tradisi Masa Jahiliyah Bag. 2: Syirik Terhadap Allah


Kesimpulan Tentang Tradisi Rejeban

Dari berbagai dalil dan penjelasan di atas, bisa kami simpulkan bahwa tradisi rejeban merupakan tradisi yang terlarang di dalam agama Islam, karena sangat bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan di dalamnya terdapat praktek kesyirikan yang jelas-jelas menodai nilai-nilai tauhid yang luhur.

Begitu pula merubah tradisi rejeban menjadi selamatan juga merupakan hal yang terlarang di dalam Islam, karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, beliau tidak pernah merubah sebuah tradisi kesyirikan menjadi salah satu bagian syariat agama Islam. Bahkan beliau menghapuskan seluruh tradisi jahiliah yang berbau kesyirikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الحَرَمِ، وَمُبْتَغٍ فِي الإِسْلَامِ سُنَّةَ الجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ

“Manusia yang paling dimurkai oleh Allah Ta’ala ada tiga; seorang yang berbuat kemaksiatan di Tanah Suci Makkah, seorang yang berambisi menghidupkan tradisi jahiliah setelah berislam, dan seorang yang menginginkan darah seseorang tanpa alasan yang benar agar ia membunuhnya.”7

Mari kita bersama-sama menjalankan syariat Islam sesuai tuntunan Nabi shalallahu alaihi wasallam di atas bimbingan ilmu. Semoga artikel ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

ARM/LTC/IWU

Penulis: Ahmad Rifqi Musyaffa’

Referensi:

  • Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’I rahimahullah (W. 774 H)
  • Al-Mabshut karya Imam Syamsul A’immah Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi al-Hanafi rahimahullah (W. 483 H)
  • An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar karya Imam Ibnul Atsir rahimahullah (W. 606)

Footnotes

  1. an-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar (2/466)

    وَقَدْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَهُوَ مُشْرِكٌ إِذَا جَعَلَ لَهُ شَرِيكاً. والشِّرْكُ: الكُفر

  2. Lihat Tafsir al-Qur’an al-Adzim (8/503)

    فَأَخْلِصْ لِرَبِّكَ صَلَاتَكَ الْمَكْتُوبَةَ وَالنَّافِلَةَ ونَحْرَك، فَاعْبُدْهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَانْحَرْ عَلَى اسْمِهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ

  3. HR. Muslim no. 1978 di dalam shahihnya, dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
  4. Lihat Tafsir al-Qur’an al-Adzim (5/205)

    {فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ} أَيْ: ثَوَابَهُ وَجَزَاءَهُ الصَّالِحَ، {فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا} ، مَا كَانَ مُوَافِقًا لِشَرْعِ اللَّهِ {وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا} وَهُوَ الَّذِي يُرَادُ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَهَذَانَ رُكْنَا الْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ. لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ خَالِصًا لِلَّهِ، صوابُا عَلَى شَرِيعَةِ رَسُولِ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ]

  5. HR. Muslim no. 1718 di dalam shahihnya, dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.
  6. Lihat al-Mabshut (14/136)

    وَلَكِنَّ ‌الْعُرْفَ إنَّمَا يُعْتَبَرُ فِيمَا لَا نَصَّ بِخِلَافِهِ

  7. HR. al-Bukhari no. 6882 di dalam shahihnya, dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu.