oleh

Tinjauan Syariat Islam Mengenai Puasa Hari Syak

-Fiqih-1,858 views

Apa itu puasa hari syak? Apa hukumnya? Bagaimana pendapat ulama tentang puasa di hari syak? Agar kita mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, mari kita simak ulasan mengenai tinjauan syariat islam mengenai puasa hari syak berikut.

Pengertian Puasa Hari Syak?

As-Syak secara bahasa bermakna bimbang atau ragu-ragu. Berkata ahli bahasa: as-Syak adalah sesuatu yang menyelisihi keyakinan. Artinya keragu-raguan antara dua hal, apakah disebabkan dua sisi yang sama atau karena salah satunya lebih kuat dari yang lain.1

Tentang puasa hari syak, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Secara umum, puasa hari syak adalah puasa tanggal 30 Sya’ban. Yaitu, ketika hilal tidak terlihat disebabkan karena mendung, kabut atau sebab lainnya.

Seorang ulama terkemuka bermazhab Syafi’i, Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata,

Hari syak adalah hari ke-30 bulan Sya’ban, ketika manusia banyak membicarakan bahwa hilal telah telihat. Akan tetapi, tidak ada orang terpercaya yang melihatnya atau menyatakannya.”2

Imam ash-Shan’ani rahimahullah juga mendefinisikan hari syak, beliau berkata,

Hari Syak adalah hari ke-30 bulan Sya’ban, ketika hilal tidak terlihat disebabkan mendung yang menutupi.”3

Dalil Yang Melarang Puasa Hari Syak

Di antara dalil yang melarang puasa hari syak adalah hadits dari sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak, sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.”4

Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata,

Tidak boleh berpuasa hari syak berdasarkan hadits Ammar radhiyallahu ‘anhu (kemudian beliau menyebutkan hadits di atas). Kalau seandainya dia berpuasa hari syak dengan niat puasa Ramadhan, maka puasanya tidak sah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلا تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالًا

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan.”5 (yaitu dengan berpuasa pada hari syak).6

Abul Husain al-‘Imrani asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

Tidak boleh puasa hari syak dari bulan Ramadhan. Sebagaimana hal tersebut diriwayatkan dari sahabat Umar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.”7

Karena, orang yang berpuasa di hari tersebut telah melakukan sebuah ibadah dalam keadaan dia ragu terhadap waktunya, maka ibadah yang dilakukan (dalam keadaan ragu) tidak sah.” 8

Imam Babdruddin al-‘Aini rahimahullah berkata,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan (masuknya) puasa dengan melihat hilal, yaitu hilal Ramadhan. Maka tidak boleh berpuasa pada hari syak (tanggal 30 Sya’ban) karena adanya unsur keraguan, yaitu keraguan apakah hari tersebut masih bulan Sya’ban atau sudah masuk bulan Ramadhan.”9

Ketika tidak terlihat hilal karena adanya beberapa sebab maka sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (berhariraya) kalian dengan melihat hilal. Apabila tertutup oleh kalian (hilal tidak terlihat) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.”10

Hukum Puasa Hari Syak

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa hari syak. Sebagian besar ulama berpendapat haram dan sebagiannya berpendapat makruh. Jumhur ulama, termasuk mazhab Imam Malik dan asy-Syafi’i, berpandangan hukumnya haram. Hal ini dilandasi dengan berbagai dalil. 11 Antara lain:

  1. Dalil pertama: Hadits sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Barangsiapa yang puasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.”12

  1. Dalil kedua: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ

Janganlah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali apabila ia terbiasa berpuasa, maka boleh baginya berpuasa pada hari tersebut.”13

  1. Dalil ketiga: berpuasa di hari syak merupakan salah satu perbuatan melanggar batasan-batasan syariat Allah Ta’ala. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan (hilal), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (al-Baqarah: 185)

Syariat puasa sangat berkaitan dengan aturan yang khusus, yaitu dengan melihat hilal.14Apabila terlihat hilal maka disyariatkan puasa, jika tidak terlihat maka tidak disyariatkan puasa.

  1. Dalil keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (berhari raya) kalian dengan melihat hilal. Apabila tertutup (hilal tidak terlihat) maka sempurnakanlah Sya’ban menjadi 30 hari.”15

Puasa yang Boleh Dilakukan Pada Hari Syak

Berdasarkan penjelasan di atas, secara hukum asal berpuasa di hari syak adalah haram. Namun, hukum ini tidak berlaku mutlak pada semua kondisi. Ada beberapa jenis puasa yang dikecualikan, sehingga boleh dikerjakan di hari syak. Berikut rinciannya:

  1. Puasa Sunnah

Puasa sunnah yang boleh dilakukan pada hari syak adalah ketika seorang terbiasa melakukan puasa sunnah, lalu waktu puasanya bertepatan dengan hari syak (30 Sya’ban), maka kondisi seperti ini diperbolehkan berpuasa walaupun di hari syak. Berbeda halnya ketika seseorang mengkhususkan hari syak untuk berpuasa maka hal ini tidak boleh. Berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ

Janganlah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali seorang yang memiliki rutinitas puasa, maka berpuasalah di hari itu.”16

  1. Puasa Qadha

Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata,

Para sahabat kami (ulama mazhab Syafi’i) menyatakan, berpuasa di hari syak tidak sah tanpa ada perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh penulis17. Namun, jika berpuasa untuk qadha (mengganti utang puasa), puasa nazar atau puasa kafarah maka tetap sah.”18

Kemudian imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyebutkan alasannya,

Sebab, puasa sunnah jika ada sebabnya boleh dilakukan pada hari syak, tentu puasa yang hukumnya wajib lebih pantas dibolehkan. Seperti waktu yang dilarang untuk shalat padanya.19 Sebab lainnya, jika ia memiliki kewajiban untuk mengganti puasa Ramadhan maka hal tersebut telah diwajibkan atasnya. Karena terkadang waktu untuk mengganti puasanya sempit.”20

Setelah kita mengetahui tinjauan syariat Islam mengenai puasa hari syak, semoga jelas bagi kita mengenai hukumnya. Kita juga mengetahui bagaimana bimbingan para ulama mengenai puasa tersebut. Harapannya, kita dapat menghindari berpuasa pada hari syak di atas ilmu. Tak ada yang tersisa bagi kita kecuali mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui dan mendakwahkannya. Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Aamin.

LHL/FAI-IWU

Penulis: Lekat Hidayat

Referensi:

  1. Umdatul Qari Karya Abu Muhammad Mahmud Badruddin al-‘Aini (W 885 H)
  2. Al-Majmu’ Karya Abu Zakariyya Yahya bin Sharf an-Nawawi (W 676 H)
  3. Subulus Salam Karya Muhammad bin Ismail (W 1182 H)
  4. Al-Misbah al-Munir Karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad (W 770 H)
  5. Syarhul Mumti’ Karya Ibnu Shalih (W 1421 H)
  6. Al-Muhazzab Karya Abu Ishak asy-Syirazi (W 393-476 H/1003-1083 M)
  7. At-Taisir Karya Zainuddin Muhammad (W 1031 H)
  8. Al-Bayan Fi Mazhab asy-Syafi’i karya Abul Hasan Yahya (W 558 H)
  9. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra karya Ahmad bin Muhammad bin Ali (W 974 H)

1 Al-Mishbah al-Munir (1/320)

الشَّكُّ الِارْتِيَابُ وَيُسْتَعْمَلُ الْفِعْلُ لَازِمًا وَمُتَعَدِّيًا بِالْحَرْفِ فَيُقَالُ شَكَّ الْأَمْرُ يَشُكُّ شَكًّا إذَا الْتَبَسَ وَشَكَكْتُ فِيهِ قَالَ أَئِمَّةُ اللُّغَةِ الشَّكُّ خِلَافُ الْيَقِينِ فَقَوْلُهُمْ خِلَافُ الْيَقِينِ هُوَ التَّرَدُّدُ بَيْنَ شَيْئَيْنِ سَوَاءٌ اسْتَوَى طَرَفَاهُ أَوْ رَجَحَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ

2 Al-Majmu’ (6/401)

يَوْمُ الشَّكِّ هُوَ يَوْمُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ إذَا وَقَعَ فِي أَلْسِنَةِ الناس إنه رؤى وَلَمْ يَقُلْ عَدْلٌ إنَّهُ رَآهُ أَوْ قَالَهُ

3 Subulus Salam (1/558)

يَوْمَ الشَّكِّ هُوَ يَوْمُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ إذَا لَمْ يُرَ الْهِلَالُ فِي لَيْلِهِ بِغَيْمٍ سَاتِرٍ

4 HR. al-Bukhari secara Muallaq (3/27) dan selainnya di dalam shahihnya dari sahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu.

5 HR. Ahmad no. 1985, ad-Darimi no. 1725, an-Nasai no. 2450 dan selainnya di dalam kitab hadits mereka, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir (3809).

6 At-Taisir Bissarhi al-Jami’ as-Shaghir (2/96)

أَي لَا تستقبلوا رَمَضَان بِصَوْم قبله

7 Al-Bayan Fi Mazhab al-Imam as-Syafi’i (3/557)

ولا يجوز صوم يوم الشك عن شهر رمضان، وروي ذلك عن عمر، وعلي، وابن عباس، وابن مسعود، وأبي هريرة.

8 Al-Muhazzab (6/399)

ولا يجوز صوم يوم الشك لما روى عن عمار رضي الله عنه انه قال مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فان صام يوم الشك عن رمضان لم يصح لقوله صلي الله عليه وسلم ولا تستقبلوا الشهر استقبالا ولانه يدخل في العبادة وهو في شك من وقتها فلم يصح

9 ‘Umdatul Qari (10/279)

مُطَابقَة هَذَا الْأَثر للتَّرْجَمَة من حَيْثُ إِن مُقْتَضى مَعْنَاهَا أَن لَا يصام يَوْم الشَّك، لِأَنَّهُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم علق الصَّوْم بِرُؤْيَة الْهلَال وَهُوَ هِلَال رَمَضَان، فَلَا يصام الْيَوْم الَّذِي هُوَ آخر شعْبَان إِذا شكّ فِيهِ، هَل هُوَ من شعْبَان أَو رَمَضَان؟

10 HR. al-Bukhari no. 1909 dan selainnya di dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

11 Lihat Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/56)

صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ مِنْ رَمَضَانَ حَرَامٌ كَمَا نَقَلَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ عَنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُورِ وَالْأَحَادِيثُ دَلِيلٌ لِذَلِكَ.

12 HR. al-Bukhari secara Muallaq (3/27) dan selainnya di dalam shahihnya dari sahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu.

13 HR. Al-Bukhari no. 1914 di dalam shahihnya dan selainnya dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

14 Lihat asy-Syarhul Mumti’ (6/301)

لأن الشرع علق هذا الحكم بأمر محسوس وهو الرؤية.

15 HR. al-Bukhari no. 1909 dan selainnya di dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

16 HR. Al-Bukhari no. 1914 di dalam shahihnya dan selainnya dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

17 Asy-Syirazi rahimahullah, penulis kitab al-Muhadzab.

18 Al-Majmu’ (6/399)

فَقَالَ أَصْحَابُنَا لَا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلَا خِلَافٍ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كفارة أجزأه

19 Maksudnya adalah boleh melakukan shalat sunnah dzawaatul asbaab (shalat sunnah yang pelaksanaannya berkaitan dengan adanya sebab tertentu) meskipun pada waktu yang dilarang untuk shalat. Seperti shalat tahiyyatul masjid dll.

20 Al-Majmu’ (6/400)

لِأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى كَالْوَقْتِ الَّذِي نُهِيَ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهِ وَلِأَنَّهُ إذَا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ لِأَنَّ وَقْتَ قَضَائِهِ قَدْ ضَاقَ