oleh

Tanda-Tanda Husnul Khatimah Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah

-Fiqih-2,574 views

Kematian merupakan perkara yang pasti terjadi. Kematian tak memandang usia. Kematian tidak ada yang tahu kapan dan di Bumi mana datangnya. Karena itulah, sudah sepantasnya untuk kita mempersiapkan bekal bagi kehidupan yang kekal nan abadi. Seraya berharap agar menutup usia di dunia dalam keadaan terbaik atau husnul khatimah. Berikut ini merupakan Tanda-Tanda Husnul Khatimah Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

Meninggal Dengan Mengucapkan Kalimat Syahadat

Banyak sekali hadits yang menyebutkan hal tersebut. Salah satunya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir ucapannya “la ilaha illallah” maka dia berhak masuk surga.”1

Betapa agungnya kalimat tersebut, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa pengucapan kalimat tersebut pada akhir ucapannya sebelum menutup usia sebagai salah satu tanda husnul khatimah.

Al-Imam Ibnu Abi ‘Izz rahimahullah berkata:

“Tauhid merupakan sebab pertama yang memasukkan seseorang ke dalam islam dan dengannya seorang keluar dari dunia (meninggal), sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: Barangsiapa yang akhir ucapannya la ilaha illallah maka dia berhak masuk surga. Kalimat syahadat merupakan kewajiban pertama dan terakhir.”2

Meninggal Dengan Muka Bercucuran Keringat

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Buraidah bin al-Husaibi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِينِ

“Kematian seorang mukmin itu dengan muka bercucuran keringat.”3

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Meninggalnya seseorang dengan keringat yang bercucuran, dikarenakan masih tersisa sebagian dari dosa-dosanya, dibalas dengan keadaan tersebut ketika wafatnya, maka bercucuran keringat sebagai penghapus bagi dosa-dosanya.”4

Al-Imam Ibnu Sirin rahimahullah berkata:

“Tanda (husnul khatimah) yang sangat jelas bagi seorang mukmin ketika meninggal adalah bercucuran keringat.”5

Meninggal Pada Hari atau Malam Jum’at

Dalilnya sebagaimana hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari atau malam Jum’at melainkan Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur.”6

Al-Imam al-Hakim at-Tirmidzi rahimahullah berkata:

“Barangsiapa yang meninggal pada hari jum’at sungguh telah terbuka tabir (amalannnya) di sisi Allah. Karena pada hari Jum’at neraka Jahannam tidak dinyalakan, pintu-pintunya dikunci. Apabila Allah mewafatkan seorang hamba pada hari Jum’at, maka hal itu merupakan tanda kebahagiaan dan kebaikannya (husnul khatimah) di sisi Allah.

Hari Jum’at merupakan hari ketika Allah menciptakan Adam dan anak keturunannya. Hari terjadinya kiamat yang membedakan antara kekasih dan musuh. Hari untuk berziarah ketika di surga Aden. Allah memberikan keberkahan ini kepada seorang yang Allah kehendaki untuk mendapatkan kebahagiaan di sisi-Nya. Oleh sebab itu Allah menyelamatkannya dari fitnah kubur, karena dengan demikian akan terbedakan antara seorang munafik dan seorang mukmin di alam barzakh sebelum bertemu Allah.”7


Baca Juga: Tidak Shalat Jumat Tiga Kali Kafir, Benarkah?


Terbunuh di Medan Perang

Allah ta’ala berfirman:

وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْواتاً بَلْ أَحْياءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِما آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tertinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang beriman.” (Ali ‘Imran:169-171)

Terbunuh di medan perang, selain merupakan salah satu tanda husnul khatimah, juga mendapatkan banyak keutamaan yang banyak, sebagaimana yang disebutkan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:

لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ: يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ

“Seorang syuhada akan memperoleh enam perkara: diampuni dosanya pada tetesan darah pertama, Allah tampakkan tempatnya di surga, diselamatkan dari azab kubur, diselamatkan dari dahsyatnya hari kiamat8, dibuat senang dengan lezatnya iman, dinikahkan dengan bidadari penyejuk mata dan (diberi izin) memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya.”9

Namun, barangsiapa yang pergi berperang dengan niat yang ikhlas, jujur dan dengan harapan mendapatkan mati syahid, akan tetapi Allah belum memberikan hal tersebut kepadanya maka masih ada kesempatan baginya untuk dikategorikan sebagai syuhada walaupun ia wafat di atas pembaringannya. Sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ، بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa yang meminta syahid kepada Allah dengan penuh kejujuran, maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada meskipun ia meninggal di atas pembaringannya.”10


Baca Juga: Apa Kata Ulama Madzhab Syafi’i tentang Teroris-Khawarij?


Meninggal Karena Sakit Perut

Dalil yang menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan tanda husnul khatimah ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Barangsiapa yang meninggal karena sakit perut maka dia meninggal dengan keadaan syahid.”11

Al-imam Qadhi Iyad rahimahullah berkata:

“Bisa jadi sebab orang tersebut menjadi syahid ialah karena seringkali (ketika tertimpa sakit perut) seseorang meninggal dengan menghadirkan hati yang lapang.”12

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ يَقْتُلْهُ بَطْنُهُ، فَلَنْ يُعَذَّبَ فِي قَبْرِهِ

“Barangsiapa yang meninggal karena sakit perut, maka dia tidak akan diazab dikuburnya.”13

Asy-Syaikh Muhammad al-Itsyubi rahimahullah berkata:

“Pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “dalam kuburnya”, pada kalimat ini terdapat keutamaan bagi seorang yang meninggal karena sakit perut, dari segi dihindarkan darinya azab kubur. Dan yang tampak bahwa penulis kitab (kitab hadits) menginginkan dengan kata “azab kubur” di sini yaitu fitnah kubur.”14

Meninggal Karena Tertimpa Wabah Penyakit

Wabah penyakit merupakan bencana bagi sebagian kecil orang, namun di baliknya terdapat hikmah yang banyak. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan seorang yang meninggal karena tertimpa wabah tersebut sebagai tanda husnul khatimah baginya.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwasanya sahabiyah Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wabah penyakit (thaun), maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

“Sesungguhnya thaun adalah azab yang Allah timpakan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, Allah jadikan wabah tersebut sebagai rahmat bagi kaum mukminin, tidaklah seorang mukmin tertimpa wabah tersebut, kemudian dia sabar untuk tetap tinggal di negerinya dan dia tahu bahwa sebuah penyakit tidak dapat menimpa dirinya kecuali hal tersebut memang sudah ditakdirkan akan menimpanya, dengan sebab itu dia akan mendapat pahala semisal pahala syahid.”15


Baca Juga:

  1. Virus Corona Bagian dari Takdir Allah Ta’ala
  2. Tahukah Anda? Korban Corona Bagaikan Mati Syahid

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa penyakit thaun dikatakan sebagai rahmat hanyalah untuk kaum muslimin. Ketika menimpa kaum kafir maka wabah tersebut menjadi azab di dunia yang disegerakan untuk mereka sebelum akhirat.”

Kemudian beliau melanjutkkan:

“Ini adalah syarat untuk mendapatkan pahala syahid bagi seorang yang meninggal karena wabah thaun yaitu: tetap tinggal pada tempat yang tertimpa wabah thaun dan tidak pergi menyelamatkan diri, sebagaimana yang telah berlalu tentang adanya larangan yang sangat jelas untuk menyelamatkan diri dari tempat yang terkena wabah pada bab sebelumnya.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “dia tahu bahwa sebuah penyakit tidak dapat menimpa dirinya kecuali hal tersebut memang sudah ditakdirkan akan menimpanya” adalah syarat yang lain. Yakni kalimat yang menunjukkan keadaan tersebut berkaitan dengan tinggalnya dia di tempat yang tertimpa wabah. Kalau seandainya dia tetap tinggal pada tempat tersebut namun dalam keadaan cemas dan menyesal karena tidak pergi untuk menyelamatkan diri, dengan prasangka bahwa asalnya, seandainya dia pergi dari negeri tersebut niscaya wabah tersebut tidak akan menimpa dirinya, namun karena dia tetap tinggal akhirnya dia tertimpa wabah. Pada keadaan demikian dia tidak mendapatkan pahala syahid meskipun dia meninggal karena wabah.”16

Demikianlah pembahasan kita kali ini, semoga Allah Ta’ala mengistiqomahkan kita di atas agama Islam, menganugerahkan husnul khatimah serta memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Amiin LHL/ABW

Penulis: Lekat Hidayat

Referensi:

  1. Al-Minhaj, karya Abu Zakariyya Yahya bin Sharf an-Nawawi (631-676 H)
  2. Nawadir al-Ushul Fi Ahadisi ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 320 H)
  3. Syarh al-Aqidah at-Thahawiyah, karya Ibnu Abi ‘Izz (w. 792 H)
  4. Syarhussunnah, karya al-Baghawi asy-Syafi’i (w. 516 H)
  5. Murkatul Mafa’tih, karya Ali bin Muhammad Abul Hasan
  6. Dzahiratul Uqba, karya Muhammad bin Adam al-Itsyubi

 

Footnotes

  1. HR. Abu Dawud no. 3116 dari sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat al-Misykat no. 1621
  2. Lihat syarh al-aqidah at-thawiyah (1/27)

    فَالتَّوْحِيدُ أَوَّلُ مَا يُدْخِلُ فِي الْإِسْلَامِ، وَآخِرُ مَا يُخْرَجُ بِهِ مِنَ الدُّنْيَا، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ». وَهُوَ أَوَّلُ وَاجِبٍ وَآخِرُ وَاجِبٍ

     

  3. HR. Ahmad no.23022 dan selainnya dari sahabat Buraidah bin al-Husaibi radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat Shahih Wa Daif Sunan Abi Dawud no. 1828
  4. Lihat Syarhussunnah (5/298)

    قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِينِ، تَبْقَى عَلَيْهِ الْبَقِيَّةُ مِنَ الذُّنُوبِ، فَيُحَارَفُ بِهَا عِنْدَ الْمَوْتِ، أَيْ: يُقَايَسُ بِهَا، فَتَكُونُ كَفَّارَةً لِذُنُوبِهِ، وَالْمُحَارَفَةُ: الْمُجَازَاةُ.

     

  5. Lihat Syarhussunnah (5/298)

    قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: عَلَمٌ بَيِّنٌ مِنَ الْمُؤْمِنِ عِنْدَ مَوْتِهِ عَرَقُ الْجَبِينِ.

     

  6. HR. Ahmad no. 6582/6646 dan selainnya dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat al-Misykat no. 1267

  7. Lihat Nawadirul ushul (4/162)

    فَمن مَاتَ يَوْم الْجُمُعَة انْكَشَفَ الغطاء عَمَّا لَهُ عِنْد الله تَعَالَى لِأَن يَوْم الْجُمُعَة لَا يسجر جَهَنَّم ويغلق أَبْوَابهَا فَإِذا قبض الله عبدا من عبيده يَوْم الْجُمُعَة كَانَ دَلِيل سعادته وَحسن مَا بِهِ عِنْد الله فَيوم الْجُمُعَة يَوْم الله الَّذِي خلق فِيهِ آدم وَذريته ويومه الَّذِي تقوم فِيهِ السَّاعَة فيميز بَين الأحباب والأعداء ويومه الَّذِي يَدعُوهُم إِلَى زيارته فِي جنَّات عدن فَلم يكن ليعطي بركَة هَذَا الْيَوْم إِلَّا من كتب لَهُ السَّعَادَة عِنْده فَلذَلِك يَقِيه فتْنَة الْقَبْر على أَن سَبَب فتْنَة الْقَبْر إِنَّمَا هُوَ لتمييز الْمُنَافِق من الْمُؤمن فِي البرزخ من قبل أَن يلقى الله

     

  8. الْفَزَعِ الْأَكْبَر merupakan salah satu nama hari kiamat. Lihat Fathul Bari (11/396)
  9. HR. Ibnu Majah no. 2799 dan selainnya dari sahabat Miqdam bin Ma’di kariba radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat al-Misykat no. 3834.
  10. HR. Muslim no. 1909 dalam shahihnya. dari sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu
  11. HR. Muslim no. 1915 dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
  12. Lihat Murkotul Mafatih (6/2469)

    وَلَعَلَّ كَوْنَهُ شَهِيدًا ; لِأَنَّ الْغَالِبَ فِيهِ أَنْ يَمُوتَ حَاضِرَ الْقَلْبِ مُنْكَشِفًا عِنْدَ الْمَوْتِ

     

  13. HR. an-Nasai no. 2052 dalam sunannya, dari sahabat Abdullah bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, shahih. Lihat Ahkamul Janaiz.
  14. Zahiiratul Uqba (20/87)

    فيه فضل الموت بمرض البطن، حيث إنه يرفع عنه عذاب القبر. والظاهر أن المصنّف أراد بالعذاب فتنة القبر

     

  15. HR. Al-Bukhari no. 5734 di dalam shahihnya, dari sahabiyah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
  16. Lihat Fathul Bari (10/193)

    وَهَذَا قَيْدٌ فِي حُصُولِ أَجْرِ الشَّهَادَةِ لِمَنْ يَمُوتُ بِالطَّاعُونِ وَهُوَ أَنْ يَمْكُثَ بِالْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ بِهِ فَلَا يَخْرُجُ فِرَارًا مِنْهُ كَمَا تَقَدَّمَ النَّهْيُ عَنْهُ فِي الْبَابِ قَبْلَهُ صَرِيحًا وَقَوْلُهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ قَيْدٌ آخَرُ وَهِيَ جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْإِقَامَةِ فَلَوْ مَكَثَ وَهُوَ قَلِقٌ أَوْ مُتَنَدِّمٌ عَلَى عَدَمِ الْخُرُوجِ ظَانًّا أَنَّهُ لَوْ خَرَجَ لَمَا وَقَعَ بِهِ أَصْلًا وَرَأْسًا وَأَنَّهُ بِإِقَامَتِهِ يَقَعُ بِهِ فَهَذَا لَا يَحْصُلُ لَهُ أَجْرُ الشَّهِيدِ وَلَوْ مَاتَ بِالطَّاعُونِ