oleh

SHALAT GERHANA: Tata Cara, Bacaan, Hukum, Do’a dan Dalil

-Fiqih-13,039 views

Shalat Gerhana – Matahari dan bulan termasuk dua makhluk dan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang paling mudah untuk dilihat. Keduanya diciptakan dengan peredaran dan pergantian yang sangat teratur. Keteraturan ini sudah Allah tetapkan sebagaimana firman-Nya:

 ٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (Ar Rahman: 5).

Sungguh menakjubkan dua tanda kekuasan Allah ini. Hal ini tentunya menunjukkan kebesaran serta kesempurnaan Penciptanya.

Oleh karena itu yang patut untuk disembah adalah pencipta keduanya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-Nya.” (Fushshilat: 37).

Gerhana

Gerhana adalah fenomena alam yang telah Allah tetapkan sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya. Gerhana terjadi bukan karena kematian atau lahirnya seseorang. Dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

{إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ, وَلاَ لَحِيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُو هُمَا فَادْ عُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ}

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Al Bukhari No. 1043, dan Muslim No. 915).

Sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ’anhu mengatakan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

”Tanda-tanda ini, yang Allah tampakkan, bukanlah terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun dengan itu Allah memberikan rasa takut kepada hamba-hamba-Nya. Maka apabila kalian melihat salah satu darinya, bersegeralah untuk berdzikir, berdoa kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya.” (HR. Al Bukhari no. 1059)

Gerhana Matahari 9 Maret 2016

Pengertian Shalat Gerhana

Shalat gerhana yang juga disebut shalat khusuf adalah shalat dengan tata cara khusus yang dilakukan pada saat terjadinya gerhana, baik gerhana matahari ataupun gerhana bulan.

Pelaksanaan shalat gerhana sesuai sunnah adalah ketika gerhana benar-benar terjadi dan dapat disaksikan atau dilihat oleh manusia yang berada di suatu daerah. “Shalat gerhana tidak disyariatkan bagi mereka yang tidak melihat gerhana di daerah mereka.”

Shalat gerhana dilakukan dengan adanya ru’yah (melihat gerhana dengan mata) gerhana, bukan dengan hisab (perhitungan ahli astronomi atau sejenisnya).

Waktu Shalat Gerhana

Waktu pelaksanaan shalat gerhana terbentang mulai dari awal terjadi gerhana hingga proses gerhana selesai. Shalat dilakukan dengan segera ketika gerhana mulai terjadi tanpa perlu menunggu puncak gerhana.

Hukum Shalat Gerhana

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat khusuf. Kebanyakan ulama berpandangan bahwa hukumnya adalah sunnah muakaddah (yang ditekankan).
Ulama yang lain berpendapat bahwa shalat khusuf hukumnya wajib.

Disebutkan bahwa ini juga pendapat Ibnu Khuzaimah, Abu Awanah, dan dipilih oleh asy- Syaukani rahimahumullah.

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilaksanakan dua rakaat. Perbedaannya dengan shalat yang lain, setiap rakaat shalat gerhana terdapat dua ruku’. Jadi, dua rakaat shalat gerhana memiliki empat ruku’.

Rincian cara shalatnya adalah seperti tata cara shalat biasa. Hanya saja, setelah membaca surat kemudian ruku’ dan bangkit dari ruku’, membaca sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu (sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang muttafaqun alaih), dilanjutkan membaca al-Fatihah dan surat lagi.

Disyariatkan berdiri dan ruku’ pertama lebih lama daripada yang kedua. Setelah selesai bacaan kedua, dia ruku’ kembali, bangkit, membaca sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, dan i’tidal. Setelah itu dilanjutkan sebagaimana biasa. Demikian pula pada rakaat kedua.

Urutan tata cara shalat gerhana

Kami telah merangkum keterangan beberapa hadits tentang tata caranya. Tata cara shalat gerhana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bisa disimpulkan sebagai berikut:

  1. Takbiratul ihram.
  2. Membaca doa istiftah, ta’awwudz.
  3. Membaca surat Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surat Al-Baqarah…” (HR. Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).
  4. Bertakbir kemudian ruku’ dengan memanjangkan ruku’. Membaca doa ruku’ dengan diulang-ulang.
  5. Kemudian berdiri dari ruku’ sambil mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,”. Ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan: “Rabbana walakal hamd.”
  6. Setelah itu tidak sujud, namun terus berdiri panjang, dan kembali membaca Al-Fatihah dan surat. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek dibandingkan berdiri pertama.
  7. Bertakbir kemudian ruku’ dengan memanjangkan ruku’. Membaca doa ruku’ dengan diulang-ulang. Ruku’ kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku’ pertama.
  8. Kemudian berdiri dan ruku’ sambil mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,”. Ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan: “Rabbana walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhu: “…maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku’ dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku’ dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali…” (HR. Muslim no. 904).
    Al-Ghazali menukil bahwa ada kesepakatan meninggalkan (amalan) memanjangkan i’tidal ini. Maka dibantah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, “Jika yang dimaksud “kesepakatan” di sini adalah kesepakatan madzhab, maka tidak perlu dibicarakan (karena itu tidak menjadi patokan kebenaran, pen), dan yang jelas pernyataan tersebut terbantah dengan riwayat hadits Jabir tersebut.” (Fathul Bari hadits no. 1051).
  9. Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga. Berdasarkan hadits: “…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.” (HR. Bukhari no. 1047).
  10. Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya. (HR. an-Nasa’i no. 1482).
  11. Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang. Namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. al-Bukhari no. 1056).
  12. Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua. Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu Dawud no. 1187).
  13. Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri.

Hal-hal yang perlu diperhatikan

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan shalat gerhana, diantaranya:

Niat Shalat Gerhana

Beberapa orang mengatakan bahwa niat shalat gerhana adalah sebagai berikut:

  1. Jika menjadi imam shalat gerhana bulan:Usholli sunnatal khusuufi rok’ataini imaaman lillahi ta’aalaa. Artinya: “Aku niat shalat gerhana bulan dua rakaat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”
  2. Jika menjadi makmum shalat gerhana bulan:Usholli sunnatal khusuufi rok’ataini ma’muuman lillahi ta’aalaa.Artinya: “Aku niat shalat gerhana bulan dua rakaat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.”
  3. Jika melakukan shalat gerhana bulan sendirian:Usholli sunnatal khusuufi rok’ataini lillahi ta’aalaa.Artinya: “Aku niat shalat gerhana bulan dua rakaat karena Allah Ta’ala.”

Namun jika kita melihat kepada dalil-dalil yang ada dari tata cara shalat gerhana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata niat dilakukan dalam hati, dan tidak ada lafazh tertentu yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk niat shalat gerhana. Sedangkan yang paling paham dengan syari’at ini adalah mereka.

Tidak ada seorang pun yang menukilkan riwayat melafazhkan niat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya) ataupun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat.

Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini.

Maka alangkah baiknya kita mencukupkan dengan amalan yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu tidak melafadzkan niat.

Mudzakarah

Syarat diterimanya suatu amalan adalah:

  1. Ikhlas karena Allah dan
  2. Sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak Ada Adzan dan Iqomah pada shalat gerhana

Pada shalat gerhana, tidak Ada Adzan dan Iqomah. Namun Diserukan ”Ash-Shalatu Jami’ah”.

Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan, ”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain ’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no. 901). Al-Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

”Disenangi untuk diserukan ’ash-shalatu Jami’ah’ pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah padanya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).

Makna “Ash-Shalatu Jami’ah” adalah, “Sesungguhnya shalat mengajak kalian berkumpul (maka hadirilah).” Seruan tersebut bisa diulang beberapa kali sesuai kebutuhan, terutama pada shalat gerhana bulan yang dilaksanakan pada malam hari.

Sebagaimana diketahui melalui keterangan hadits-hadits yang shahih, gerhana pada masa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam hidup terjadi hanya sekali, yaitu gerhana matahari total yang terjadi pada tahun ke-10 hijriah.

Keterangan tentang cara shalat gerhana tersebut diriwayatkan dalam beberapa hadits dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Diantaranya, hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana, beliau melaksanakan shalat 4 kali ruku’ dalam 2 rakaat, dan 4 kali sujud.” (HR.Muslim no. 901).

Shalat gerhana dengan bacaan yang panjang

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gerhana dengan bacaan yang panjang. Nabi memperpanjang bacaan tersebut sampai hilang gerhana itu. Meski demikian, untuk bacaan yang panjang seperti itu, perlu memerhatikan keadaan makmum. Wallahu a’lam.

Seandainya shalat telah selesai sementara gerhana belum hilang, perbanyaklah membaca zikir, tahlil, dan zikir sejenisnya. Bisa pula diulangi kembali shalatnya, sebagaimana penjelasan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.

Bacaan pada shalat gerhana dilakukan dengan suara keras (jahr) meski pada siang hari.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan shalat karena gerhana matahari. Begitu pula pada malam hari ketika terjadi gerhana bulan, bacaan shalat gerhana dilakukan dengan jahr (keras).

Shalat gerhana dengan bacaan yang panjang

Dilakukan dengan berjamaah di Masjid

Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah di Masjid.

Tentu saja hal ini juga boleh dilakukan oleh jamaah wanita. Di masa para sahabat, kaum wanita mengikuti shalat gerhana.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari mengatakan, “Jika imam rawatib tidak datang, salah seorang yang hadir menjadi imam.”

Apabila tidak ada seorang pun yang bisa diajak berjamaah, dia diperbolehkan melakukan shalat gerhana sendirian. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.

Dilakukan kapan saja saat terjadi gerhana

Shalat gerhana boleh dilakukan meski di akhir siang atau di akhir malam, asalkan saat itu terjadi gerhana. Hal ini berdasarkan dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.

Setelah shalat, disyariatkan berkhutbah

Hukum berkhutbah setelah shalat adalah sunnah, bukan wajib. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya dan matahari telah terang (gerhana telah usai). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah Ta’ala seraya berkata:

“Matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena kematian seseorang, tidak pula karena kelahiran seseorang. Jika kalian melihat gerhana, berdoalah, bertakbirlah, shalatlah kepada Allah Ta’ala, dan bersedekahlah.’

Kemudian beliau mengatakan, “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah Ta’ala ketika seorang laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Contoh khutbah lainnya

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tiba-tiba beliau maju seolah-olah mengambil sesuatu, dan tiba-tiba mundur seolah-olah takut dari satu hal yang mengerikan. Sebagian sahabat bertanya tentang apa yang terjadi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku melihat surga. Aku berusaha mengambil sekumpulan anggur. Seandainya aku dapat mengambilnya, kalian akan terus makan darinya selama dunia masih ada.

Sungguh, aku juga melihat neraka. Aku tidak pernah melihat sebuah pemandangan yang lebih mengerikan dari pada yang aku lihat hari ini. Aku melihat ternyata kebanyakan penghuninya adalah para perempuan.”

Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena mereka kufur.”

Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apakah kufur terhadap Allah subhanahu wa ta’ala?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, tetapi mereka kufur (tidak berterima kasih) terhadap (kebaikan) para suami mereka. Kufur terhadap kebaikan. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang mereka sepanjang tahun, lantas dia melihat sesuatu yang tidak dia sukai, dia akan berkata, “Aku tidak pernah melihat pada dirimu kebaikan sama sekali.” ( HR. al-Bukhari dan Muslim).

Jika Masbuq saat shalat gerhana

Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya apabila dia tidak mendapati ruku’ pertama pada rakaat pertama. Maka, setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu rakaat dengan dua kali ruku’.

Pertanyaan dan Fatwa Seputar Shalat Gerhana

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang biasa muncul dalam permasalahan shalat gerhana.

Pertanyaan Seputar Shalat Gerhana

Bolehkah wanita melaksanakan shalat gerhana?

Pertanyaan:

Bolehkah wanita shalat gerhana (shalat khusuf) sendirian di rumahnya? Apa yang lebih utama baginya?

Jawab:

“Tidak apa-apa wanita shalat khusuf di rumahnya karena perintah dalam hal ini bersifat umum.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِكُمْ

“Shalatlah kalian dan berdoalah sampai tersingkap/hilang apa yang menimpa kalian.”[1]

Namun, kalau si wanita keluar ke masjid sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat [2] dan ikut shalat bersama orang-orang, tentu ini adalah kebaikan.

Referensi: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin, 16/310.

Catatan kaki (dari penerjemah):

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 1212.

[1] Gerhana bulan atau matahari berakhir dengan bulan kembali bercahaya dan matahari kembali bersinar.

[2] Seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Asma binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.

Sehingga kaum wanita boleh mengikuti shalat gerhana berjamaah di masjid, sebagaimana ’Aisyah dan Asma’ bintu Abi Bakr Radhiyallahu ’anhum dulu ikut melaksanakan shalat gerhana di masjid. (Lihat Hr. al-Bukhari no. 1053, Muslim no. 905, Syarh Shahih Muslim, al-Mughni III/ 322).

Boleh pula mereka shalat dirumahnya masing-masing secara sendiri-sendiri. Perlu diingat, kaum wanita yang hadir berjamaah di masjid ada syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya: harus menutup aurat dan berjilbab sesuai dengan syarat-syaratnya, tidak memakai wewangian, tidak berhias, tidak berbaur dengan kaum pria, dan lain-lain.

Adakah surat-surat tertentu yang dibaca ketika shalat gerhana?

Dalam shalat gerhana tidak disyariatkan untuk membaca surat tertentu. Namun disyariatkan untuk memperpanjang bacaan.

Namun seandainya seseorang membaca surat yang mengandung peringatan yang banyak, maka momennya sangat tepat. Sehingga sebagian guru kami berpendapat disunahkannya membaca surat Al-Isra.

Karena di dalam surat tersebut terdapat beberapa ayat yang selaras (dengan peristiwa gerhana). Di antaranya adalah firman Allah yang artinya:

وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ ۚ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا ۚ وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan Kami, melainkan tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang terdahulu. Dan kami berikan kepada Tsamud unta betina itu sebagai mu’jizat yang bisa dilihat. Tapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberikan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti. (Al Isra: 59).

Referensi: Liqa Al Bab Al Maftuh 15.

Hukum shalat gerhana pada waktu terlarang

Para ulama telah berselesih pendapat di dalam hukum shalat gerhana pada waktu-waktu yang dilarang, seperti jika seandainya terjadi gerhana bulan setelah terbitnya fajar atau gerhana matahari setelah waktu shalat ashar.

Pendapat pertama: tidak disyari’atkan

Sebagian mereka berpendapat tidak di syariatkan shalat gerhana pada dua waktu yang terlarang ini, tetapi di syariatkan agar bertakbir, dzikir, istigfar, doa, shodaqoh dan memerdekakan budak karena terdapat hadits yang shohih di dalam permasalahan itu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dua tanda ini tidak terjadi gerhana dikarenakan kematian seseorang juga kehidupan seseorang, jika kalian melihat itu maka dengan rasa takut bersegeralah untuk dzikir kepada Allah: berdoa, istigfar kepada Nya…”.

Seperti apa yang telah tetap dari hadits Aisyah radhiyallahu anha dan lainnya, bahwasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk bertakbir, bershadaqoh, berdoa dan membebaskan budak pada waktu gerhana.

Pendapat kedua: disyari’atkan

Dan yang lainnya berpendapat disyariatkannya shalat gerhana pada 2 waktu yang telah disebutkan, karena adanya keumuman hadits-hadits yang shahih yang memerintahkannya ketika gerhana. Hadit-hadits tersebut sangatlah banyak, diantaranya adalah sabda Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam:

{إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ, وَلاَ لَحِيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُو هُمَا فَادْ عُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ}

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Al Bukhari No. 1043, dan Muslim No. 915).

Pendapat ini adalah pendapat yang benar, karena keumuman hadits yang telah disebutkan, dan karena shalat gerhana termasuk shalat yang mempunyai sebab. Pendapat yang kuat dari perkataan ulama, bahwasanya shalat yang mempunyai sebab tidak masuk kedalam larangan shalat pada waktu-waktu yang dilarang.

Penjelasan pendapat kedua

Hanya saja yang dimaksudkan dari larangan shalat pada waktu-waktu yang dilarang adalah shalat yang tidak ada sebab khususnya. Adapun yang mempunyai sebab maka ia tidak termasuk kedalam larangan, seperti shalat gerhana dan shalat thawaf.  Karena sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam:

“Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian melarang seorangpun thawaf dan shalat di Bait (Ka’bah) ini pada waktu kapanpun dari waktu malam maupun siang.”

Hal ini juga seperti shalat Tahiyyatul masjid, karena sabda Rasulallaah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “jika salah seorang dari kalian masuk kedalam masjid maka janganlah ia duduk sampai ia melakukan shalat dua rakaat.” Ini berlaku umum pada waktu yang terlarang ataupun yang lainnya.

Begitu juga shalat sunnah Wudhu’ disyariatkan bagi siapa saja yang telah melakukan wudhu’ untuk melakukan shalat kapanpun, seperti yang telah datang dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Banyak dari para ulama rahimahumullah telah memilih pendapat ini dikarenakan hadits-hadits yang telah disebutkan para ulama.

Referensi: Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz ( 13/39 ).

Gerhana Matahari

Tidak mengumumkan waktu terjadinya gerhana di media-media informasi

Adapun berita dan informasi dari para pakar hisab/astronomi tentang waktu-waktu gerhana tidak boleh dijadikan sandaran. Karena para pakar hisab itu terkadang bisa salah dalam hisabnya. Sejumlah para ulama telah menegaskan hal ini.

Juga tidak disyari’atkan bagi siapapun untuk melaksanakan shalat gerhana berdasarkan informasi dari para pakar hisab. Shalat Gerhana hanyalah disyari’atkan ketika benar-benar terjadi dan terlihat.

Maka seharusnya bagi kementerian-kementerian komunikasi dan informasi untuk mencegah penyebaran berita dari para pakar hisab tentang waktu-waktu gerhana. Agar sebagian manusia tidak tertipu dengan berita tersebut.

Karena menyebarkan berita dari pakar hisab bisa menyebabkan peristiwa gerhana menjadi kurang mengena di hati masing-masing orang. Padahal Allah Ta’ala menakdirkan terjadinya gerhana agar manusia takut dan sebagai peringatan bagi mereka. Dengan itu umat manusia mengingat-Nya, bertaqwa kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, dan mau berbuat baik kepada sesama hamba Allah.”

Referensi: Majmu’ Fatawa Ibn Baz 13/36.

Disusun dari berbagai sumber yang dipercaya.

Shalat Gerhana