oleh

Meninjau Kembali Perayaan Nisfu Sya’ban: Sebuah Analisis Ilmiah

Perayaan nisfu Sya’ban merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh umat Islam pada malam tanggal 15 Sya’ban setiap tahunnya. Beberapa amalan dikhususkan pada perayaan tersebut bersandar dengan beberapa riwayat hadits. Namun, beberapa ulama pakar hadits telah mengkritik riwayat tersebut dan menyatakan tidak benar dijadikan dasar untuk beramal.

Dalam hal ini, kita akan mengacu pada para ulama terkemuka yang memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits. Mereka dapat memberikan pandangan yang lebih akurat dan obyektif mengenai tradisi tersebut. Selain itu, kita juga sebaiknya menghindari informasi dari sumber yang tidak jelas atau meragukan. Dengan cara ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang benar dan akurat mengenai perayaan nisfu Sya’ban.

Asal Usul Perayaan Nisfu Sya’ban

Mengenai asal-usul perayaan nisfu Sya’ban, al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah (W 795 H) menjelaskan dalam kitab Lataiful Ma’arif,

Dahulu para Tabi’in dari kalangan penduduk Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman dan selainnya, mereka pernah mengagungkan dan bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah pada malam nisfu Sya’ban. Kemudian orang-orang yang hidup setelah mereka mengambil keutamaan dan pengagungan malam nisfu Sya’ban dari mereka.

Ada juga yang mengatakan bahwa; mereka melakukan perbuatan tersebut berlandaskan berita yang dinukil dari Bani Israil disebut Al Israiliyat. Tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya namun ada yang mengingkarinya.

Kelompok yang menerima adalah penduduk Bashrah dan selain mereka. Adapun kelompok yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Mulaikah.

Disebutkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam ulama fikih dari kota Madinah, yaitu pendapat murid imam Malik dan selainnya, bahwa semua perbuatan tersebut adalah perkara baru yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Adapun ulama dari kalangan penduduk Syam mereka berbeda pendapat dalam pelaksanaannya dalam dua pendapat:

  1. Disunnahkan menghidupkan malam nisfu Sya’ban dalam masjid secara berjamah. Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir pada malam tersebut menggunakan pakaian terbaiknya, membakar kemenyan, memakai celak dan bangun malam menjalankan shalat tahajjud di masjid.

Pendapat ini desepakati oleh Ishaq bin Rohuyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah bukanlah perkara baru yang menyalahi syariat .” Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Harbu al-Kirmany.

  1. Dimakruhkannya mengadakan perkumpulan pada malam nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo’a. Tapi, boleh jika menjalankan shalat untuk dirinya sendiri. Ini adalah pendapat al-Auza’i seorang imam negeri Syam, ahli fikih dan cendekiawan negeri tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran Insya Allah.”1

Demikianlah penjelasan dari seorang ulama terkenal dari abad ke-8 Hijriah tentang asal-usul perayaan nisfu Sya’ban.

Pendapat Ulama Mengenai Amalan Khusus Nisfu Sya’ban

Dalam sebuah analisis ilmiah, banyak ulama yang menyatakan bahwa tidak ada hadis shahih yang mengaitkan malam nisfu Sya’ban dengan amalan-amalan khusus seperti shalat, puasa, berdoa atau membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an dan amalan lainnya. Bahkan beberapa amalan tidak ada dasarnya dalam Islam, seperti membakar kemenyan dan menghiasi masjid dengan lampu-lampu yang berlebihan.

Imam an-Nawawi rahimahullah (W 676 H) yang merupakan tokoh terkenal dalam mazhab Syafi’i, berkata,

Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka’at dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab dan shalat seratus rakaat pada malam nisfu Sya’ban. Dua shalat itu adalah perkara baru yang menyalahi syariat dan sebuah kemungkaran.

Tidak boleh seseorang tertipu dengan kedua hadits itu hanya karena disebutkan di dalam kitab Quutul Quluub dan Ihya’ Ulumuddin. Sebab, hadits-hadits tersebut pada dasarnya batil (tidak benar jalur periwayatannya).

Jangan pula tertipu dengan pendapat sebagian ulama yang tersamarkan atasnya hukum bagi kedua hadits itu. Yaitu dari kalangan para imam yang kemudian mengarang lembaran-lembaran dengan tujuan melegalkan kedua hadits tersebut, demikian itu merupakan sebuah kekeliruan.

Syaikh al-Imam Abu Muhammad Abdirrahman bin Ismail al-Maqdisi (W 600 H, -ed) telah menulis sebuah kitab yang amat berharga dalam rangka menyanggah kedua hadits tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik, semoga Allah merahmati beliau.2

Selain itu, Imam Abu Bakar ath-Thurthusiy rahimahullah (W 520 H) berkata ,

“Diriwayatkan oleh Wadhdhaah dari Zaid bin Aslam beliau berkata; kami belum pernah mendapati seorang pun dari tokoh terpandang dan ahli fiqih kami yang mereka turut menghadiri perayaan nisfu Sya’ban. Mereka juga tidak menoleh kepada hadits Makhul (karena hadits tersebut lemah). Mereka juga tidak berpendapat adanya keutamaan pada malam tersebut dibandingkan malam-malam lainnya.

Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Ziad an-Numairiy berkata; sesungguhnya pahala yang didapat dari ibadah pada malam nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Maka Ibnu Malikah menjawab; Seandainya saya mendengarnya dalam keadaan di tanganku ada tongkat, niscaya aku akan memukulnya. Ziad adalah seorang penceramah.”3

Imam Badruddin al-‘Aini rahimahullah (W 855 H) berkata ,

Aku katakan; Abul Khattab menyebutkan bahwa hadits-hadits yang meyebutkan adanya shalat khusus pada malam nisfu Sya’ban adalah hadits maudhu’ (palsu). Sedangkan hadits yang diriwayatkan imam Tirmidzi adalah hadits maqthu’ (terputus).”4

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata,

“Adapun hadits,

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الكتاب وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} عَشْرَ مَرَّاتٍ إِلا قَضَى اللَّهُ له كل حاجة _ إلخ.

Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah akan memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”

Hadits ini adalah maudhu’ (palsu), pada lafazhnya terdapat keterangan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya. Hadits tersebut tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, semuanya maudhu’ (palsu) dan para perawinya majhul (tidak dikenal)”.5

Seorang ulama besar dari abad ke 15 Hijriah di Kerajaan Arab Saudi yang dikenal sebagai mufti tertinggi Saudi Arabia dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat muslim di seluruh dunia, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz ( W 1420 H) rahimahullah menguatkan pernyataan para ulama di atas, beliau berkata,

Kalau seandainya malam nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra’ Mi’raj disyariatkan untuk dikhususkan dengan mengadakan perayaan atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada umatnya atau beliau sendiri yang akan melakukannya.

Jika memang hal itu (perayaan atau amalan khusus) pernah dilakukan, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita. Mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, tidak pula dari para shahabat tentang adanya keutamaan malam nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.

Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah perkara baru yang menyalahi syariat dan diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan sebuah ibadah tertentu adalah perkara baru yang mungkar.6

Adakah Keutamaan Khusus Pada Malam Nisfu Sya’ban?

Terjadi silang pendapat di antara ulama ahlussunnah mengenai keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban. Sebagian ulama menyatakan; semua Hadits yang menunjukkan adanya keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban adalah hadits yang lemah. Sebagaimana pendapat Imam Abu Bakar Ath-Thurthusiy rahimahullah yang telah kita sebutkan di atas (al-Hawadits Wal Bida’ hlm. 130-131).

Akan tetapi, sebagian ulama yang lain mereka berpendapat shahihnya dalil yang menunjukkan adanya keutamaan khusus pada malam nisfu Sya’ban.

Abdurrahman al-Mubarakfuri rahimahullah berkata (W 1353 H),

“Ketahuilah bahwasanya telah datang beberapa hadits yang menunjukkan adanya keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban, kumpulan hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwasanya pendapat tentang adanya keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban memiliki dasar.”7

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim rahimahullah merupakan seorang ulama besar Islam yang terkenal dari abad ke 7 H sebagai seorang ulama yang sangat dihormati oleh para ulama ahlus sunnah wal jama’ah, selain keilmuan beliau yang luas beliau sangat berani dalam mempertahankan dan memperjuangkan kemurnian ajaran Islam, beliau dikenal dengan ibnu Taimiyah, beliau berkata,

Sungguh telah ada hadits dan atsar yang menujukkan keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban.”8

Seroang ulama pakar hadits yang terkenal dari abad ke 14, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah (W 1420 H) berkata,

Penjelasan yang disebutkan oleh Syaikh al-Qosimi rahimahullah dalam kitab Ishlah al-Masajid dari beberapa ulama pakar hadits, bahwa tidak ada satupun hadits shahih tentang keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban, merupakan penjelasan yang tidak layak untuk dijadikan sandaran.

Sementara, sikap sebagian ulama yang menyatakan tidak ada keutamaan khusus malam nisfu Sya’ban secara mutlak, sesungguhnya dilakukan karena terlalu terburu-buru dan tidak berusaha mencurahkan kemampuan untuk meneliti semua jalur untuk riwayat ini, sebagaimana yang ada di hadapan anda. Dan hanyalah Allah yang memberi taufiq.”9

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan berikut ini:

Pertama, semenjak awal mula kemunculan perayaan nisfu Sya’ban para ulama telah berselisih pendapat, apakah dianjurkan untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan beribadah ataukah tidak.

Kedua, ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan beribadah, mereka tidak mengaitkannya dengan suatu ibadah tertentu seperti; shalat 100 rakaat, membaca surat-surat tertentu, berdoa dengan doa khusus, berdizkir dengan jumlah tertentu dan lain-lain.

Ketiga, tidak didapati hadits shahih yang menunjukkan adanya amalan khusus pada nisfu Sya’ban. Semua hadits yang menyebutkan adanya amalan khusus pada nisfu Sya’ban adalah hadits yang lemah bahkan palsu. Sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk beramal.

Keempat, mengenai keutamaan khusus malam Nisfu Sya’ban para ulama berselisih pendapat tentangnya. Anggap saja bahwa pendapat tentang shahihnya hadits-hadits yang menunjukkan adanya keutamaan khusus malam Nisfu Sya’ban lebih kuat, akan tetapi keutamaan tersebut sama sekali tidak menunjukkan bolehnya adanya mengkhususkan amalan pada malam tersebut.

Karena mengkhususkan suatu amalan harus berlandasakan dalil yang shahih. Sedangkan semua hadits yang menunjukkan adanya amalan khusus pada malam tersebut derajatnya lemah bahkan hadits palsu.

Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita lebih kritis dalam menilai suatu amalan atau tradisi sebelum kita memutuskan untuk mengikutinya. Sebelum kita mempraktikkan amalan-amalan tertentu, sebaiknya kita lebih mendalami ajaran Islam dan mengikuti amalan yang benar-benar didasarkan pada sumber yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepada kita, agar bisa mengikuti kebenaran walaupun terasa berat bagi jiwa. Wallahul muwaffiq. (LHL-AAA/IWU)

Penulis: Lekat Hidayat

Referensi

  1. Al-Hawadits wal Bida’ karya Imam Abu Bakr Muhammad bin al-walid ath-Thurthusiy rahimahullah (W 520 H).

  2. Al-Majmu’ karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah (W 676 H).

  3. Nakhbul Afkar fii Tanqihi Mabani al-Akhbar fii Syarhi Ma’ani al-Atsar karya Imam Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Badruddin al-‘Aini rahimahullah (W 855 H).

  4. Lathaif al-Ma’arif fii maa Lawasimu al-‘Am min al-Wazhaif karya Imam Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbali rahimahullah (W 795 M).

  5. Tuhfatul Ahwazi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi karya Imam Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri rahimahullah (W 1353 H).

  6. Al-Fawaid al-Majmu’ah fii al-Ahadits al-Maudhuah karya Imam Muhammad bin Ali Muhammad asy-Syaukani rahimahullah (W 1250 H).

  7. Ath-Tahzir minal Bida’ karya Imam Abdul Aziz bin Abdillah rahimahullah (W 1420 H).

  8. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syaiun min Fikhiha wa Fawaidiha karya Imam Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah (W 1420 H).


1 Lataiful Ma’arif (137)

وليلة النصف من شعبان كان التابعون من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول ولقمان بن عامر وغيرهم يعظمونها ويجتهدون فيها في العبادة وعنهم أخذ الناس فضلها وتعظيمها وقد قيل أنه بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية فلما اشتهر ذلك عنهم في البلدان اختلف الناس في ذلك فمنهم من قبله منهم وافقهم على تعظيمها منهم طائفة من عباد أهل البصرة وغيرهم وأنكر ذلك أكثر علماء الحجاز منهم عطاء وابن أبي مليكة ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة وهو قول أصحاب مالك وغيرهم وقالوا: ذلك كله بدعة.

واختلف علماء أهل الشام في صفة إحيائها على قولين:

أحدهما: أنه يستحب إحياؤها جماعة في المساجد كان خالد بن معدان ولقمان بن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون في المسجد ليلتهم تلك ووافقهم إسحاق بن راهوية على ذلك وقال في قيامها في المساجد جماعة: ليس ببدعة نقله عنه حرب الكرماني في مسائله.

والثاني: أنه يكره الإجتماع فيها في المساجد للصلاة والقصص والدعاء ولا يكره أن يصلي الرجل فيها لخاصة نفسه وهذا قول الأوزاعي إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم وهذا هو الأقرب إن شاء الله تعالى.

2 Al-Majmu’ (4/56)

الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذَكَرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ وَلَا يُغْتَرُّ بِبَعْضِ مَنْ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ حُكْمُهُمَا مِنْ الْأَئِمَّةِ فَصَنَّفَ وَرَقَاتٍ فِي اسْتِحْبَابِهِمَا فَإِنَّهُ غَالِطٌ فِي ذَلِكَ وَقَدْ صَنَّفَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ عبد الرحمن بن اسمعيل الْمَقْدِسِيُّ كِتَابًا نَفِيسًا فِي إبْطَالِهِمَا فَأَحْسَنَ فِيهِ وَأَجَادَ رَحِمَهُ اللَّهُ

3 Al-Hawadits Wal Bida’ (130-131)

وروى ابن وضاح عن زيد بن أسلم؛ قال: ” ما أدركنا أحدا من مشيختنا ولا فقهائنا يلتفتون إلى النصف من شعبان، ولا يلتفتون إلى حديث مكحول، ولا يرون لها فضلا على ما سواها “. وقيل لابن أبي مليكة: إن زيادا النميري يقول: إن أجر ليلة النصف من شعبان كأجر ليلة القدر. فقال: ” لوسمعته وبيدي عصا؛ لضربته “. وكان زياد قاصا.

4 Nakhbul Afkar (8/447)

ذكر أبو الخطاب أن الأحاديث التي في صلاة النصف منه موضوعة، وفيها حديث عند الترمذي مقطوع

5 Al-Fawaid al-Majmu’ah (50-51)

حديث: “يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الكتاب وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} عَشْرَ مَرَّاتٍ إِلا قَضَى اللَّهُ له كل حاجة _ إلخ. هُوَ مَوْضُوعٌ وَفِي أَلْفَاظِهِ الْمُصَرَّحَةِ بِمَا يَنَالُهُ فَاعِلُهَا مِنَ الثَّوَابِ مَا لا يَمْتَرِي إِنْسَانٌ لَهُ تَمْيِيزٌ فِي وَضْعِهِ وَرِجَالُهُ مَجْهُولُونَ. وَقَدْ رَوَى مِنْ طَرِيقٍ ثَانِيَةٍ وَثَالِثَةٍ كُلُّهَا مَوْضُوعَةٌ وَرُوَاتُهَا مَجَاهِيلُ.

6 Ath-Tahzir Minal Bida’ (44-45)

فلو كانت ليلة النصف من شعبان، أو ليلة أول جمعة من رجب، أو ليلة الإسراء والمعراج يشرع تخصيصها باحتفال أو شيء من العبادة لأرشد النبي صلى الله عليه وسلم الأمة إليه، أو فعله بنفسه، ولو وقع شيء من ذلك لنقله الصحابة رضي الله عنهم إلى الأمة ولم يكتموه عنهم، وهم خير الناس وأنصح الناس بعد الأنبياء عليهم الصلاة والسلام، ورضي الله عن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وأرضاهم، وقد عرفت آنفا من كلام العلماء أنه لم يثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه رضي الله عنهم شيء في فضل ليلة أول جمعة من رجب ولا في فضل ليلة النصف من شعبان، فعلم أن الاحتفال بهما بدعة محدثة في الإسلام، وهكذا تخصيصهما بشيء من العبادة بدعة منكرة،

7 Tuhfatul Ahwazi (3/365)

اعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ وَرَدَ فِي فَضِيلَةِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ مَجْمُوعُهَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لَهَا أَصْلًا

8 Majmu’ al-Fatawa (2/131-132)

وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ فَقَدْ رُوِيَ فِي فَضْلِهَا أَحَادِيثُ وَآثَارٌ

9 Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (3/139)

فما نقله الشيخ القاسمي رحمه الله تعالى في إصلاح المساجد ” (ص 107) عن أهل التعديل والتجريح أنه ليس في فضل ليلة النصف من شعبان حديث صحيح، فليس مما ينبغي الاعتماد عليه، ولئن كان أحد منهم أطلق مثل هذا القول فإنما أوتي من قبل التسرع وعدم وسع الجهد لتتبع الطرق على هذا النحو الذي بين يديك. والله تعالى

هو الموفق.