oleh

Pengertian Shalat Jamak Menurut Para Ulama

Pengertian shalat jamak merupakan pembahasan yang cukup penting. Karena di dalamnya mengandung pembahasan tentang dalil, jenis dan tata cara shalat jamak yang benar, serta perbedaan antara shalat jamak dan shalat qashar. Pada pembahasan ini juga dijelaskan bagaimana kondisi atau udzur syar’i yang membolehkan shalat jamak yang tentunya pembahasan ini sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, terutama yang ingin melakukan perjalanan jauh (safar).

Pengertian Shalat Jamak

Pengertian shalat jamak yang diterangkan oleh para ulama di antaranya adalah, menggabungkan dua shalat fardhu (wajib) dengan melaksanakannya pada waktu yang sama. Maksud dari dua shalat fardhu adalah dua shalat yang boleh untuk dijamak antara keduanya yaitu,

  • Shalat Maghrib dengan Shalat Isya’ atau
  • Shalat dhuhur dengan Shalat ashar.

Maka berdasarkan pengertian shalat jamak tersebut, tidaklah bisa dijamak antara Shalat ashar dengan Maghrib, karena Shalat Maghrib dan ashar berbeda jenisnya. Shalat ashar merupakan shalat nahariyyah (yang dilakukan pada siang hari), sedangkan Shalat Maghrib merupakan shalat lailiyyah (yang dilakukan pada malam hari). Semisal itu pula antara Shalat Shubuh dan Isya’.

Adapun Shalat Shubuh maka tidak dapat dijamak dengan shalat sebelumnya atau setelahnya, dikarenakan antara Shalat Shubuh dan Isya’ adalah separuh waktu malam dan antara Shalat Shubuh dan dhuhur separuh dari waktu siang.1

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tidak boleh menjamak Shalat Shubuh dengan shalat yang lainnya, demikian pula tidak boleh menjamak Shalat Maghrib dengan Shalat Ashar berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).” 2

Dalil Tentang Shalat Jamak

Adanya dalil yang mensyariatkannya merupakan syarat yang harus terpenuhi dari suatu ibadah. Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui keberadaan dalil tentang shalat jamak di dalam syariat Islam.

Di antara dalil yang menunjukkan disya’riatkannya shalat jamak adalah, hadits berikut:

أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلمكَانَ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ فَيُصَلِّيهِمَا جَمِيعًا وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ سَارَ وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءَ فَصَلاَّهَا مَعَ الْمَغْرِبِ

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala perang tabuk, jika melakukan perjalanan sebelum tergelincirnya matahari ke arah barat (tanda masuknya waktu shalat dhuhur) Beliau mengakhirkan Shalat dhuhur dan menjamaknya dengan Shalat ashar. Akan tetapi apabila Beliau melakukan perjalanan sesudah tergelincirnya matahari Beliau menggabungkan Shalat dhuhur dan ashar serta menjamak keduanya di waktu dhuhur, baru setelah itu Beliau melanjutkan perjalanan.

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan sebelum Maghrib, beliau mengakhirkan waktu Shalat Maghrib serta menjamaknya dengan Shalat Isya’. Namun, manakala Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melakukan perjalanan setelah Maghrib (setelah masuk waktu Maghrib) beliau mendahulukan waktu Shalat Isya’ dan menjamaknya dengan Shalat Maghrib.”3

Dan masih banyak dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat jamak dari selain yang kami sebutkan di atas.

Pengertian Shalat Jamak Taqdim dan Jamak Takhir

Jamak taqdim adalah, menggabungkan shalat yang pertama dengan shalat yang kedua pada waktu shalat yang pertama.

Adapun jamak takhir adalah, menggabungkan shalat yang pertama dengan shalat yang kedua pada waktu shalat yang kedua. 4

Menurut pendapat yang diambil oleh sahabat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum, demikian pula pendapat yang diambil oleh para ulama di antaranya, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas dan as-Syafii rahimahumullah adalah bolehnya menjamak shalat, baik jamak taqdim maupun takhir. Pendapat ini dirajihkan oleh Imam as-Shan’ani (W.1182).5 Di antara dalil pendapat ini adalah hadits di atas.

Yang menunjukan jamak takhir yaitu pada lafadz,

إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ فَيُصَلِّيهِمَا جَمِيعًا

“Jika melakukan perjalanan sebelum tergelincirnya matahari ke arah barat (tanda masuknya waktu shalat dhuhur) beliau mengakhirkan shalat dhuhur dan menjamaknya dengan shalat ashar.”6

Yang menunjukan jamak taqdim yaitu pada lafadz,

وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا

“Apabila Beliau melakukan perjalanan sesudah tergelincirnya matahari beliau menggabungkan shalat dhuhur dan ashar serta menjamak keduanya di waktu dhuhur.” 7

Imam an-Nawawi mengatakan: “Menurut pendapat ulama terkait permasalahan jamak, demikian pula menurut pendapat kami, bahwa boleh menjamak shalat baik di waktu shalat pertama (jamak taqdim), atau di waktu kedua (jamak takhir).”8

Manakah Yang Lebih Utama Jamak Atau Tidak?

Bahwa menjamak shalat lebih utama bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan (tidak sedang singgah), sedangkan tidak menjamak shalat lebih utama jika sedang singgah.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam pada haji wada’, tatkala Beliau singgah di Mina.9

Kondisi yang Membolehkan Shalat Jamak

  1. Alasan pertama adalah safar yakni, safar yang dibolehkan padanya mengqashar shalat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan pada hadits yang lalu. Adapun dalil yang lain seperti pada hadits,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَجِلَ بِهِ السَّيْرُ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika terdesak karena safar, Beliau menjamak Shalat Maghrib dengan Isya’.”10

  1. Sakit, berdasarkan hadits,

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمْعًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah Shalat dhuhur dan ashar, Maghrib dan Isya’, dengan menjamak keduanya, dalam keadaan tidak ada rasa takut maupun hujan.” 11Maka tidak ada kemungkinan udzur lain kecuali sakit.12

Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita yang mengalami istihadhah untuk menjamak shalat. Sedangkan istihadhah termasuk kategori sakit.

  1. Hujan yang lebat, sebagaimana pada hadits,

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمْعًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah Shalat dhuhur dan ashar, Maghrib dan Isya’, dengan menjamak keduanya, dalam keadaan tidak ada rasa takut maupun hujan.” 13 Imam Malik bin Anas mengatakan: “Aku menduga itu karena adanya hujan.”

Berkata Imam al-Mawardi (364 H – 450 H): “Tidak boleh menjamak dua shalat tatkala muqim (Tidak safar), kecuali jika karena hujan. Ia menjamaknya pada waktu shalat pertama, dari shalat yang dilakukan di masjid bukan di lakukan di rumah, dan jika shalat berjamaah bukan tatkala shalat sendirian.”14

Imam an-Nawawi mengatakan: “Tidak boleh menjamak dua shalat karena hujan kecuali jika hujan yang lebat, yang mungkin membasahi pakaian. Adapun hujan yang tidak membasahi pakaian maka tidak boleh menjamak keduanya karena hal itu tidak memudharatkannya.”15

Kapanpun seseorang mendapatkan kesusahan atau kepayahan jika tidak menjamak shalat, maka boleh baginya untuk menjamak shalat, baik karena sakit atau yang lainnya, baik ia dalam keadaan mukim atau sedang menempuh perjalanan. Di antara udzur yang lain yang membolehkan baginya untuk menjamak shalat adalah, seperti adanya angin begitu dingin keluar dari normalnya atau karena adanya lumpur atau tanah yang becek yang menyusahkannya tatkala berjalan. Atau udzur dan alasan lainnya yang mana jika seorang jika tidak menjamak shalat maka hal itu menjadi (masyaqah) kesulitan baginya.16

Kesimpulannya dari penjelasan ini adalah, bahwa shalat jamak merupakan rukhsah (dispensasi) dalam agama jika adanya hal-hal yang memberatkan (masyaqah), seperti safar, sakit atau hujan lebat dengan dibolehkannya untuk menggabungkan antara dua shalat pada waktu salah satu dari kedua shalat tersebut. Semua ini merupakan bukti agama Islam adalah agama yang penuh dengan kelemahlembutan (rahmah) dan kasih sayang.

Semoga penjelasan yang ringkas ini bisa dipahami dan diambil faedahnya. Wallahu a’lam bish shawab. MSM-MS

Penulis: Muhammad as-Sijnul Mubarak


Footnotes

  1. Lihat Tanbihul Afham hlm.325/1. Dengan sedikit penjelasan.
  2. Lihat al-Majmu’ Syarh Muhadzab hlm.370.

    وَلَا يَجُوزُ جَمْعُ الصُّبْحِ إلَى غَيْرِهَا وَلَا الْمَغْرِبِ إلَى الْعَصْرِ بِالْإِجْمَاعِ

  3. HR. Abu Dawud no.1222, sahih. Lihat al-Irwa no.578, dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.
  4. Lihat al-Hawi al-Kabir hlm.396/2.

    وَلِأَنَّ الْجَمْعَ جَمْعَانِ، جَمْعٌ هُوَ تَأْخِيرُ الْأُولَى إِلَى الثَّانِيَةِ، وَجَمْعٌ هُوَ تَقْدِيمُ الثَّانِيَةِ إِلَى الْأُولَى

  5. Lihat Subulussalam hlm.391/1.
  6. HR. Abu Dawud no.1222, sahih. Lihat Al-irwa no.578, dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.
  7. HR. Abu Dawud no.1222, sahih. Lihat Al-irwa no.578, dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.
  8. Lihat al-Majmu’ Syarh Muhadzab hlm.371/4.

    فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي الْجَمْعِ بِالسَّفَرِ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا جَوَازُهُ فِي وَقْتِ الْأُولَى وَفِي وَقْتِ الثَّانِيَةِ

  9. Al-fiqhu al-Muyassar hlm. 91.
  10. HR. Muslim no.703, di dalam sahihnya. Dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
  11. HR. Muslim no. 705, di dalam sahihnya, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma.
  12. Al-fiqhu al-Muyassar hlm. 91.
  13. HR. Muslim no. 705, di dalam sahihnya, dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma.
  14. Lihat al-Iqna’ li Mawardi hlm. 49.

    وَلَا يجمع بَين الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَر إِلَّا أَن يكون مطر فَيجمع بَينهمَا فِي وَقت الأولى منما فِي مَسْجده لَا فِي منزله إِذا أَرَادَ أَن يُصَلِّي جمَاعَة لَا فُرَادَى

  15. Lihat al-Majmu’ Syarh Muhadzab hlm.378/4.

    ولا يجوز الجمع الا في مطر يبل الثياب وأما المطر الذى لا يبل الثياب فلا يجوز الجمع لاجله لانه لا يتأذى به

  16. Al-fiqhu al-Muyassar hlm. 91-92.