oleh

Penetapan Sifat Allah Beristiwa di Atas Arsy

Perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib kita imani secara hakiki tanpa menyimpangkan (tahrif), menghilangkan (ta’thil), membagaimanakan maknanya (takyif) dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil) adalah Allah beristiwa di atas arsy-Nya setelah penciptaan langit dan bumi selama enam hari dan Arsy Allah berada di atas air.

Tidak sedikit kelompok yang meniadakan sifat Allah beristiwa di atas arsy-Nya seperti sekte Mu’tazilah, Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan yang lainnya. Padahal sifat ini telah Allah tetapkan untuk diri-Nya di dalam al-Qur’an, juga ditetapkan oleh Rasul-Nya di dalam as-Sunnah dan para ulama telah bersepakat tentangnya. Berikut beberapa dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama yang di dalamnya terdapat penetapan sifat istiwa bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ayat-ayat Tentang Allah Beristiwa di Atas Arsy

Terdapat tujuh ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah beristiwa di atas arsy-Nya:

  1. Surat al-A’raf ayat 54:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia beristiwa di atas arsy”.

  1. Surat Yunus ayat 3:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia beristiwa di atas arsy”.

  1. Surat ar-Ra’d ayat 2:

اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia beristiwa di atas arsy”.

  1. Surat Thaha ayat 5:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang beristiwa di atas ‘arsy”.

  1. Surat al-Furqan ayat 59:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ

“Kemudian Dia beristiwa di atas Arsy (Dialah) Yang Maha Pemurah”.

  1. Surat as-Sajdah ayat 4:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia beristiwa di atas ‘arsy”.

  1. Surat al-Hadid ayat 4:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari; Kemudian Dia beristiwa di atas ‘arsy”.

Makna Arsy

Arsy merupakan atap yang meliputi seluruh makhluk1. Secara bahasa arsy adalah singgasana atau permadani yang dikhususkan untuk raja.2

Adapun secara istilah syari’at adalah arsy agung yang Allah beristiwa di atasnya. Arsy merupakan makhluk-Nya yang paling tinggi dan paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati arsy dengan sifat besar, mulia dan agung.3

Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas air, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang pliang baik amalnya”. (Hud: 7)

Al-Imam as-Sam’ani al-Hanafi asy-Syafi’i mengatakan: “Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Arsy-Nya di atas air sementara air tersebut ditopang angin yang keras dan kokoh.”4

Kursi bukanlah arsy karena arsy adalah makhluk yang Allah beristiwa di atasnya, sedangkan kursi merupakan tempat kedua kaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:5

الكُرْسِي مَوْضِعُ القَدَمَيْنِ وَالعَرْشُ لَا يُقَّدِرُ أَحَدٌ قَدْرَهُ

“Kursi adalah tempat kedua kaki Allah sedangkan arsy tidak ada yang bisa mengukur berapa besarnya”.6

Makna Istiwa

Makna Istiwa (الِاستِوَاء) sebagaimana yang diriwayatkan oleh ulama salaf terdapat empat makna:

Pertama: (عَلَا): ‘Ala: Di atas,

Kedua: (اِرْتَفَعَ): Irtafa’a: Tinggi,

Ketiga: (صَعِدَ): Sha’ada: Meninggi,

Keempat: (اِستَقَرَّ): Istaqarra: Tetap berada di atas

Makna di atas teriwayatkan dari bahasa arab yaitu ketika kata (اسْتَوَى) bersambung dengan (عَلَى), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا اسْتَوَيْتَ أَنْتَ وَمَنْ مَعَكَ عَلَى الْفُلْكِ

Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu” (al-Mu’minum: 28)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَالأنْعَامِ مَا تَرْكَبُونَ لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ

Dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya” (az-Zukhruf 12-13)

Makna Allah Beristiwa di Atas Arsy

Perlu diketahui bahwa tatacara atau bagaimana Allah beristiwa di atas arsy-Nya merupakan perkara yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Manusia tidak dapat mengetahuinya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya memberitakan tentang nama, sifat dan perbuatan-Nya, tanpa memberitahu tatacara atau bagaimananya. Bertanya tentangnya merupakan perkara yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah ditanya: Wahai Abu Abdillah “Rabb Yang Maha Pemurah, Yang beristiwa di atas arsy”, bagaimanakah tatacara beristiwa?” Beliau menjawab: “Al-Istiwa bukan perkara yang tidak diketahui maknanya, sedangkan bagaimananya (tatacara) tidak dapat dijangkau oleh akal, beriman terhadap istiwa’ wajib, menanyakan bagaimana tatacaranya bid’ah”.

Kemudian beliau menyuruh orang yang bertanya dikeluarkan dari masjid karena dikhawatirkan kaum muslimin akan terpengaruh oleh pemahamannya.7

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim mengatakan: “Al-Imam Malik menjelaskan bahwa al-Istiwa diketahui maknanya, tidak diketahui bagaimananya dan yang semisal ini banyak ditemui pada banyak dari ucapan para ulama dan imam, mereka meniadakan jangkauan ilmu para hamba tentang bagaimana tatacara sifat-sifat Allah, sehingga tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah”8

Dari sini dapat diketahui kata Istiwa jika diartikan dengan bersemayam maka maknanya kurang sesuai, karena menurut KBBI kata bersemayam bermakna: Duduk, tinggal atau tersimpan yang mana dari ketiga kata tersebut tidak mengandung empat makna istiwa di atas.

Hadits-hadits Tentang Allah Beristiwa di Atas Arsy

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَمَّا قَضَى الخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ أَنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ

“Sesungguhnya Allah ketika telah menentukan penciptaan, menulis di sisi-Nya di atas arsy bahwa rahmat-Ku mendahului amarah-Ku”.9

Kesepakatan Ulama Tentang Allah Beristiwa di Atas Arsy

Para ulama bersepakat tentang penetapan sifat Allah beristiwa di atas arsy-Nya. Oleh karena itu, wajib mengimaninya tanpa menyimpangkan, menghilangkan, membagaimanakan dan menyerupakan maknanya. Sifat Allah beristiwa di atas arsy adalah sifat yang hakiki, sesuai dengan kemuliaan keagungan-Nya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak serupa dengan makhluk-Nya.

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim rahimahullah mengatakan: “Para ulama salaf dan para imam berkata: “Allah beristiwa di atas arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan ulama”.10

Al-Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni asy-Syafi’i membuat bab “Istiwa Allah di atas arsy-Nya” beliau berkata: “Para ulama fikih dari kalangan sahabat dan tabi’in meyakini dan bersaksi bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit yang tujuh, beristiwa di atas arsy-Nya, sebagaimana yang ada di dalam al-Qur’an”.11

Penutup

Semoga dengan pemaparan di atas dapat memperkuat iman dan keyakinan kita tentang sifat Allah beristiwa di atas arsy, di atas seluruh makhluk-Nya tanpa ada keraguan di hati kita sedikitpun dengan tidak menyimpangkan, menghilangkan, membagaimanakan dan menyerupakan maknanya dengan makhluk-Nya dan arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan makhluk terbesar yang paling tinggi, Allah ciptakan sebagai atap bagi seluruh makhluk-Nya di alam ini. REI/ALF

Penulis: Reihan Audie

Referensi:

  1. Syarh Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah
  2. Syarh Lum’atul I’tiqad, karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah
  3. ‘Aqidatus Salaf wa Ashabul Hadits, karya al-Imam Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni asy-Syafi’i rahimahullah
  4. Majmu’ al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim rahimahullah
  5. Tafsir as-Sam’ani, karya Abul Muzhaffar as-Sam’ani at-Tamimi al-Hanafi, asy-Syafi’I rahimahullah

Catatan kaki:

1 Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih (1/374)

والْعَرْشِ: هو ذلك السقف المحيط بالمخلوقات

2 Lihat Tahdzibil Lughah (1/413) dan ash-Shihah (3/1006-1010)

3 Lihat Syarh Lum’atul I’tiqad asy-Syaikh Muhammad bin Shalih (hlm. 70)

وفي الشرع العرش العظيم الذي استوى عليه الرحمن جل جلاله، وهو أعلى المخلوقات وأكبرها وصفه الله بأنه عظيم وبأنه كريم وبأنه مجيد.

4 Lihat Tafsir as-Sam’ani (2/415), dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, shahih. Lihat Zhilalul Jannah no.584

قَالَ ابْن عَبَّاس: كَانَ الْعَرْش على المَاء، وَالْمَاء على متن الرّيح، أَي: صلب الرّيح

5 Lihat Syarh Lum’atul I’tiqad asy-Syaikh Muhammad bin Shalih (hlm. 70)

والكرسي غير العرش؛ لأن العرش هو ما استوى عليه الله تعالى، والكرسي موضع قدميه لقول ابن عباس رضي الله عنهما: الكرسي موضع القدمين والعرش لا يقدر أحد قدره. رواه الحاكم في مستدركه وقال صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه

6 HR. al-Hakim (2/282) di dalam Mustadraknya, at-Thabari (12204) di dalam al-Kubra dan adz-Dzahabi di dalam Muktashar Uluw (75), dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, shahih.

7 Lihat Majmu’ al-Fatawa (5/360), Mukhtashar ‘Uluw (141), Fathul Bari (13/501), shahih

8 Lihat Majmu’ al-Fatawa (3/58), Dar’ut Ta’arud (1/197), ash-Shawa’iq al-Mursalah (3/923)

فَبَيَّنَ أَنَّ الِاسْتِوَاءَ مَعْلُومٌ وَأَنَّ كَيْفِيَّةَ ذَلِكَ مَجْهُولٌ، وَمِثْلُ هَذَا يُوجَدُ كَثِيرًا فِي كَلَامِ السَّلَفِ، وَالْأَئِمَّةُ يَنْفُونَ عِلْمَ الْعِبَادِ بِكَيْفِيَّةِ صِفَاتِ اللَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَعْلَمُ كَيْفَ اللَّهُ إلَّا اللَّهُ فَلَا يَعْلَمُ مَا هُوَ إلَّا هُوَ

9 HR. Bukhari no. 3194, Muslim no. 2751 di dalam shahih keduanya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

10 Lihat Majmu’ al-Fatawa (2/297-299)

فَالسَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ يَقُولُونَ: إنَّ اللَّهَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا دَلَّ عَلَى ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ سَلَفِ الْأُمَّةِ

11 Lihat ‘Aqidatus Salaf wa Ashabul Hadits (hlm. 90) cet. (Darul Ilmiyyah, Beirut)

ويعتقد أصحاب الحديث ويشهدون أن الله سبحانه فوق سبع سماواته على عرشه مستوٍ كما نطق به كتابه