oleh

Bagaimana Cara Niat Puasa Ramadhan yang Baik dan Benar?

-Fiqih-1,939 views

Niat sangat menentukan diterima atau tidak sebuah ibadah. Tanpa niat yang baik dan benar seseorang tidak akan merasakan buah manis dari jerih payah amalan yang ia kerjakan. Tak terkecuali dalam ibadah puasa Ramadhan. Oleh karena itu, Berikut kami sajikan pembahasan ringkas tentang bagaimana cara niat puasa Ramadhan yang baik dan benar kepada pembaca, semoga bermanfaat.

Kedudukan Niat dalam Amalan

Dahulu para salaf rahimahumullah mengatakan,

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِيْ

“Tidaklah aku membenahi sesuatu yang paling berat dari pada niat.” 1

Mengapa demikian? Karena mereka tahu kalau niat yang tempatnya di hati itu sering berganti-ganti. Disisi lain mereka juga memahami dengan baik sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amalan itu tergantung niatannya dan seseorang itu mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”2

Mereka mengerti benar bahwa niat adalah barometer diterima dan tidaknya amalan. Jika niatnya baik dan benar maka potensi diterimanya amalan akan semakin besar, namun sebaliknya jika niatannya jelek dan salah kecil kemungkinan akan diterima.

Apa Maksud Niat yang Baik dan Benar?

Niat yang baik adalah niatan yang murni karena Allah Ta’ala semata. Bukan demi kepentingan dunia apapun. Adapun makna dari niatan yang benar adalah niatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam lanjutan hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ

“Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, niscaya hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya.”3

Sehingga apabila kita ingin amalan kita diterima di sisi Allah Ta’ala, iringi selalu amalan kita dengan niat yang baik dan benar. tak terkecuali puasa Ramadhan.

Cara Niat Puasa Ramadhan

Oleh sebab itu penting kiranya kita mengetahui bagaimana cara niat puasa Ramadhan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, agar kita mengintrospeksi diri apakah niatan kita sudah termasuk niat yang baik dan benar ataukah belum. Kami sertakan pula beberapa poin yang terkait dengannya sebagai penjelas dan tembahan faedah.

  1. Niat Puasa Ramadhan Dilakukan pada Malam Hari

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ , فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barrangsiapa yang tidak meniatkan puasa di malam hari, maka tidak sah puasanya.”4

Apakah Niat Puasa Ramadhan Harus Sebelum Tidur?

Tidak harus. Bahkan tidak mengapa jika anda baru meniatkan puasa Ramadhan 10 menit sebelum adzan subuh. Puasa anda tetap sah dan sama sekali tidak rusak. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas mengatakan “di malam hari”. Sedangkan kata ‘malam’ dalam bahasa Arab terhitung sejak terbenamnya matahari sampai terbit fajar shadiq (yakni sampai datangnya waktu Subuh). Sehingga anda bisa meniatkan puasa di awal, pertengahan, atau akhir malam.5

Bagaimana Apabila Niat Puasa Ramadhan Baru Dilakukan Setelah Shalat Shubuh Karena Lupa?

Maka jawabannya puasa anda tidak sah. Sebab puasa Ramadhan itu wajib semenjak terbit fajar shadiq sampai terbenamnya matahari. Kalau sesaat saja dari waktu wajibnya puasa anda tidak meniatkan untuk berpuasa maka puasa anda sejak pagi hingga sore tidak sah, meskipun karena lupa.6 Ini juga berlaku pada puasa wajib lainnya, seperti puasa nazar, kafarah dan qadha.

Adapun puasa sunnah maka tidak mengapa jika anda baru meniatkannya setelah terbit fajar, selama anda belum melakukan pembatal-pembatal puasa seperti makan, minum, jimak, dll7. Sebab Aisyah ibunda kaum mukminin radhiyallahu ‘anha pernah bercerita,

كَانَ النَّبِيُّ – صلى اللهُ عليه وسلَّم – يَأتِينِي وَيَقُولُ: أَعْنَدَك غَدَاءٌ؟ فَأَقُولُ , لَا , فَيَقُولُ: إِنِّي صَائِمٌ

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangiku dan bertanya; “Apakah engkau memiliki sarapan pagi?” maka aku menjawab; “Tidak.” “(Kalau demikian) aku puasa.”sahut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”8

Apakah Satu Niat di Awal Bulan Ramadhan Sudah Mencukupi Niat untuk Puasa 30 Hari?

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ , فَلَا صِيَامَ لَهُ

maka satu niat di awal bulan Ramadhan tidak mencukupi untuk niat puasa 30 hari.

Mengapa?

Karena puasa di bulan Ramadhan itu masing-masingnya bagian yang terpisah dari hari sebelum atau sesudahnya. Sehingga apabila pada hari kedua anda belum niat puasa sebelum fajar di hari itu maka puasa anda tidak sah. Meskipun di hari pertama anda telah meniatkan puasa untuk satu bulan.

Inilah pendapat Umar bin al-Khattab, Abdullah bin Umar, al-Hasan al-Bashri, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.9

  1. Niat Puasa Ramadhan Dilakukan di Dalam Hati

Ya, niat puasa Ramadhan hendaknya dilakukan di dalam hati. Bahkan ini juga berlaku pada semua amal ibadah. Sebab jika kita mencari dan meneliti hadits-hadits Nabi, ternyata tidak dijumpai satu hadits shahih pun yang menunjukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum melafadzkan niat dengan lisan.

Al-Imam Abul Ma’ali al-Juwaini asy- Syafi’i10 rahimahullah (w.478H) mengatakan11,

فَأَمَّا الكَلَامُ فِي مَحَلِّ النِّيَّةِ، فَمَحَلُّ النِّيَّةِ القَلْبُ، وَلَا أَثَرَ لِذِكْرِ اللِّسَانِ فِيهِ.

“Terkait pembahasan seputar tempat niat, maka niat itu letaknya dalam hati. Tidak didapati satu hadits pun yang menyebutkan bahwa niat itu terletak di lisan.”

Beliau juga memberikan alasan bahwa niat dalam bahasa arab itu bermakna al-Qoshdu (maksud/tekad), sedangkan tekad itu tempatnya didalam hati.12

Sehingga sudah sepantasnya bagi kita yang menginginkan diterimanya amalan di sisi Allah untuk membangun ibadah di atas bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  1. Keinginan Seseorang untuk Berpuasa Merupakan Niat

Sebagian kita mungkin masih bingung, bagaimana caranya niat dalam hati tanpa diucapkan?

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdilhalim Ibnu Taimiyah (w.728) rahimahullah menerangkan cara tersebut kepada kita13,

كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ. وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ

“Setiap orang yang mengetahui bahwa besok bulan Ramadhan dan dia ingin berpuasa maka dia sudah dianggap berniat. Sama saja apakah dia melafadzkan niat atau tidak. Inilah yang dilakukan keumuman kaum muslimin, mereka semua meniatkan puasa (dengan cara seperti ini)”

Kesimpulannya, yang menjadi tolak ukur seseorang dikatakan telah berniat puasa Ramadhan adalah pengetahuan dan kehendaknya untuk berpuasa, bukan melafadzkan niatnya.

Demikianlah sekilas cara niat puasa Ramadhan yang baik dan benar yang diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk senantiasa meneladani Rasulullah shallallahu `alaihi wa salam dalam setiap gerak-gerik kita, menerima puasa Ramadan yang kita kerjakan dan menjadikannya sebagai pemberat timbangan amal kebaikan kita. Amin. Semoga bermanfaat.

AFQ/ALF

Penulis : Afiq Abqari


 

Footnotes

  1. HR. al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Jami’ li Adabir Rawi (1/317) dan Ibnu Abid Dunnya di dalam al-Ikhlash wa an-Niyah hal. 73 dari ucapan Sufyan ats-Tsauri rahimahullah.
  2. HR. Bukhari no.1 Dan Muslim no.155 di dalam Sahihnya dari Sahabat Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
  3. HR. Bukhari no.1 Dan Muslim no.155 di dalam Sahihnya dari Sahabat Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
  4. HR. ِAbu Dawud no. 2454 di dalam Sunannya dari Sahabat Hafshah radhiyallahu ‘anha. Sahih, lihat al-Irwa’ no. 914.
  5. Lihat Majalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Shalih al-Fawzan Hal. 176. (cet. Darul Furqan)
  6. Lihat al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab (6/299) karya an-Nawawi rahimahullah
  7. Lihat al-Umm (2/104) karya Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
  8. HR. at-Tirmidzi no.734 di dalam Sunannya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. At-Tirmidzi mengatakan; “Hadits Hasan.”
  9. Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud (7/89)
  10. Beliau bernama Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini, seorang ulama bermadzhab Syafi’i kelahiran Naisabur. Para ulama menjulukinya sebagai Imam Haramain (Makkah dan Madinah). Lihat al-A’Lam karya az-Zirakliy rahimahullah.
  11. Lihat Nihayatul Mathlab fii Dirasatil Madzhab (2/120)
  12. Lihat Nihayatul Mathlab fii Dirasatil Madzhab (2/120)
  13. Lihat Majmu’ Fatawa (25/215)
join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *