oleh

Menelisik Aqidah Imam Syafi’i (Bag. 4): Hakikat Tauhid

Menelisik Aqidah Imam Syafi’i (Bag. 4)

Setelah mengetahui aqidah Imam Syafi’i tentang iman, kita beralih kepada pembahasan yang paling penting, yaitu aqidah Imam Syafi’i tentang tauhid. Mengetahui makna dan hakikat tauhid adalah kewajiban terbesar setiap insan. Sebab, tauhid adalah tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Silakan pembaca menelaah berbagai artikel tentang tauhid secara lengkap pada postingan-postingan yang telah lalu.

Hakikat Tauhid Menurut Imam Syafi’i

Bagi Imam Syafi’i rahimahullah tauhid adalah interpretasi dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah). Sehingga hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Hal ini masyhur dengan istilah tauhid uluhiyah.

Imam Syafi’i juga meyakini bahwa tauhid uluhiyah adalah inti ajaran Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya memerangi kaum musyrikin akibat mereka enggan mengimani tauhid ini. Padahal ketika itu mereka mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya yang mencipta dan mengatur alam ini.

Berikut ini kami sebutkan penukilan Imam Syafi’i rahimahullah dari gurunya, Imam Malik rahimahullah tentang tauhid.

Suatu ketika Imam al-Muzani (175 – 264 H) rahimahullah pernah ditanya tentang tauhid, beliau menjawab, aku pernah mendengar Syafi’i berkata, “Imam Malik pernah ditanya tentang kalam dan tauhid. Ia menjawab,

مُحَالٌ أَنْ نَظُنَّ بِالنَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّهُ عَلَّمَ أُمَّتَهُ الاسْتِنْجَاءَ، وَلَمْ يُعَلِّمْهُمُ التَّوْحِيْدَ، وَالتَّوْحِيْدُ مَا قَالَهُ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوا: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (2)) فَمَا عُصِمَ بِهِ الدَّمُ وَالمَالُ، حَقِيْقَةُ التَّوْحِيْدِ.

“Mustahil kita menyangka bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengajarkan tatacara istinja kepada umat tetapi tidak mengajarkan tauhid. Tauhid adalah yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia seluruhnya sampai mereka mengucapkan laa ilaha illallah.” Sehingga yang menyebabkan darah dan harta terjaga (syahadat laa ilaha illallah -ed) itulah hakikat tauhid.”1

Ulama Syafi’iyyah Sepakat Hakikat Tauhid adalah Laa ilaha illallah

Demikian Imam Syafi’i rahimahullah mewarisi ilmu tauhid dari gurunya, Imam Malik dan mewariskannya kepada para muridnya. Bahkan telah menjadi konsensus di kalangan ulama mazhab Syafi’iyyah bahwa makna tauhid adalah syahadat la ilaha illallah. Salah seorang pemuka mazhab Syafi’iyyah, Ibnu Suraij (249 – 306 H)2 rahimahullah menuturkan,

تَوْحِيدُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَتَوْحِيدُ أَهْلِ الْبَاطِلِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ الْخَوْضُ فِي الأَعْرَاضِ وَالأَجْسَامِ، وَإِنَّمَا بُعِثَ النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم – بِإِنْكَارِ ذَلِكَ.

“Tauhidnya ahli ilmu dan jamaah muslimin adalah aku bersyahadat laa ilaha illallah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sementara tauhidnya ahli batil adalah meneliti sukma3 dan raga. Padahal tidak lain Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengingkari hal itu.”4

Utsman ad-Darimi (200 – 280 H)5 juga menyatakan, “Tafsir tauhid menurut ulama dan yang paling benar adalah ucapan laa ilaha illallah tidak ada sekutu bagi-Nya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya, “Barangsiapa mengucapkannya dengan ikhlas akan masuk Surga.” Ia (ad-Darimi) menyatakan, ini adalah tafsir tauhid yang benar menurut para ulama.6

Imam Syafi’i Menolak Ilmu Kalam Dalam Hal Tauhid

Dahulu al-Muzani pernah mempelajari ilmu kalam sebelum berjumpa Imam Syafi’i rahimahullah. Saat berjumpa dengan Syafi’i, al-Muzani menyimpan berbagai unek-unek di dalam hatinya terkait permasalahan tauhid. Hal itu akibat ilmu kalam yang dipelajarinya. Ia berkata kepada Imam Syafi’i,

هَجَسَ فِي ضَمِيرِي مَسْأَلَةٌ فِي التَّوْحِيْدِ، فَعَلِمْتُ أَنَّ أَحَداً لاَ يَعْلَمُ عِلْمَكَ، فَمَا الَّذِي عِنْدَكَ؟

“Terbersit di hatiku sesuatu (unek-unek) tentang tauhid. Aku tahu, tidak ada seorang pun yang mengetahui ilmu anda. Maka tolong sebutkan ilmu yang ada padamu?”

Mendengar hal ini tiba-tiba Imam Syafi’i marah, lalu berkata,”Kamu tahu, di mana sekarang berada?” “Iya”, jawabku. “Di negeri ini Allah menenggelamkan Fir’aun. Apakah pernah tersampaikan kepadamu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh bertanya yang demikian?” kata Syafi’i. Aku menjawab, “Tidak.”

Syafi’i melanjutkan, “Apakah para Sahabat juga membicarakan hal ini?” “Tidak.” jawabku. “Kamu tahu berapa jumlah bintang di langit?” tanyanya lagi. Aku jawab,”Tidak.”

Dan seterusnya, sampai Imam Syafi’i bertanya seputar pemasalahan wudhu’, al-Muzani juga menjawab tidak tahu. Lantas Imam Syafi’i berkata, “Masalah yang kamu perlukan lima kali dalam satu hari saja tidak kamu pelajari. Tetapi kamu justru ingin mengetahui ilmu Allah ketika hal itu terbetik di hatimu? Kembalilah kepada Allah dan kepada firman-Nya,

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (163) إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)

“Ilah kalian adalah ilah yang satu. Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Dia (Allah) ar-Rahman, ar-Rahim. Sungguh diciptakannya langit-langit dan bumi, bergantinya malam dan siang, kapal-kapal yang berlayar di lautan dan membawa manfaat bagi manusia, juga air (hujan) yang Allah turunkan sehingga Allah tumbuhkan bumi dengannya setelah tadinya mati (kering), lalu Allah sebarkan segala jenis binatang, serta angin yang dihembuskan dan awan yang diatur antara langit dan bumi, itu semua merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah: 163-164)

Karenanya, jadikanlah makhluk sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan jangan kamu memaksakan diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akalmu.” Pungkas Syafi’i.

Setelah itu al-Muzani mengatakan, “Aku bertobat sekarang.”7

Dari kisah di atas, nampak jelas bahwa Imam Syafi’i tidak setuju membicarakan tauhid dengan ilmu kalam. Sebab ilmu tauhid adalah ilmu tentang Allah, maka tidak bisa dipelajari kecuali dengan petunjuk dari Allah. Sementara ilmu kalam hanya bersandar kepada akal pikiran semata.

Masih banyak penuturan Imam Syafi’i berkaitan dengan ilmu kalam. Semoga Allah memudahkan penulis untuk membahas secara khusus tentang hal ini.

Demikian kiranya sekelumit nukilan dari Imam Syafi’i dan Ulama Syafi’iyyah tentang tauhid. Pada beberapa artikel ke depan insyaAllah kita akan mengupas satu per satu berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tauhid. Semoga Allah memberi taufik kepada penulis dan pembaca untuk sabar menelisik aqidah Imam Syafi’i tentang tauhid. Amin. FAI-HKM


1Lihat Siyar A’lam an-Nubala (10/26) karya Imam adz-Dzahabi rahimahullah.

2Beliau bernama Ahmad bin ‘Amer bin Suraij. Berguru kepada Abul Qasim al-Anmathi, murid Imam al-Muzani.

3 Demikian kami mengistilahkannya dengan sukma. Kata الأَعْرَاضِ dan الأَجْسَامِ di sini adalah istilah dalam ilmu kalam. Makna sukma yang kami maksud adalah perkara maknawi yang ada di dalam raga dan tidak bisa digambarkan dengan bentuk. contohnya, perasaan gembira, sedih dan sebagainya. Berbagai perasaan itu tidak ada wujudnya, akan tetapi bisa merasuk ke dalam raga. Sehingga sukma tidak akan lepas dari raga. Lihat ad-Durar as-Saniyyah (2/252).

4Lihat al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah (1/107) karya Qiwamus Sunnah al-Asbahani.

5Nama lengkap beliau Utsman bin Sa’id bin Khalid ad-Darimi, pernah belajar fikih dari al-Buwaithi, salah satu murid Imam Syafi’i. Silakan lihat biografi beliau dalam Siyar A’lam an-Nubala (13/319).

6Dicuplik dan diterjemahkan dari ‘Aqidatu al-Imam asy-Syafi’i (hlm. 12).

7Disadur dari Siyar A’lam an-Nubala’ (10/31), teks asli sebagai berikut,

فَغَضِبَ، ثُمَّ قَالَ: أتَدْرِي أَيْنَ أَنْتَ؟

قُلْتُ: نَعَمْ.

قَالَ: هَذَا المَوْضِعُ الَّذِي أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ.

أَبَلَغَكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَأَمَرَ بِالسُّؤَالِ عَنْ ذَلِكَ؟

قُلْتُ: لاَ.

قَالَ: هَلْ تَكَلَّمَ فِيْهِ الصَّحَابَةُ؟

قُلْتُ: لاَ.

قَالَ: تَدْرِي كَمْ نَجْماً فِي السَّمَاءِ؟

قُلْتُ: لاَ.

قَالَ: فَكَوْكَبٌ مِنْهَا: تَعْرِفُ جِنْسَهُ، طُلُوْعَهُ، أُفُولَهُ، مِمَّ خُلِقَ؟

قُلْتُ: لاَ.

قَالَ: فَشَيْءٌ تَرَاهُ بِعَيْنِكَ مِنَ الخَلْقِ لَسْتَ تَعْرِفُهُ، تَتَكَلَّمُ فِي عِلْمِ خَالِقِهِ؟!

ثُمَّ سَأَلَنِي عَنْ مَسْأَلَةٍ فِي الوُضُوْءِ، فَأَخْطَأْتُ فِيْهَا، فَفَرَّعَهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ، فَلَمْ أُصِبْ فِي شَيْء مِنْهُ.

فَقَالَ: شَيْءٌ تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ خَمْسَ مَرَّاتٍ، تَدَعُ عِلْمَهُ، وَتَتَكَلَّفُ عِلْمَ الخَالِقِ، إِذَا هَجَسَ فِي ضَمِيرِكَ ذَلِكَ، فَارْجِعْ إِلَى اللهِ، وَإِلَى قَوْلِهِ تعَالَى: {وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْم إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ … } الآيَةَ [البَقَرَةُ: 163 و164] فَاسْتَدِلَّ بِالمَخْلُوْقِ عَلَى الخَالِقِ، وَلاَ تَتَكَلَّفْ عِلْمَ مَا لَمْ يَبْلُغْهُ عَقْلُكَ.

قَالَ: فَتُبْتُ