oleh

Menelisik Aqidah Imam Syafi’i (Bag. 1)

Mengenal Imam Syafi’i rahimahullah sebagai sosok panutan umat adalah hal yang penting. Sebab, dengan mengenali seluk beluk kehidupan beliau akan diperoleh banyak  wawasan ilmu agama dalam berbagai bidangnya. Diantaranya pada bidang aqidah dan keyakinan seseorang tentang berbagai perkara.

Oleh karena itu, melalui tulisan ringkas berikut kami akan mencoba menelisik aqidah Imam Syafi’i rahimahullah berdasarkan referensi yang sanggup kami hadirkan.

Sebelum memulai topik pembahasan, ada baiknya kita mengenal biografi Imam Syafi’i dan sekelumit tentang kehidupan beliau mulai dari masa kecilnya hingga akhir hayatnya.

Biografi Ringkas Imam Syafi’i

Beliau bernama Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib; Abu Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki.

Berdasarkan nasab di atas Imam Syafi’i satu garis keturunan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena al-Muthalib adalah saudara Hasyim bin Abdu Manaf, orang tua dari kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abdul Muthalib. Sehingga garis keturunan beliau bertemu pada kakek ketiga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abdu Manaf.

An-Nawawi (631 – 676 H) rahimahullah menyebutkan, “Syafi’i rahimahullah berasal dari kabilah Quraisy, dari keluarga al-Muthalib. Semua kalangan ahli hadits menyepakati hal ini. Sedangkan Ibunya berasal dari Kabilah Azdi.”

Beliau masyhur dengan nama Syafi’i, nisbat kepada nama kakek keempat beliau bernama Syafi’ bin as-Sa’ib. Syafi’ adalah salah seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Kelahiran dan Tumbuh-kembang Imam Syafi’i

Pakar sejarah sepakat bahwa Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Al-Hakim (285 – 378 H) rahimahullah menyebutkan, hal ini seakan menjadi tanda bahwa Syafi’i yang akan menggantikan posisi Abu Hanifah dalam disiplin ilmu yang beliau tekuni.[2]

Adapun tempat kelahiran beliau, menurut Ibnu Hajar (773 – 852 H) rahimahullah, Syafi’i lahir di Ghaza, Palestina kemudian hijrah ke Hijaz (Makkah).[3]

Imam Syafi’i tumbuh di tengah keluarga yang sederhana dalam keadaan yatim. Selain itu beliau jauh dari keluarga besarnya yang berada di Makkah. Oleh karenanya, Ibunya berinisiatif membawa Syafi’i ke Hijaz karena khawatir terpisah dari keluarganya dan hilang nasabnya.

Meski hidup sederhana, hal itu tidak menyurutkan semangat Imam Syafi’i untuk menuntut ilmu agama. Bahkan sedari kecil beliau sudah memulai aktivitas thalabul ilmi.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah menuturkan,

“Aku hidup dalam keadaan yatim di bawah asuhan Ibuku. Ketika itu Ibuku tidak memiliki harta apapun. Dahulu guruku senang jika aku menggantikannya ketika beliau pergi. Tatkala aku telah menyelesaikan Al Quran, aku sering datang ke Masjid untuk menghadiri majelis para ulama, hingga aku menghafal hadits dan berbagai permasalahan agama. Aku tinggal di daerah Khaif. Waktu itu aku mencatat ilmu di atas tulang-belulang. Jika telah menumpuk aku menyimpannya di dalam bejana yang besar.”[4]

Di kesempatan lain beliau berkata,

“Aku sampai di kota Makkah saat menginjak usia sepuluh tahun. Aku segera menuju ke rumah salah seorang sanak familiku. Ketika ia melihatku sibuk menuntut ilmu, ia berujar, ‘Jangan tergesa-gesa menuntut ilmu, carilah penghasilan terlebih dahulu!’ Akan tetapi tidak ada yang lebih nikmat bagiku dibandingkan ilmu. Hingga Allah mengaruniakan rezki yang banyak untukku.” [5]

Guru-guru Imam Syafi’i

Dari Makkah: Sufyan bin ‘Uyainah (107 – 198 H), Ibnu Abi Mulaikah (w. 117 H), Ismail bin Abdillah al-Muqri, Muslim bin Khalid az-Zanji (w. 179 H), dan lainnya.

Dari Madinah: Imam Malik bin Anas (93 – 179 H), Ibrahim bin Sa’ad bin Abdurrahman bin ‘Auf (109 – 184 H), Abdul Aziz ad-Darawardi, dan lainnya.

Dari daerah-daerah lain: Hisyam bin Yusuf ash-Shan’ani (w. 197 H), Mutharif bin Mazin , Waki’ bin al-Jarrah (129 – 197 H), Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, dan lainnya.

Murid-murid Imam Syafi’i

Diantaranya: Rabi’ bin Sulaiman (174 – 270 H), Ismail bin Yahya al-Muzani (175 – 264 H), Imam al-Laitsi (94 – 175 H), Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231), dan lainnya.

Karya Tulis Imam Syafi’i

Karya beliau yang terpopuler adalah kitab al-Umm dan ar-Risalah.

Akhir Hayat Imam Syafi’i

Di akhir hayatnya Imam Syafi’i masih sibuk menggeluti ilmu syar’I, baik melalui dakwah secara lisan atau karya tulis. Hingga beliau mengidap penyakit bawasir. Namun, penyakit tersebut tidak beliau hiraukan dan tetap melanjutkan aktivitas ilmiahnya. Sampai pada akhirnya beliau wafat di negeri Mesir pada tahun 203 H dan dikebumikan di sana.

Salah seorang murid beliau, Imam al-Muzani (w. 264) rahimahullah mengisahkan akhir hayatnya, “Aku menjenguk Imam Syafi’i ketika sakit mejelang kematiannya. Akupun bertanya, bagaimana kabar anda Ustadz?”

Beliau menjawab, “Aku akan pergi meninggalkan dunia, berpisah dengan saudara-saudaraku. Sepertinya kematian akan menjemputku, berjumpa dengan Allah, dan bertemu dengan segala amal burukku. Demi Allah, aku tidak tahu apakah rohku berada di surga sehingga aku gembira karenanya; atau berada di neraka sehingga aku berbelasungkawa atasnya.”

Kemudian Syafi’i rahimahullah mengucapkan bait syair,

Kepada-Mu, Ilah para makhluk, aku gantungkan harapanku,

meski aku seorang pendosa, Wahai yang Maha Mengampuni lagi Dermawan.

Tatkala hatiku mengeras dan jalanku menyempit,

tersisa harapan untuk menggapai ampunan-Mu agar aku selamat.

Betapa besar dosaku tetapi tatkala aku membandingkannya

dengan ampunan-Mu, Wahai Rabbku ternyata tidak ada bandingannya.

Selamanya Engkau Maha Pengampun dari segala dosa dan selalu

berbuat derma dan memaafkan sebagai karunia dan kemuliaan.

Kalau bukan karena karunia dan pertolongan-Mu, tidak ada seorang hamba yang mampu melawan Iblis

Tetapi ternyata ia telah mengelabui Adam manusia pilihan-Mu.

Jikalau Engkau memberiku ampunan, berarti Engkau telah mengampuni

seorang pembangkang, senantiasa berbuat dzalim, kelaliman dan kesalahan.

Seandainya Engkau menghukumku, maka aku tidak berputus asa.

Sekiranya Engkau masukkan diriku ke dalam Jahannam karena dosaku,

memang dosaku amat besar sejak dahulu hingga sekarang.

Tetapi ampunan-Mu yang Maha Pengampun, jauh lebih besar.[6]

Demikian sekelumit biografi Imam Syafi’i rahimahullah. Pada kesempatan berikutnya insyaAllah akan kami paparkan lebih lanjut mengenai metode beliau dalam membangun aqidah. Semoga Allah memudahkan penulis dan pembaca sekalian untuk menelisik aqidah Imam Syafi’i rahimahullah, serta memberi taufik kepada kita kepada jalan yang lurus.

Penulis: Fahri Abu Ilyas


[1] Lihat Siyar A’lam an-Nubala, karya adz-Dzahabi (5/10)

[2] Tawali at-Ta’sis karya Ibnu Hajar, hlm 52.

[3] Idem.

[4] Tawali at-Ta’sis, hlm. 54

[5] Idem, hlm 53

[6] Manaqib karya al-Baihaqi (2, hlm 293-294), Adab asy-Syafi’i (hlm 77), Diwan asy-Syafi’i (hlm 76).

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *