oleh

Larangan Buang Hajat Menghadap Kiblat Atau Membelakanginya

Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang mengatur pemeluknya dalam segala aspek kehidupan. Tentunya yang demikian, demi kemaslahatan kaum muslimin itu sendiri. Tak luput darinya perkara buang hajat, Islam telah mengaturnya sedemikian sempurnanya.

Dalam sebuah hadits shahih dikisahkan, suatu ketika datang seorang musyrik kepada shahabat Salman al-Farisi, kemudian bertanya, ’’Apakah Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai pada perkara buang hajat?’’ Maka Salman pun menjawab, ‘’Tentu, Nabi kami telah melarang untuk menghadap kiblat saat buang air kecil maupun buang air besar, melarang kami untuk istinja’ (cebok) menggunakan tangan kanan, beristijmar dengan batu kurang dari tiga buah batu, dan melarang kami untuk beristijmar dengan kotoran yang telah kering dan tulang.’’ (HR. Muslim no. 262)

Dalil tentang larangan buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya

Dari shahabat Abu Ayyub al-Anshary, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ، فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ، وَلَا بَوْلٍ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا ثُمَّ قَالَ أَبُو أَيُّوبَ: فَقَدِمْنَا الشَّامَ، فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ بُنِيَتْ عِنْدَ الْقِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

‘’Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat maka janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya baik itu buang air besar maupun kecil, akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau barat. Kemudian berkata Abu Ayyub, ‘’Kami mendatangi negeri Syam dan kami mendapati tempat buang hajat dibangun menghadap kiblat, maka kamipun berpaling (dari kiblat ketika buang hajat) dan meminta ampun kepada Allah.’’ (HR. al-Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)

Pada lafadz, ((فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلَا غَائِطٍ)) “Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya, baik itu buang air besar maupun air kecil.” Lafadz ini mencakup setiap negeri di tempat manapun.

Adapun lafadz, ((وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا)) “Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau barat.” Ini khusus untuk penduduk madinah dan yang kondisinya sama, ketika menghadap timur dan barat berarti tidak menghadap dan membelakangi kiblat.

Pada hadits di atas terdapat larangan secara umum untuk membuang hajat menghadap atau membelakangi kiblat baik itu di dalam bangunan maupun di luar bangunan, karena pada hadits ini tidak ada rincian. Akan tetapi terdapat hadits dari shahabat Abdullah bin Umar beliau berkata,

رَقِيْتُ يَوْماً عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ , فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الشَّامَ , مُسْتَدْبِرَ الْكَعْبَةَ

‘’Suatu hari aku memanjat rumah saudariku Hafsah, tiba-tiba aku melihat Nabi menunaikan hajatnya menghadap Syam, yakni membelakangi ka’bah.’’ (HR. al-Bukhari no. 148 dan Muslim no.266)

Apakah terjadi pertentangan dari dua hadits di atas?

Kedua hadits di atas seakan-akan terjadi pertentangan terkait membuang hajat ketika membelakangi kiblat. Di sana terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

Pendapat pertama: Boleh secara mutlak, karena hadits Ibnu Umar menghapus hadits Abu Ayyub al-Anshary.

Pendapat kedua: Tidak boleh jika di luar bangunan dan boleh jika di dalam bangunan. Mereka menggabungkan antara hadits Abu Ayyub dan Ibnu Umar. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ahmad an-Najmi, Syaikh Shalih al-Fauzan, dan Lajnah Daimah.

Pendapat ketiga: Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin, yaitu dilarang secara mutlak kecuali satu kondisi yaitu membelakangi kiblat. Beliau beralasan karena dalam hadits Ibnu Umar hanya disebutkan membelakangi dan membelakangi kiblat tidak bisa dikiaskan dengan menghadap kiblat. Kias itu dipersyaratkan harus sama antara kias dan yang dikiaskan. Menghadap kiblat saat buang hajat itu lebih buruk daripada membelakanginya.1

Pendapat keempat: Dilarang secara mutlak, karena hadits Abu Ayyub berupa ucapan dan hadits Ibnu Umar berupa perbuatan. Hadits yang berupa ucapan lebih di dahulukan daripada perbuatan. Kemudian Ibnu Umar tidak ada maksud saat melihat Rasulullah buang hajat dan Rasulullah tidak memaksudkan pula untuk memperlihatkan pada siapapun. Padanya terdapat kemungkinan bahwa perbuatan Rasulullah tersebut merupakan kekhususan bagi beliau. Jika berlaku untuk umatnya tentu beliau menjelaskanya. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibrahim an-Nakhai. Ini yang dikuatkan Syaikh Ibnu Daqiq al-Ied, Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu-Syaikh dan Syaikh al-Albani. Dan pendapat keempat inilah yang lebih kuat dan lebih berhati-hati. Wallahua’lam.2

Permasalahan

Lalu apa yang harus di lakukan apabila tempat buang hajat terlanjur di bangun menghadap kiblat? Solusinya adalah cukup dengan merubah arah kakus (WC) dari kiblat jika memungkinkan dan jika tidak memungkinkan maka kakus tersebut dibiarkan tetap pada posisinya akan tetapi ia berpaling dari kiblat saat buang hajat.3

Hikmah Dilarangnya Perkara Tersebut

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membimbing kita ketika buang hajat, yaitu agar tidak menghadap atau membelakangi kiblat karena ka’bah adalah tempat yang mulia lagi suci. Begitu pula merupakan kiblat shalat kaum muslimin, maka menjadi keharusan bagi kita untuk berpaling darinya saat buang hajat.4 Wallahua’alam. ILY


1 Lihat fathu dzil jalali wal ikram hal.530

2 Tahqiq taisirul alam hal.47 cetakan Daar ibnul Jauzi.

3 Syarh umdatil ahkam karya ibnu Utsaimin hal. 152.

4 Taisirul alam syarh umdatul ahkam karya Abdullah Alu Bassam

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *