oleh

Kronologi Dimasukkannya Kuburan Nabi ke dalam Masjid Nabawi

Keberadaan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di area Masjid Nabawi menjadi polemik bagi sebagian kaum muslimin. Sebab, jika menilik kepada hadits-hadits yang sahih, beliau telah melarang dengan keras untuk menjadikan kuburan sebagai masjid atau sebaliknya. Silakan merujuk artikel kami berjudul: Larangan Menjadikan Kubur Sebagai Masjid.

Lantas bagaimana halnya dengan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hari ini jelas-jelas kita saksikan berada di salah satu dari tiga masjid yang paling mulia di muka bumi ini? Tentu butuh telaah dan penelitian lebih lanjut dengan merujuk kepada penjelasan para ulama. Untuk itu kami mencoba kilas balik kronologi awal mula dimasukkannya kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam bangunan Masjid.

Harapannya keterangan ringkas yang akan kami paparkan ini menjadi pembuka wawasan bagi para pembaca sekalian, sehingga bisa menilai dengan adil dan di atas sikap ilmiah.

Kesepakatan Sahabat, Nabi Dimakamkan di Rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha

Mula-mula kami paparkan terlebih dahulu kronologi pemakaman Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah/kamar Aisyah radhiyallahu ‘anha. Proses pemakaman ini melalui musyawarah para pemuka Sahabat yang mulia dan telah disepakati bersama. Turut hadir dalam musyawarah itu Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin al-Khathab dan Sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.

Disebutkan di dalam sebuah riwayat dari Imam Hasan al-Bashri rahimahullahu menyatakan, “Para Sahabat ketika itu berunding agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di Masjid. Maka Aisyah radhiyallahu ‘anha mengemukakan, ‘Sempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kepala beliau di pangkuanku bersabda:

“Semoga Allah membinasakan kaum-kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”

Karena itu para Sahabat sepakat satu pendapat untuk memakamkan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat beliau wafat, yaitu di rumah Aisyah.”1

Melalui keterangan di atas, pembaca dapat mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hakekatnya dimakamkan di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, tempat beliau menghembuskan nafas terakhir. Bukan di dalam Masjid Nabi yang bersebelahan dengan rumah Aisyah. Hal itu dilakukan karena khawatir kuburan beliau dijadikan masjid, sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah di hadits yang lain:

“Sekiranya bukan karena hal itu, tentu kubur Nabi sudah ditampakkan, akan tetapi beliau khawatir kuburannya dijadikan sebagai masjid.”2


Baca Juga: Aqidah Tauhid adalah Intisari Dakwah Seluruh Nabi


Sejarah Perluasan Masjid Nabawi

Di fase berikutnya, Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami perluasan lantaran jumlah kaum muslimin yang meningkat pesat. Perluasan Masjid terus dilakukan dari masa ke masa. Sayangnya perluasan tersebut kurang memperhatikan sisi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di rumah Aisyah.

Sampai pada masa kepemimpinan al-Walid bin Abdul Malik, perluasan itu mengenai rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, sehingga kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk di dalam area perluasan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam ath-Thabari rahimahullahu, “Pada masa itu (tahun 88 H) al-Walid bin Abdul Malik memerintahkan untuk merenovasi Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta rumah istri-istri Beliau dan dimasukkan menjadi satu di dalam Masjid.”3

Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Ketika para Sahabat radhiyallahu ‘anhum4 dan Tabi’in ingin memperluas Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena jumlah kaum muslimin yang semakin banyak, maka perluasan itu berkonsekuensi dimasukkannya rumah-rumah Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi), termasuk kamar Aisyah radhiyallahu ‘anha tempat dikuburnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar.”5


Baca Juga: Inilah Sejarah Penulisan al-Quran


Masuknya Kuburan Nabi Setelah Wafatnya Para Sahabat

Perlu pembaca ketahui, bahwa dimasukkannya kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi bukan dengan persetujuan dari para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, apalagi dikatakan ijma’. Bahkan, kemungkinan besar para Sahabat tidak mendapati masa itu. Karena hampir mayoritas Sahabat yang berada di Madinah ketika itu diperkirakan telah wafat.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi rahimahullahu menyatakan, “Dimasukkannya kamar Aisyah ke dalam Masjid terjadi pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik, setelah mayoritas Sahabat yang berada di Madinah meninggal.”6

Jikalau para Sahabat masih ada ketika itu, tentu mereka akan mengingkari dan mengingatkan al-Walid agar tidak melakukan perluasan ke arah kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, dimasukkannya kuburan ke dalam masjid jelas merupakan kemungkaran yang nyata. Telah kita lalui keterangan hadits tentangnya yang diriwayatkan oleh para Sahabat itu sendiri di Madinah.

Sempat dikemukakan oleh Ibnu Katsir bahwa Sa’id bin al-Musayib mengingkari hal ini. Ibnu Katsir menyebutkan, “Pernah diceritakan bahwa Sa’id bin al-Musayib mengingkari dimasukkannya kamar Aisyah ke dalam Masjid. Sepertinya beliau khawatir hal itu termasuk menjadikan kuburan sebagai masjid.”7


Baca Juga: Cuplikan Sejarah Pandemi (Wabah Penyakit) dalam Dunia Islam


Dibangun 3 Dinding Tinggi Mengitari Kuburan Nabi

Jika pembaca memperhatikan, tindakan al-Walid bin Abdul Malik ini berseberangan dengan maksud dan tujuan para sahabat di awal kali memakamkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah Aisyah. Yaitu agar kuburan beliau tidak dijadikan masjid, sebagaimana kami terangkan di muka.

Meski demikian, masih ada upaya untuk menyiasati kondisi ini, yaitu dengan dibangun dinding tinggi menjulang yang mengitari tiga kuburan tersebut sehingga tidak terlihat dari Masjid. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullahu:

“Mereka membangun dinding tinggi mengitari kuburan tersebut supaya tidak terlihat dari Masjid, agar tidak ada celah bagi orang awam untuk shalat menghadap ke arahnya yang berakibat menerjang larangan (shalat ke arah kuburan –pen). Kemudian mereka membangun dua dinding antara dua tepi kuburan bagian utara dan memiringkannya hingga berhimpitan. Sehingga tidak ada kemungkinan lagi ada yang bisa menghadap kuburan.

Oleh karenanya disebutkan di dalam hadits: kalau bukan karena itu, tentu kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ditampakkan, akan tetapi beliau khawatir kuburannya dijadikan sebagai masjid. Wallahu a’lam bish shawab.”8

Dengan adanya dinding yang mengitari dan posisi bangunan yang diatur sedemikian rupa, maka dapat menutup celah dari diagung-agungkannya kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan di luar batas syariat. Ini merupakan bukti dikabulkannya doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اللهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala (yang disembah dan diagung-agungkan –pen). Semoga Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”9

Upaya Arab Saudi untuk Menghindarkan Kesyirikan

Adapun di zaman kita sekarang, patut disyukuri kerjasama Negara Arab Saudi di dalam mengemban amanah pengurusan Masjid Nabawi ini. Terutama dalam hal penjagaan syariat dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalamnya.

Jika anda pergi ke Masjid Nabawi dan berkesempatan berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua Sahabatnya, maka anda akan mendapati bahwa kuburan tersebut dijaga ketat oleh para tentara/kepolisian Saudi yang bertugas. Tidak diberi kesempatan untuk melakukan tindakan yang menyelisihi syariat terhadap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik untuk sujud ke arahnya atau berdoa di dekat makamnya, serta amalan lainnya yang tidak ada tuntunannya.

Maka upaya Arab Saudi untuk menghindarkan umat dari berbagai bentuk kesyirikan sangat patut diapresiasi dan diacungi jempol. Semoga Allah menjaga dan mengokohkan Negara Arab Saudi dan menunjukkan kaum muslimin kepada hidayah dan taufik-Nya.

Demikian sekelumit pembahasan tentang kronologi dimasukkannya kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Masjid. FAI-IWU

Penulis : Fahri Abu Ilyas

Referensi :

  • Syarah Shahih Muslim, karya Imam an-Nawawi.
  • Tarikh ath-Thabari, karya Imam Ibnu Jarir ath-Thabari
  • Tahdzir as-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, karya Muhammad Nashirudin

 

Footnotes


  1. HR. Ibnu Sa’ad (2/241), sahih. Lihat Tahdzir as-Sajid (hlm. 37)

    ائتمنروا أن يدفنوه صلى الله عليه وسلم في المسجد فقال عائشة: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان واضعا رأسه في حجري إذ قال: قاتل الله أقواما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد واجتمع رأيهم أن يدفنوه حيث قبض في بيت عائشة


  2. HR. Al-Bukhari no. 1339 di dalam Shahihnya.

    عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ: «لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»، لَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَوْ خُشِيَ أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا

     

  3. Tarikh ath-Thabari (6/ 435)

    وفيها أمر الوليد بن عبد الملك بهدم مسجد رسول الله ص وهدم بيوت ازواج رسول الله ص وإدخالها في المسجد

  4. Pernyataan Imam an-Nawawi rahimahullahu ini perlu digarisbawahi. Karena di masa itu mayoritas sahabat sudah wafat, dan perluasan itu tidak melalui persetujuan para Sahabat. Sebagaimana nanti kami terangkan.
  5. Syarah Shahih Muslim (5/ 13)

    ولما احتاجت الصَّحَابَةُ رِضْوانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ وَالتَّابِعُونَ إِلَى الزِّيَادَةِ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَثُرَ الْمُسْلِمُونَ وَامْتَدَّتِ الزِّيَادَةُ إِلَى أَنْ دَخَلَتْ بُيُوتُ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ فِيهِ وَمِنْهَا حُجْرَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مَدْفِنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَيْهِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

  6. Ash-Sharim al-Munki (hlm. 136), dinukil dari Tahdzir as-Sajid (hlm. 79)

    وإنما أدخلت الحجرة في المسجد في خلافة الوليد بن عبد الملك بعد موت عامة الصحابة الذين كانوا بالمدينة

  7. Tarikh Ibnu Katsir (9/75), dinukil dari Tahdzir as-Sajid (hlm. 82)

    ويحكى أن سعيد بن المسيب أنكر إدخال حجرة عائشة في المسجد كأنه خشي أن يتخذ القبر مسجدا

  8. Syarah Shahih Muslim (5/ 14)

    بَنَوْا عَلَى الْقَبْرِ حِيطَانًا مُرْتَفِعَةً مُسْتَدِيرَةً حَوْلَهُ لِئَلَّا يَظْهَرَ فِي الْمَسْجِدِ فَيُصَلِّيَ إِلَيْهِ الْعَوَامُّ وَيُؤَدِّي الْمَحْذُورَ ثُمَّ بَنَوْا جِدَارَيْنِ مِنْ رُكْنَيِ الْقَبْرِ الشَّمَالِيَّيْنِ وَحَرَّفُوهُمَا حَتَّى الْتَقَيَا حَتَّى لَا يَتَمَكَّنَ أَحَدٌ مِنِ اسْتِقْبَالِ الْقَبْرِ وَلِهَذَا قَالَ فِي الحديث ولولا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

  9. HR. Ahmad no. 7358, dari Sahabat Abu Hurairah, sahih. Lihat takhrij : Tahdzir as-Sajid (hlm. 25)