oleh

Kisah An-Najasyi, Raja Habasyah yang Beriman

An-Najasyi merupakan gelar untuk raja negeri Habasyah, sebuah negeri yang sekarang dikenal dengan nama Ethiopia. Sama halnya dengan Kisra, sebuah gelar yang disematkan bagi penguasa Persia. Al-Muqauqis merupakan sebutan untuk raja di negeri al-Iskandariyah, Mesir sedangkan penguasa Romawi dijuluki dengan Kaisar.1

Beliaulah seorang an-Najasyi yang hidup di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menggoreskan sejarah indah dalam perjuangan awal kaum muslimin. Beliau adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Beliau tidak rela jika ada pihak yang terzalimi di wilayah kekuasaannya. Jasa beliau dalam menolong kaum muslimin akan selalu dikenang oleh generasi setelahnya. Kisah beliau telah tersusun rapi di kitab-kitab sirah para ulama.

Nama An-Najasyi

Beliau bernama Ashhamah bin al-Abjar rahimahullah2. Beliau termasuk al-mukhadram, yaitu orang yang beriman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya namun tidak pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah berkata,

“Al-Mukhadram menurut pakar hadits adalah orang yang beriman kepada Nabi, hidup di zaman beliau namun tidak pernah berjumpa dengannya. Seperti an-Najasyi, raja Habasyah yang masuk Islam di zaman Rasulullah. Nabi menjulukinya sebagai saudaranya para sahabat, seorang yang shalih, dan dikenal dengan kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya di Madinah dengan shalat gaib.”3

Hijrahnya Para Sahabat ke Bumi Habasyah

Penindasan dan intimidasi terus dilakukan kaum musyrikin terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka berusaha menghancurkan tauhid dan keimanan yang telah menancap kokoh di relung sanubari kaum muslimin.

Menyaksikan hal itu, Nabi mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Beliau merasa kasihan kepada para sahabat yang tertindas dan mendapat berbagai perlakuan tak menyenangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ مَلِكًا لَا يُظْلَمُ أَحَدٌ عِنْدَهُ، فَالْحَقُوا بِبِلَادِهِ حَتَّى يَجْعَلَ اللهُ لَكُمْ فَرَجًا وَمَخْرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ

“Sungguh di negeri Habasyah terdapat seorang raja yang tidak ada seorang pun terzalimi di sisinya, maka pergilah kalian ke negerinya hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan jalan keluar terhadap apa yang menimpa kalian. “4

Setiba di negeri Habasyah, para sahabat pun akhirnya mendapat kemanan dan ketenangan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menyatakan:

لَمَّا نَزَلْنَا أَرْضَ الْحَبَشَةِ,جَاوَرْنَا بِهَا خَيْرَ جَارِ النَّجَاشِي,أَمِنَّا عَلَى دِيْنِنَا,وَعَبَدْنَا اللهَ تَعَالَى,لَا نُؤْذِيْ,وَلَا نَسْمَعُ مَا نَكْرَهُ

“Ketika kami tiba di bumi Habasyah, kami tinggal bersama tetangga yang terbaik yaitu an-Najasyi. Kami merasa aman dalam beragama, kami beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa terusik, kami tidak pernah mendengar sesuatu yamg tidak kami sukai.”5

Utusan Kaum Musyrikin

Mendengar kaum muslimin hidup tenang dan tenteram di negeri seberang, kaum musyrikin pun meradang. Segera kobaran api permusuhan tersulut di dada-dada mereka. Diutuslah dua orang pilihan yang cerdas dan ahli diplomasi, yaitu Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amr bin al-Ash.

Sebelum menemui raja, utusan musyrikin Quraisy itu mendatangi para pimpinan dan perdana menteri. Tidak ada satu pun komandan pasukan an-Najasyi melainkan pasti diberi hadiah oleh kedua delegasi itu. Tujuannya agar para petinggi militer itu mendukung dan memuluskan rencana mereka.

Sampailah mereka berdua di hadapan sang raja. Setelah mempersembahkan hadiah yang banyak barulah mereka berbicara kepada sang raja,”Wahai baginda raja, sesungguhnya telah berlindung di negeri anda ini sekelompok anak muda yang bodoh yang telah keluar dari agama mereka dan tidak pula menganut agamamu. Mereka telah mengadakan agama yang mereka buat, yang kami dan juga engkau tidak mengenalnya. Sesungguhnya kami diutus menghadapmu untuk menangani mereka oleh para pemuka kaum mereka. Baik itu ayah mereka, paman, maupun keluarganya agar engkau bisa mengembalikan para pemuda itu. Kehormatan mereka lebih tinggi dari anak-anak muda itu dan mereka lebih tahu apa yang telah anak-anak muda itu cela.”6 Akhirnya pernyataan delegasi Quraisy itu didukung para petinggi militer sesuai rencana.

Sikap Adil Sang Raja

Mendengar pernyataan delegasi Quraisy, an-Najasyi pun menanggapi,

لَا هَا الله إِذَنْ لَا أُسَلِّمُهُمْ إِلَيْهِمَا,وَلَا يَكَادُ قَوْمٌ جَاوَرُوْنِيْ,وَنَزَلُوْا بِلَادي,وَاخْتَارُوْنِيْ عَلَى مَنْ سِوَاي,حَتَّى أَدْعُوْهُمْ فَأَسْأَلُهُمْ عَمَّا تَقُوْلَاني

“Tidak demi Allah, aku tidak akan menyerahkannya (kaum muslimin) kepada mereka berdua. Aku tidak akan melakukan tindak kejahatan kepada suatu kaum yang bertetangga denganku, tinggal di negeriku dan telah memilihku daripada yang lain, hingga aku memanggil mereka dan menanyakan tentang perkataan kedua utusan ini mengenai mereka.”7

Inilah an-Najasyi, seorang raja yang cerdas. Beliau tidak teburu-buru mengambil sikap dalam menangani suatu permasalahan. Ia tahu harus mendengarkan permasalahan ini dari kedua belah pihak, sampai jelas baginya mana yang benar.

Dialog Raja dan Kaum Muslimin

An-Najasyi pun memanggil kaum muslimin dan bertanya kepada mereka,

“Agama apa yang telah memisahkan kalian dari kaum kalian padahal kalian juga tidak masuk ke dalam agamaku dan juga bukan agama seseorang dari sekian agama yang ada?”

Ja’far bin Abi Thalib sebagai perwakilan kaum muslimin tampil menjawab pertanyaan Sang Raja. Ja’far berkata,

“Wahai baginda raja, kami sebelumnya adalah kaum jahiliah, kami dahulu menyembah berhala, gemar memakan bangkai, melakukan berbagai tindakan keji, memutus tali silaturahmi dan bersikap buruk kepada tetangga. Pihak yang kuat memakan yang lemah. Kami terus berada dalam kondisi seperti itu hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang rasul dari kalangan kami .Kami mengenal nasab, kejujuran, sikap amanah dan sikap ‘iffahnya (menjaga kehormatan). Dia menyeru untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami lepaskan apapun yang kami dan nenek moyang kami sembah selain Allah seperti batu dan berhala. Dia memerintahkan kami agar mengucapkan perkataan jujur, menunaikan amanah, menyambung tali silaturahmi, bersikap baik kepada tetangga, menjaga diri dari keharaman dan menumpahkan darah, melarang kami dari perbuatan-perbuatan keji, berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik melakukan perbuatan zina. Dia memerintahkan kami agar menunaikan shalat, zakat dan berpuasa.

Kemudian kaum kami memusuhi kami. Mereka menyiksa dan menimpakan ujian karena agama kami. Tujuan mereka adalah mengembalikan kami kepada peribadatan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghalalkan hal-hal buruk yang dulu pernah kami lakukan. Saat mereka memaksa kami, mereka menghalangi kami untuk menjalankan agama kami. Akhirnya kami pergi ke negeri anda. Kami lebih memilih anda, bukan yang lain. Kami ingin bertetangga dengan anda dan kami berharap tidak terzalimi di sisi anda,wahai baginda raja”.

An-Najasyi menyimak dengan seksama, kemudian menyatakan:”Bisakah engkau membacakan wahyu yang beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) terima dari Allah?”

Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kemudian membacakan permulaan surat Maryam. Seketika air mata Sang Raja pun menetes. Demikian hebat tangisan itu hingga air matanya membasahi jenggotnya. Para uskup yang mendengarnya turut menangis hingga membasahi kitab-kitab di hadapan mereka.

Terlontar sebuah ucapan dari an-Najasyi rahimahullah:

إِنَّ هَذَا,وَالَّذِي جَاءَ بِهِ مُوْسَى لَيَخْرُجَ مِنْ مِشْكَاةٍ وَاحِدَةٍ,اِنْطَلَقَا,فَلَا وَاللهِ لَا أُسَلِّمُهُمْ إِلْيُكُمَا وَلَا يَكَادُ

“Sesungguhnya ini dan ajaran yang dibawa Musa berasal dari lentera yang sama. Pergilah kalian berdua wahai utusan Quraisy. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian.”8

Pertemuan Kedua Antara Raja dan Utusan Quraisy

Misi yang gagal tidak memupuskan semangat ’Amr bin al-Ash. Ia berkata:

وَاللهِ لَآتِيَنَّهُمْ غَدًا بِمَا أَسْتَأْصِلُ بِهِ خَضْرَاءَهُمْ

“Demi Allah, aku akan mendatanginya lagi besok. Akan kuhabisi mereka sampai ke akar-akarnya”.9

Mendengar tekad dari ‘Amr bin al-Ash, salah satu delegasi Quraisy yang lain yaitu Abdullah bin Abi Rabi’ah menimpali,”Jangan kau lakukan itu, karena mereka memiliki kekerabatan dengan kita meskipun mereka berselisih dengan kita”.

‘Amr bin al-Ash tidak menghiraukan ucapan Abdullah bin Abi Rabi’ah,ia malah berkata:

وَاللهِ لَأَخْبِرَنَّهُ أَنَّهُمْ يَزْعُمُوْنَ أَنَّ عِيْسَى عَبْدٌ

“Demi Allah, akan keberitahu dia (an-Najasyi) bahwa mereka menganggap ‘Isa adalah seorang hamba”10

Keesokan harinya ‘Amr bin al-Ash menemui an-Najasyi dan berkata:”Wahai baginda raja, sesungguhnya mereka mengemukakan perkataan yang lancang tentang ‘Isa putra Maryam. Utuslah seseorang untuk menemui mereka dan tanyakan kepada mereka bagaimana pendapat mereka tentang’Isa”

Dipanggillah kaum muslimin, lalu Ashhamah an-Najasyi bertanya ,”Bagaimana pendapat kalian tentang Isa putra Maryam?” Ja’far bin Abi Thalib menjawab,

هُوَ عَبْدُاللهِ وَ رَسُوْلُهُ,وَ رُوْحُهُ,وَ كَلِمَتهُ,أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَم العُذَرَاءِ البَتُوْلِ

“Dia adalah hamba dan utusan Allah,ruh (dari ciptaan-Nya) dan kalimat-Nya(ucapan jadilah,maka jadilah) yang disematkan kepada Maryam, perawan suci lagi tidak pernah menikah”11

Mendengar ucapan itu an-Najasyi memukulkan tangannya ke tanah lalu mengambil sebilah tongkat kecil dan berkata:”Demi Allah, Isa putra Maryam itu sesuai dengan apa yang kau katakan, tidak lebih dari sebatang tongkat kayu ini (maksudnya hanyalah makhluk). Sekarang silakan kalian berdua pergi,maka kalian kaum muslimin aman di negeriku. Barangsiapa yang mencela kalian,maka dia merugi (Beliau mengulangnya sebanyak 3 kali). Aku tidak mau memiliki segunung emas sementara aku menyakiti salah seorang dari kalian. Kembalikan hadiah mereka berdua,kita tidak memerlukannya. Demi Allah, Allah tidak mengambil suap dariku saat mengembalikan kerajaanku kepadaku lalu bagaimana mungkin aku mengambilnya?”

Keislaman An-Najasyi

Setelah mendengar penjelasan dari Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, an-Najasyi menyatakan keislamannya

يا مَعْشَرَ الْقِسِّيْسِيْن وَالرُّهْبَانِ مَا يَزِيْدُ هَؤُلَاءِ عَلَى مَا نَقُوْلُ في ابنِ مَرْيَمَ وَلَا وَزَنَ هَذِهِ مَرَحَبًا بِكُمْ وَبِمَنْ جِئْتُمْ مِنْ عِنْدِهِ فَأَنَا أَشْهَدُ أَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ وأنَّهُ الَّذِي بُشِّرَ بِهِ عِيْسَى وَلَوْلاَ مَا أَنَا فِيْهِ مِنَ الْمُلْكِ لَأتيَتَّهُ حَتَّى أَقْبَلَ نَعْلَيْهِ اُمْكُثُوْا فِي أَرْضِي مَا شِئْتُمْ

Wahai para pendeta dan pemuka agama, tidaklah apa yang mereka ucapkan itu dengan apa yang kita yakini melampaui sekuran ini. Selamat datang kepada kalian dan orang yang datang dari sisinya. Aku bersaksi bahwa beliau adalah Rasulullah sebagaimana yang diberitakan oleh ‘Isa ‘alaihissalam. Kalaulah bukan karena aku memiliki tanggung jawab sebagai raja,niscaya aku akan datang kepadanya bahkan aku akan membawakan sandal beliau (Rasulullah).Tinggallah kalian di negeriku sekehendak kalian.”12

Wafatnya An-Najasyi

An-Najasyi adalah raja Habasyah yang beriman. Beliau memimpin sebuah negeri yang mana seluruh rakyatnya menganut agama nasrani. Ketika An-Najasyi meninggal, tidak ada satupun di negerinya yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak ada satu orangpun yang menshalatkan jenazah an-Najasyi. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan para sahabatnya yang berada di Madinah untuk melakukan shalat ghaib. Kisah tersebut diriwayatkan oleh sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ مَاتَ النَّجَاشِيُّ: مَاتَ اليَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ، فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَى أَخِيكُمْ أَصْحَمَةَ

“Tatkala an-Najasyi wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Pada hari ini telah meninggal seorang pria yang shaleh. Bangkitlah, shalatkanlah saudara kalian Ashhamah (yaitu an-Najasyi)”.13

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu juga mengkisahkan,

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى أَصْحَمَةَ النَّجَاشِيِّ فَصَفَّنَا وَرَاءَهُ فَكُنْتُ فِي الصَّفِّ الثَّانِي أَوِ الثَّالِثِ

“Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib untuk Ashhamah an-Najasyi. Kemudian kami pun mengatur shaf di belakang beliau. Ketika itu aku berada di shaf kedua atau ketiga”14

Dalam sejarah islam, Nabi hanya sekali melakukan shalat ghaib. Yaitu saat meninggalnya an-Najasyi, pemimpin Habasyah yang masuk islam sendirian di tengah-tengah rakyatnya yang beragama nasrani. Semoga Allah meridhoi beliau.

Penutup

Demikian sekelumit kisah Ashhamah an-Najasyi, raja Habasyah yang beriman.Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab. KAK/LTC-YSR

Penulis: Khalid Abdul Khaliq

Referensi:

  • Siyar A’lamin Nubala’, karya adz-Dzahabi rahimahullah
  • Ta’sisul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam,karya Ahmad bin Yahya rahimahullah
  • Tadribur Rawi Fi Syarhi Taqribin Nawawi
  • Shahih as-Shiratun Nabawiyah
  • Ar-Rahiqul Makhtum

 

Footnotes

  1. Ta’sisul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam (3/83)
  2. Lihat Ar-Rahiqul Makhtum hlm. 320
  3. Syarh Nuzhatun Nazhor hlm.358

    المخضرم عند المحدثين هو الذي آمن بالنبي في عهده ولم يلقه مثل النجاشي ملك الحبشة أسلم في عهد الرسول ووصفه النبي بأنه أخ للصحابة وبأنه رخل صالح وصفه بالصلاح وصلى عليه في المدينة صلاة الغائب

  4. HR. al-Baihaqi (9/9) di dalam Sunannya dan Dalail an-Nubuwah (2/301), dari Ummul Mukminin, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, shahih. Lihat ash-Shahihah no. 3190
  5. HR. Ahmad (1/201) dan (5/290) di dalam musnadnya, dari Ummul Mukminin, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, hasan. Lihat ash-Shahihah (7/578)
  6. Siyar A’lamin Nubala’ (1/104)
  7. Siyar A’lamin Nubala’ (1/104)
  8. Siyar A’lamin Nubala’ (1/105)
  9. Siyar A’lamin Nubala’ (1/105)
  10. Siyar A’lamin Nubala’ (1/105)
  11. Siyar A’lamin Nubala’ (1/105) dan shahih as-Sirah an-Nabawiyyah hlm.168
  12. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah hlm.168
  13. HR.al-Bukhari no.3877 di dalam shahihnya, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma
  14. HR. al-Bukhari no.3878 di dalam shahihnya, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma