oleh

Keistimewaan Bulan Dzulhijjah Berdasarkan Hadits-hadits Sahih

-Fiqih-3,071 views

Bulan Dzulhijjah merupakan bulan mulia di dalam Islam. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari empat bulan haram (suci) yang disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

“Sesungguhnya hitungan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan di dalam Kitab Allah, semenjak hari Ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram (suci).” (at-Taubah: 36)

Pada bulan Dzulhijjah terdapat berbagai keistimewaan. Hal itu telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui berbagai hadits yang sahih. Maka berikut ini kami sebutkan beberapa keistimewaan bulan Dzulhijjah tersebut.

Bulan Dzulhijjah Merupakan Salah Satu Bulan Haram (Suci)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa bulan Dzulhijjah merupakan salah satu dari empat bulan haram yang Allah tetapkan. Berikut ini diterangkan di dalam hadits sahih yang secara langsung menyebutkan tentang bulan Dzulhijjah sebagai salah satu dari bulan haram yang empat tersebut. Diriwayatkan dari Sahabat Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدَةِ، وَذُو الحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ، مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى، وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya zaman itu berputar semenjak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram (suci); tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram; serta Rajab Mudhar yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.”1

Bulan Dzulhijjah Adalah Bulan Haji

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ

“Haji adalah bulan-bulan yang telah diketahui.” (al-Baqarah: 197)

Al-Imam al-Bukhari menukil secara tegas pernyataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa bulan-bulan yang dimaksud adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah2. Pernyataan yang sama dinukil juga oleh al-Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya dengan membawakan sanad yang sahih3.

Hari Raya Idul Adha terdapat di dalam Bulan Dzulhijjah

Di antara keistimewaan bulan Dzulhijjah yang maklum diketahui adalah adanya momen hari raya Idul Adha. Hari ketika kaum muslimin menyembelih kurban dan berbagi kenikmatan kepada sesama dengan menyantap daging. Hari Idul Adha disebut pula yaumul akli (hari menyantap makanan).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ عَرَفَةَ، وَيَوْمُ النَحْرِ، وَأَيَّامُ التَشْرِيقِ، عِيْدُنَا أَهْلُ الإِسْلاَمِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari Arafah4, hari menyembelih (Idul Adha), dan hari-hari Tasyriq adalah Ied kita umat Islam, itulah hari makan dan minum.”5

Orang-orang Yahudi merasa iri terhadap kaum muslimin dengan adanya hari raya Idul Adha ini. Terbukti, ketika salah seorang Yahudi mendatangi Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu sembari menyatakan,

يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَؤُونَهَا، لَو عَلَيْنَا مَعْشَرَ اليَهُودُ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ اليَوْمَ عِيْداً. قَالَ: أَيُّ آيَةٍ؟ قَال: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً}

“Wahai Amirul mukminin (pemimpin kaum mukminin), ada satu ayat di dalam kitab kalian yang senantiasa kalian baca, kalau sekiranya ayat itu turun kepada kami tentu akan kami jadikan hari itu sebagai hari raya (Ied).”

Umar menjawab, “Ayat apa itu?”

Ia berkata, “Pada hari ini aku sempurnakan untuk k.alian agama kalian dan aku lengkapkan nikmat-Ku atas kalian, serta aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan,

قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ اليَوْمَ وَالمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ، يَوْمَ جُمْعَةٍ.

“Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, ketika beliau berdiri di Arafah, pada hari Jum’at.”[efn_noteMuttafaq ‘alaihi] [/efn_note]

Maksudnya adalah di padang Arafah, di hari Arafah, dan bertepatan dengan hari Jum’at.

Al-Imam al-‘Aini menukil keterangan dari al-Imam an-Nawawi rahimahullahu, bahwa makna ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu di atas adalah: kami juga tidak meninggalkan pengagungan terhadap hari dan tempat tersebut (di samping orang-orang Yahudi juga mengagungkan hari dan tempat tersebut, pen).

Dari sisi tempat, padang Arafah adalah inti dari haji yang merupakan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan dari sisi waktu, hari Jum’at dan hari Arafah, merupakan hari yang terkumpul padanya dua keutamaan dan kemuliaan sekaligus. Telah maklum pengagungan kita terhadap salah satu darinya, jika terkumpul tentu pengagungan itu bertambah. Dan kita telah menjadikan hari tersebut sebagai hari Ied kita.”6

Keutamaan Hari Arafah terdapat di dalam Bulan Dzulhijjah

Selain hari raya Idul Adha, hari Arafah juga merupakan hari yang mulia. Keduanya terdapat di dalam bulan Dzulhijjah. Hari raya Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah, sedangkan hari Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, yaitu sehari sebelumnya.

Bagi seorang yang Allah mudahkan untuk menunaikan ibadah haji, hari Arafah adalah inti dari rangkaian ibadah haji. Di hari itu, seluruh jemaah haji dari segala penjuru bumi berkumpul di padang Arafah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الحَجُّ عَرَفَةُ، مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الحَجَّ

“Haji adalah Arafah, barangsiapa datang di malam perkumpulan sebelum fajar terbit maka ia telah mendapatkan haji.”7

Adapun bagi yang belum berkesempatan menunaikan haji di tahun tersebut, maka disunahkan baginya untuk berpuasa8. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Puasa hari Arafah, aku berharap dengannya Allah menggugurkan dosa selama satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.”9

Keutamaan hari Arafah yang lain dijelaskan di dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْداً مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُّمَّ يُبَاهِي بِهِمْ المَلَائِكَةَ

“Tidak ada hari yang Allah paling banyak membebaskan hamba dari neraka dibandingkan dengan hari Arafah. Dan sungguh ketika itu Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para Malaikat.”10

Bulan Dzulhijjah Tidak Pernah Kurang

Dari Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ، شَهْرَا عِيْدٍ: رَمَضَانُ وَذُو الحِجَّةِ

“Dua bulan yang tidak pernah kurang, keduanya adalah bulan Ied: Ramadhan dan Dzulhijjah.”11

Apa maksud “tidak pernah kurang” pada hadits ini? Para ulama menyebutkan berbagai macam tafsiran. Di antaranya al-Imam ath-Thahawi rahimahullahu menyatakan bahwa maknanya adalah tidak berkurang meskipun bilangan bulannya hanya 29 hari, maka keduanya tetap sempurna. Karena di bulan Ramadhan ada amalan puasa, sedangkan di bulan Dzulhijjah ada amalan haji. Seluruh hukum-hukum yang ada padanya sempurna, tidak pernah kurang.12

Adapun al-Khathabi rahimahullah berpendapat bahwa maknanya adalah pahala bulan Dzulhijjah tidak kurang dari pahala bulan Ramadhan dengan sebab keutamaan amalan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.13

Keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebutkan di dalam hadits berikut ini.

Amal Saleh di Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah Paling Dicintai Allah

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَامِ العَشْرِ

“Tidak ada hari-hari yang amal saleh lebih Allah cintai dibandingkan dengan sepuluh hari ini (di bulan Dzulhijjah–pen).”

Para Sahabat bertanya, “Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah?”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak pula jihad di jalan Allah. Kecuali seorang yang berangkat (jihad) dengan membawa jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada yang kembali sedikit pun darinya.”14

Al-‘Aini rahimahullah menerangkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dibandingkan seluruh amalan utama pada bulan lainnya. Kecuali satu amalan, yaitu jenis jihad yang paling afdhal, ketika seorang mengorbankan jiwa dan hartanya dalam jihad tersebut (tidak ada yang kembali sama sekali, baik jiwa maupun hartanya).15

Demikian beberapa keistimewaan bulan Dzulhijjah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits-hadits yang sahih. FAI-

Penulis: Fahri Abu Ilyas

Referensi:

– Umdatul Qari Syarah Sahih al-Bukhari, karya al-Hafizh Badrudin al-‘Aini.

– Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, karya Imam Ibnu Rajab al-Hambali.

– Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Karya Imam Ibnu Katsir.

Footnotes

  1. HR. al-Bukhari no. 5550 dan Muslim no. 1679 di dalam sahih keduanya, dari Sahabat Abi Bakrah.
  2. Sahih al-Bukhari (3/419), dengan Fathul Bari.
  3. Tafsir ath-Thabari (4/116), lihat tafsir Ibnu Katsir (1/542).

  4. Bagi kaum muslimin yang tengah melaksanakan ibadah haji, hari Arafah termasuk hari Ied, sehingga tidak boleh mengerjakan puasa pada hari tersebut. Sedangkan bagi kaum muslimin lainnya yang tidak sedang menunaikan haji, maka disunnahkan berpuasa pada hari Arafah, sebagaimana kami sebutkan. Imam Ibnu Rajab di dalam Fathul Bari (1/173) menukil pernyataan ‘Atha’,

    إنما هي أعياد لأهل الموسم، فلا ينهى أهل الأمصار عن صيامها

    “Hari tersebut (Arafah) adalah ied bagi yang melaksanakan haji. Adapun bagi yang tinggal di rumah (tidak sedang berhaji) maka tidak ada larangan untuk berpuasa.” Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

  5. HR Muslim no. 1141 di dalam Sahihnya, dari Sahabat Uqbah bin Amir.

  6. Umdatul Qari (1/264)

    أَنا مَا تركنَا تَعْظِيم ذَلِك الْيَوْم وَالْمَكَان، أما الْمَكَان فَهُوَ عَرَفَات، وَهُوَ مُعظم الْحَج الَّذِي هُوَ أحد أَرْكَان الْإِسْلَام، وَأما الزَّمَان فَهُوَ يَوْم الْجُمُعَة وَيَوْم عَرَفَة. وَهُوَ يَوْم اجْتمع فِيهِ فضلان وشرفان، وَمَعْلُوم تعظيمنا لكل وَاحِد مِنْهُمَا، فَإِذا اجْتمعَا زَاد التَّعْظِيم، فقد اتخذنا ذَلِك الْيَوْم عيدا

  7. HR. at-Tirmidzi no. 889, dari Sahabat Abdurrahman bin Ya’mar, sahih. Lihat Sahih Sunan at-Tirmidzi.
  8. Hal ini tidak bertentangan dengan kedudukan hari Arafah sebagai hari ied atau hari makan dan minum. Hal ini telah kami jelaskan, silakan lihat footnote nomor 4.
  9. HR. Muslim no. 1163 di dalam Sahihnya, dari Sahabat Abu Qatadah.
  10. HR. Muslim no. 1348 di dalam Sahihnya, dari Ummul Mukminin Aisyah.
  11. HR. al-Bukhari no. 1912 dan Muslim no. 1089 di dalam sahih keduanya, dari Sahabat Abi Bakrah.

  12. Umdatul Qari (10/ 285)

    وَقَالَ الطَّحَاوِيّ: مَعْنَاهُ: لَا ينقصان، وَإِن كَانَا تسعا وَعشْرين يَوْمًا، فهما كاملان، لِأَن فِي أَحدهمَا الصّيام، وَفِي الآخر الْحَج، وَأَحْكَام ذَلِك كُله كَامِلَة غير نَاقِصَة.

     


  13. Idem

وَعَن الْخطابِيّ قيل: لَا ينقص أجر ذِي الْحجَّة عَن أجر رَمَضَان لفضل الْعَمَل فِي الْعشْر

  • HR. al-Bukhari no. 969 di dalam sahihnya, dari Sahabat Ibnu Abbas.

  • Umdatul Qari (9/12)

    وفي أن العمل في عشر ذي الحجة أفضل من جميع الأعمال الفاضلة في غيره. ولا يستثنى من ذلك سوى أفضل أنواع الجهاد، وهو أن يخرج الرجل بنفسه وماله، ثم لا يرجع منهما بشيء