oleh

Hukum Menghadap Kiblat Ketika Shalat

Menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat sebagaimana dijelaskan pada artikel “Mengenal Syarat-syarat Shalat”. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dengan berbagai dalil yang mereka jadikan hujjah bahwa tidak akan diterima shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat. Namun, terdapat dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alalihi wasallam pernah shalat tidak menghadap kiblat pada kondisi tertentu. Dalil tersebut bahkan diriwayatkan di dalam shahih al-Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu penting untuk membahas bagaimana hukum menghadap kiblat ketika shalat dan bagaimana kondisi dibolehkannya tidak menghadap kiblat ketika shalat.

Apa Kiblat Itu?

Kiblat kaum muslimin adalah Ka’bah yang berada di kota Makkah. Kenapa disebut kiblat?

Kata kiblat adalah kata serapan dari Bahasa Arab, yaitu al-Qiblatu (القبلة) yang bermakna arah. Al-Jauhari menyatakan, “Kalamnya tidak punya kiblat, yaitu arah.”1Ibnu Faris juga menyebutkan, “Si Fulan tidak punya kiblat. Yaitu, arah yang ia tuju dan menghadap ke sana.”2

Adapun kiblat yang dimaksud adalah arah yang kaum muslimin menghadap ke sana ketika menunaikan shalat, yaitu Ka’bah yang berada di dalam Masjidil Haram, Makah. Allah Ta’ala menyatakan:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (al-Baqarah: 144)

Ayat ini berisi perintah menghadap kiblat ketika shalat.


Baca Juga:  Hukum Shalat di Masjid Ketika Terjadi Bahaya


Awal Mula Disyariatkan Menghadap Kiblat

Ketika awal kali hijrah ke Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (Palestina) ketika shalat, sebagai kiblat kaum muslimin. Beliau menjalankan perintah itu selama 16 hingga 17 bulan.3 Saat itu, mayoritas penduduk kota Madinah yang beragama Yahudi merasa senang dengan hal itu.

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sangat berharap-harap agar kiblat kaum muslimin diubah ke arah Ka’bah, sebagaimana dahulu kiblatnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendongakkan kepalanya ke arah langit, sembari berharap dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.4

Oleh karena itu Allah Ta’ala mengijabahi doa Nabi-Nya dan berfirman,

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Kami telah melihat wajahmu sering mendongak ke arah langit. Maka akan kami palingkan wajahmu ke arah kiblat yang kamu inginkan. Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram! Di manapun kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya!” (al-Baqarah: 144)


Baca Juga:  Tidak Shalat Jumat Tiga Kali Kafir, Benarkah?


Hukum Menghadap Kiblat Ketika Shalat

Menghadap kiblat adalah syarat diterimanya shalat. Tidak sah shalat seseorang apabila sengaja tidak menghadap kiblat.

Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Menghadap kiblat adalah syarat sahnya shalat.” Beliau menambahkan, “Secara umum, hal ini tidak ada silang pendapat di antara ulama. Kalaupun ada, maka pada rincian hukumnya.”. 5

Bagi anda yang berkesempatan bisa shalat di dekat Ka’bah, tidak boleh anda berpaling sedikitpun dari Ka’bah ketika shalat. Harus benar benar lurus menghadap Ka’bah.

Imam asy-Syirazi rahimahullahu mengemukakan,6 “Jika ia shalat di sekitar Ka’bah, maka wajib menghadap ke arahnya (Ka’bah) secara langsung. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke dalam Ka’bah dan beliau tidak mengerjakan shalat. Lalu keluar dan shalat dua rakaat menghadap Ka’bah, kemudian bersabda: “Ini adalah kiblat.”7

Adapun bagi anda yang shalat tidak di dekat Ka’bah atau di selain Masjidil Haram, seperti kita di Indonesia, maka kita diperintahkan menghadap ke arah kota Makkah. Tidak harus benar-benar lurus dengan ka’bah, karena itu perkara yang sulit diwujudkan.

Bahkan cukup dengan arah yang sudah makruf diketahui orang-orang setempat. Hal ini bisa ditandai dengan arah masjid setempat atau berita orang-orang sekitar yang terpercaya.

Imam an-Nawawi menyatakan, “Jika tidak sedang berada di Ka’bah tetapi ia mengetahui arahnya, maka ia shalat menghadap kea rah tersebut. Jika ia sendiri tidak tahu di mana arahnya, tetapi ada orang lain yang terpercaya memberitahunya maka ia harus shalat sesuai arah yang ia kabarkan dan tidak boleh berijtihad (menerka-nerka).”8

Selain itu, perkara ini di antara bentuk kemudahan syariat Islam yang indah lagi mulia. Allah memerintahkan kita beramal semaksimal kemampuan kita. Tidak memberat-beratkan diri dengan perkara di luar kemampuan kita. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (at-Taghabun: 16)


Baca Juga: Hukum Menghilangkan Cacat pada Anggota Tubuh


Dalil Wajibnya Menghadap Kiblat Ketika Shalat

Menghadap kiblat wajib dilakukan dan merupakan syarat sah ditegakkannya shalat. Berdasarkan dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Sebagaimana pernyataan Imam an-Nawawi di atas. Selain itu, ijma’ tersebut juga dibangun atas dalil-dalil syar’I, antara lain:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram! Di manapun kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya!” (al-Baqarah: 144)

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam juga bersabda:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika anda ingin shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbir.”9


Baca Juga: Wajibkah Mengucapkan Basmalah Ketika Berwudhu?


Ternyata, Rasulullah Pernah Shalat Tidak Menghadap Kiblat

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam shahihnya, bahwa Ibnu Umar radhiyallahu anhuma menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ

“Bahwa Rasulullah bertasbih di atas punggung hewan tungganannya. Beliau menghadap ke mana saja kendaraannya mengarah sambil memberi isyarat dengan kepala.”10 Yang dimaksud dengan “tasbih” pada hadits ini adalah shalat sunnah.11

Disebutkan dalam riwayat lain:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ

“Bahwa Rasulullah pernah shalat witir di atas kendaraan.”12

Di dalam hadits lain disebutkan:

أَنَّ رَسَولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ القِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ

“Apabila Rasulullah safar, kemudian beliau ingin shalat sunnah, maka beliau menghadapkan untanya ke kiblat, kemudian beliau bertakbir dan shalat menghadap ke mana saja untanya menghadap.”13

Pada hadits-hadits di atas disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap kiblat. Hal itu beliau lakukan hanya ketika safar dan pada shalat sunnah saja. Beliau tidak melakukannya pada shalat wajib dan ketika tidak safar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ تَطُوُّعًا فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَلَ فَيُصَلِّي مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ

“Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap ke arah timur. jika ingin shalat wajib, beliau turun kemudian shalat dengan menghadap kiblat.”14

Maka disimpulkan, bahwa menghadap kiblat dalam shalat hukumnya wajib dan merupakan salah satu syarat sah shalat. Namun, kewajiban ini gugur apabila seseorang melakukan shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar. Wallahu a’lam bish shawab.

Akhir kata, inilah sekilas tentang permasalahan menghadap kiblat. Juga beberapa perkara yang berkaitan dengan menghadap kiblat. Semoga Allah Ta’ala menerima amalan shalat kita semua. Aamiin. Semoga bermanfaat. AZB, FAI-IBR

Penulis: Abu Zakariyya Abdurrahman

Revisi: Fakhri Abu Ilyas

Referensi: Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam an-Nawawi rahimahullahu.

Catatan:

Artikel sebelum revisi telah tampil pada 25 November 2020


Footnotes

  1. Dinukil oleh Ibnu Manzhur di dalam Lisanul ‘Arab (11/537)

    وَمَا لِكَلَامِهِ قِبْلة أَي جِهَةٌ

  2. Maqayis al-Lughah (5/53)

    وَمَا لِفُلَانٍ قِبْلَةٌ، أَيْ جِهَةٌ يَتَوَجَّهُ إِلَيْهَا وَيُقْبِلُ عَلَيْهَا

  3. Angka ini berdasarkan pendapat Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (3/190)
  4. Disadur dari Tafsir Imam Ibnu Katsir (1/458)

    كان أوَّل ما نُسخَ من القرآن القبلة، وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هاجرَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَكَانَ أَكْثَرُ أَهْلِهَا الْيَهُودَ، فَأَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، فَفَرِحَتِ الْيَهُودُ، فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُحِبُّ قِبْلَةَ إِبْرَاهِيمَ فَكَانَ يَدْعُو إِلَى اللَّهِ وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ}

  5. Lihat al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab (3/189)

    اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ إلَّا فِي الْحَالَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ عَلَى تَفْصِيلٍ يَأْتِي فِيهِمَا فِي مَوْضِعِهِمَا وَهَذَا لَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِيهِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ وَإِنْ اُخْتُلِفَ فِي تَفْصِيلِهِ

  6. Dinukil dari Al-Majmu’ (3/191)

    فَإِنْ كَانَ بِحَضْرَةِ الْبَيْتِ لَزِمَهُ التَّوَجُّهُ إلَى عَيْنِهِ لِمَا رَوَى أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْبَيْتَ وَلَمْ يُصَلِّ وَخَرَجَ وَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ قِبَلَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ

  7. HR. Muslim no.1330 di dalam Shahihnya, dari Sahabat Usamah bin Zaid.
  8. Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab (3/ 200)

    إذَا غَابَ عَنْ الْكَعْبَةِ وَعَرَفَهَا صَلَّى إلَيْهَا وَإِنْ جَهِلَهَا فَأَخْبَرَهُ مَنْ يُقْبَلُ خَبَرُهُ لَزِمَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِقَوْلِهِ وَلَا يَجُوزُ الِاجْتِهَادُ

  9. HR. al-Bukhari no. 6251, 6667 dan Muslim no. 397 di dalam shahih keduanya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu
  10. HR. al-Bukhari no. 1105 di dalam Shahihnya.
  11. lihat. Ihkamul ahkam hal. 210
  12. HR. Muslim no. 700 di dalam Shahihnya, dari Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma
  13. HR. Abu Dawud no. 1225, dari sahabat Anas bin Malik, Hasan. Lihat shahih wa dhaif sunan Abi Dawud hal. 02
  14. HR. al-Bukhari no. 1099 di dalam Shahihnya.
join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *