oleh

Hukum Jual Beli Kredit Menurut Syariat Islam

-Fiqih-2,612 views

Jual beli kredit adalah jual beli barang dengan tempo waktu tertentu. Dalam tempo tersebut pembeli mencicil pembayaran beberapa kali hingga lunas dengan jangka waktu tertentu.

Hukum Jual Beli Kredit Menurut Syariat Islam

Hukum jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan dalam syariat, berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Beliau mengatakan:

اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا نَسِيئَةً، فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dengan sistem kredit dari seorang Yahudi dan memberikan baju besi beliau sebagai jaminan.”1

Hikmah Syariat di Baliknya

Jual beli dengan cara seperti ini memberikan faedah kepada kedua belah pihak.

Pertama: Penjual mendapatkan tambahan harga barang dagangannya. Ia bisa menjual barang dagangannya dengan cara yang bervariasi, bisa kontan atau kredit.

Jika pembeli membeli secara kredit, penjual mendapat tambahan harga sebagai ganti dari tempo yang ia berikan.

Kedua: Adapun pembeli ia bisa mendapat barang yang ia butuhkan meskipun dia tidak memiliki uang yang cukup dengan harga yang ditawarkan, tapi ia bisa mencicil pembayarannya beberapa kali dengan cicilan dan tempo yang disepakati.2

Syarat Sahnya Jual Beli Kredit

Di samping syarat jual beli yang harus dipenuhi dalam jual beli kredit. Di sana ada syarat-syarat tambahan yang harus dipenuhi agar jual beli kredit menjadi sah.

Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:

  1. Barang yang diperjual belikan di bawah kepemilikan dan pengelolaan penjual ketika transaksi dilakukan.

Yaitu tidak boleh penjual dan pembeli mengadakan kesepakatan harga serta menentukan waktu pelunasan dan pembayaran cicilan terlebih dahulu, kemudian setelah itu si penjual mencari dan membeli barang tersebut kemudian menyerahkannya kepada pembeli.3

Cara seperti ini diharamkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.”4

  1. Penjual dilarang mewajibkan denda berupa dana tambahan pada pembeli atas keterlambatan pembayaran cicilan, sama saja apakah permintaan ini dia sampaikan ketika akad atau setelah akad. Karena tambahan semacam ini digolongkan sebagai riba.5

 

  1. Diharamkan bagi pembeli untuk menunda pembayaran Ketika ia sudah memiliki uang sebesar cicilan yang harus ia bayarkan.6

 

  1. Penjual tidak berhak menahan kepemilikan barang yang telah dijualnya, setelah terjadi akad jual beli. Akan tetapi penjual boleh mempersyaratkan kepada pembeli agar barang tersebut tetap berada di tempatnya untuk menjamin bahwa pembeli menunaikan kewajibannya dengan membayar cicilan tersebut. 7 USN – UAJ

Penulis: Usamah Najib

Sumber:

Kitab al-Fiqih al-Muyassar Fi Dhaui al-Kitab Wa as-Sunnah. Taqdim Ma’ali Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.

 

Footnotes

  1. HR. al-Bukhari no. 2096 dan Muslim no. 1603, 124
  2. Diintisarikan dari kitab al-Fiqih al-Muyassar Fi Dhaui al-Kitab Wa as-Sunnah hal. 218
  3. Diintisarikan dari kitab al-Fiqih al-Muyassar Fi Dhaui al-Kitab Wa as-Sunnah hal. 218
  4. HR. Imam Ahmad (3/402) dan an-Nasa’I (7/289). dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shaih Sunan an-Nasa’I no. 4299.
  5. Diintisarikan dari kitab al-Fiqih al-Muyassar Fi Dhaui al-Kitab Wa as-Sunnah hal. 218
  6. Diintisarikan dari kitab al-Fiqih al-Muyassar Fi Dhaui al-Kitab Wa as-Sunnah hal. 218
  7. Diintisarikan dari kitab al-Fiqih al-Muyassar Fi Dhaui al-Kitab Wa as-Sunnah hal. 218