oleh

Hukum Berpuasa di Separuh Terakhir Bulan Sya’ban

-Fiqih-11,248 views

Hukum berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban terkadang menjadi polemik bagi yang ingin berpuasa di waktu tersebut. Diriwayatkan di dalam sebuah hadits yang padanya terdapat larangan untuk hukum berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban yang melatarbelakangi munculnya polemik itu. Padahal pada hadits lain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam banyak berpuasa pada bulan Sya’ban.

Bagaimana para ulama mendudukkan kedua hadits ini? Mari kita simak bersama penjelasan mereka.

Hadits tentang Hukum Berpuasa di Separuh Akhir Sya’ban

Disebutkan dalam sebuah hadits tentang hukum berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا

“Jika telah masuk separuh akhir bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.”1

Hadits ini adalah hadits yang shahih dan kuat,2 sehingga dapat menjadi landasan hukum larangan berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban.

Hadits tentang Memperbanyak Puasa pada Bulan Sya’ban

Sementara itu terdapat sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban. Sebagaimana disampaikan oleh ibunda kaum mukminin ‘Aisyah binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sebuah bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban, sungguh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari bulan Sya’ban.”3

Hadits ini tidak diragukan tentang keshahihannya karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab shahihnya.4

Penjelasan Ulama Tentang Dua Hadits di Atas

Sekilas nampak adanya pertentangan antara dua hadits tersebut. Apakah memang demikian keadaannya? Coba cermati penjelasan berikut.

Beberapa Pendapat Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat dalam menundukkan dua hadits di atas. Diantara mereka ada yang melemahkan hadits yang menyebutkan larangan untuk hukum berpuasa di separuh terakhir Sya’ban, sehingga boleh untuk berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban.5

Ada pula yang mengatakan bahwa larangan pada hadits tersebut hukumnya telah dihapus dengan perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (dimana beliau yang meriwayatkan hadits itu) ketika beliau berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban.6

Ulama lain ada yang mencoba memadukan antara dua hadits yang nampaknya bertentangan ini yaitu, bahwa larangan berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban ditujukan pada orang yang memasuki pertengahan Sya’ban dalam keadaan dia belum pernah berpuasa sama sekali sebelumnya.7

Atau dengan kata lain, larangan ini adalah larangan mengawali puasa sunnah di separuh terakhir bulan Sya’ban. Adapun jika ia melanjutkan puasanya yang telah dimulai sebelum separuh terakhir bulan Sya’ban, maka tidak mengapa.8

Manakah Pendapat yang Kuat?

Dari beberapa pendapat di atas tentu yang lebih tepat dan adil adalah upaya penggabungan dua hadits tersebut, karena jelas dari penjelasan ulama bahwa dua hadits ini adalah hadits shahih. Sehingga mengamalkan keduanya lebih baik dan utama dibandingkan meninggalkan salah satu dari keduanya. 9

Adapun klaim mansukh / terhapus dari salah satu dari dua hadits itu, maka butuh kepastian dari sisi waktu, mana yang lebih dahulu diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sekedar perbuatan shahabat.

Penggabungan Antara Dua Hadits di Atas

Penggabungan dua hadits ini telah dipaparkan oleh Ulama ahli fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah rahimahullah ketika menjawab pertanyaan tentang permasalahan ini, beliau berkata,

“Sungguh dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa di mayoritas bulan Sya’ban, sebagaimana ternukil dalam hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma. Namun di sana ada sebuah hadits shahih yang menyebutkan tentang larangan berpuasa separuh akhir Sya’ban. Maka larangan ini ditujukan bagi orang yang mengawali puasa sunnah pada separuh akhir Sya’ban, adapun bagi yang berpuasa pada mayoritas harinya atau sebulan penuh maka ia telah sesuai dengan sunnah.”10

Pendapat Madzhab Syafi’iyah

Pendapat inilah yang diyakini oleh ulama madzhab Syafi’iyah sebagaimana penuturan Imam Nawawi asy-Syafi’i (631 – 676 H / 1234 – 1278 M) rahimahullah,

“Jika dibolehkan berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban berupa puasa sunnah yang memiliki sebab, maka puasa yang wajib lebih pantas untuk dibolehkan. Sebagaimana waktu dilarangnya shalat sunnah yang tidak memiliki sebab.

Sehingga jika ia memiliki tanggungan puasa Ramadhan sebelumnya, maka wajib baginya untuk menunaikannya, mengingat waktu yang tersisa sangatlah singkat.

Adapun jika ia berpuasa sunnah yang memiliki sebab dimana ia memiliki kebiasaan melakukannya seperti atau ia terbiasa berpuasa sepanjang masa atau berpuasa sehari dan berbuka sehari (yang dikenal dengan Puasa Dawud), atau ia rutin melakukan puasa senin-kamis, maka boleh baginya untuk berpuasa meskipun pada separuh akhir Sya’ban. Hal ini tidak ada perselisihan di madzhab kami (madzhab Syafi’iyah).”11

Berkata ulama pakar fiqh di zaman ini asy-Syaikh Muhammad bin Shalih (1347 – 1421 H / 1928 – 2001 M) rahimahullah,

“Ulama madzhab Syafi’iyah berkata, bahwasanya hukum memulai puasa di separuh terakhir bulan Sya’ban adalah makruh. Adapun melanjutkan puasa yang sebelumnya telah ia kerjakan bukanlah makruh. Sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (tentang larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya) maka pelarangan tersebut sebagai pengharaman.”12

Sekian pembahasan ringkas seputar hukum berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban yang bisa kami sajikan, semoga dapat bermanfaat bagi kami pribadi dan bagi saudara-saudara kami kaum muslimin secara umum. Aamiin. (AAA-LTC/IWU)

Penulis: Abdullah al-Atsari

Referensi:

  1. ‘Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari karya Imam Badruddin al-‘Aini Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi (762 – 855 H / 1361 – 1451 M) rahimahullah.
  2. Mir’atu al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih karya Imam ‘Ubaidullah bin Muhammad ar-Rahmani al-Mubarakfuri (1327 – 1414 H) rahimahullah.
  3. Majmu’ Fatawa al-‘Allamah Abdul ‘Aziz karya asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah (1330 – 1420 H / 1912 – 1999 M) rahimahullah.
  4. Fathu Dzi al-Jalali wal Ikram Syarh Bulughul Maram karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih (1347 – 1421 H / 1928 – 2001 M) rahimahullah.
  5. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (631 – 676 H / 1234 – 1278 M) rahimahullah.
  6. Misykatu al-Mashabih karya Imam Muhammad bin Abdillah at-Tibrizi (741 H / 1340 M) rahimahullah.

Catatan kaki:

1 HR. Abu Dawud no. 2337 di dalam kitab sunannya hadits shahih (lihat Misykatu al-Mashabih no. 1974) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

2 Lihat Misykatu al-Mashabih no. 1974

3 HR. al-Bukhari no. 1970 di dalam kitab shahihnya dari Shahabiyyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

4 Idem.

5 ‘Umdatu al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari 10/288.

وَقَالَ بَعضهم: وَضعف الحَدِيث الْوَارِد فِيهِ

6 ‘Umdatu al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari 10/289.

وَقيل: كَانَ أَبُو هُرَيْرَة يَصُوم فِي النّصْف الثَّانِي من شعْبَان، فَقَالَ: من يَقُول الْعبْرَة بِمَا رأى أَن فعله هُوَ الْمُعْتَبر، وَقيل: فعله يدل على أَن مَا رَوَاهُ مَنْسُوخ.

7 Idem.

وَقيل: يحمل النَّهْي على من لم يدْخل تِلْكَ الْأَيَّام فِي صِيَام أَو عبَادَة.

8 Fathu Dzi al-Jalali wal Ikram 3/286-287

النهي عن ابتداء الصوم بعد النصف وأما إذا كان الإنسان مستمرا في صومه فإن ذلك لا نهي فيه

9 Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih 9/408.

أن الجمع بين الأدلة واجب متى ما أمكن، لأن إعمال الدليلين أولى من إلغاء أحدهما

10 Majmu’ Fatawa li asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah 25/220.

فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم شعبان كله وربما صامه إلا قليلا كما ثبت ذلك من حديث عائشة وأم سلمة، أما الحديث الذي فيه النهي عن الصوم بعد انتصاف شعبان فهو صحيح، كما قال الأخ العلامة الشيخ ناصر الدين الألباني، والمراد به النهي عن ابتداء الصوم بعد النصف، أما من صام أكثر الشهر أو الشهر كله فقد أصاب السنة

11 Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 6/400.

إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى كَالْوَقْتِ الَّذِي نُهِيَ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهِ وَلِأَنَّهُ إذَا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ لِأَنَّ وَقْتَ قَضَائِهِ قَدْ ضَاقَ (وأما) إذا صامه تطوع فَإِنْ كَانَ لَهُ سَبَبٌ بِأَنْ كَانَ عَادَتُهُ صَوْمَ الدَّهْرِ أَوْ صَوْمَ يَوْمٍ وَفِطْرَ يَوْمٍ أَوْ صَوْمَ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ كَيَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَصَادَفَهُ جَازَ صَوْمُهُ بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَصْحَابِنَا

12 Fath Dzi al-Jalali wal Ikram 3/287.

ذهب الشافعية رحمهم الله وقالوا إن ابتداء الصوم بعد نصف شعبان مكروه أما الإستمرار فيه فليس بمكروه وأما حديث أبي هريرة فالنهي فيه للتحريم