oleh

Cara dan Tuntunan Tawasul dengan Orang Saleh yang Benar

Tawasul dengan orang saleh merupakan salah satu cara yang syar’i agar doa dan hajat kita lebih mudah terkabul. Silakan pembaca melihat tulisan kami sebelumnya tentang tata cara tawasul dan jenis-jenisnya.

Namun dalam praktiknya, ada berbagai cara yang diterapkan masyarakat ketika bertawasul dengan orang saleh. Misalnya, ada yang bertawasul dengan cara mendatangi kuburan orang saleh tersebut lalu meminta doa kepadanya. Ada juga yang bertawasul dengan cara menyebut namanya ketika berdoa.

Contoh di atas diyakini oleh sebagian orang sebagai bentuk tawasul dengan orang saleh. Benarkah demikian? Semoga tulisan ini dapat membantu pembaca untuk menemukan jawabannya.

Tawasul dengan Meminta Doa Orang Saleh Semasa Hidupnya

Sempat kita bahas pada tulisan sebelumnya bahwa cara tawasul yang syar’i adalah dengan meminta doa kepada orang saleh secara langsung semasa hidupnya. Artinya, selama orang saleh tersebut masih hidup. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang datang secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta doa dari beliau.

Telah kami sebutkan pula hadits tentang seorang Arab Badui yang meminta doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diturunkan hujan (Muttafaq ‘Alaih).

Dan sekali lagi kami tekankan bahwa tawasul tersebut dilakukan semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau telah wafat, maka tawasul dengan doa beliau sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena itu Umar bin al-Khaththab beralih bertawasul kepada Abbas sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan,

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, dahulu kami biasa bertawasul dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari di dalam Shahihnya, dari sahabat Anas bin Malik)

Maknanya, dahulu Umar biasa mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau dan meminta agar beliau berdoa kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi sekarang Umar tidak bisa melakukan hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Sehingga beliau beralih kepada Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah alasan utama yang paling mungkin untuk dipahami dari sikap Umar tersebut. Sebab, jikalau tawasul dengan meminta doa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat masih berlaku, maka tidak mungkin Umar beralih bertawasul kepada orang lain. Ditambah lagi, saat itu musim paceklik yang begitu dahsyat sedang melanda kaum muslimin karena kekeringan. Sangat tidak logis jika Umar melewatkan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memilih orang lain di saat kaum muslimin sangat butuh untuk dikabulkan doanya!

Jikalau tawasul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau saja tidak mungkin dilakukan, maka terlebih lagi tawasul dengan orang saleh lainnya setelah wafatnya!


Baca Juga:  Cara Beribadah yang Benar


Bolehkah Tawasul dengan Mendatangi Kuburan Orang Saleh?

Termasuk tawasul yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat adalah mendatangi kuburan-kuburan untuk meminta doa dari penghuni kubur tersebut. Hal ini sangat jelas berdasarkan penjelasan di atas.

Kemudian, bertawasul kepada orang-orang yang telah meninggal sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Baik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau antar sesama sahabat. Kami tidak menemukan adanya dalil dari al-Quran, hadits, maupun pendapat para sahabat tentang hal ini.

Alasan yang paling logis, kenapa tidak bisa meminta doa dari para penghuni kubur, adalah karena mereka tidak dapat mendengar ucapan orang yang meminta kepadanya. Orang yang mati telah berpindah ke alam barzakh dan tidak lagi di alam dunia bersama kita. Ini merupakan keyakinan yang mendasar bagi seorang muslim.

Allah ‘Azza wa Jalla juga menyatakan,

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ

“Sungguh kamu tidak bisa memperdengarkan ucapan kepada orang-orang yang telah mati, dan kamu juga tidak bisa memanggil orang-orang yang tuli jika mereka dalam posisi membelakangi.” (an-Naml: 80)

Ayat ini jelas menyatakan bahwa orang-orang mati tidak bisa diajak bicara, lantas bagaimana mungkin bisa dimintai doa?

Bukankah Nabi Bisa Mendengar Orang yang Bershalawat Kepada beliau?

Jawabannya adalah iya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memang bisa mendengar shalawat yang disampaikan kepada beliau. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti pekuburan, dan janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ied, serta bershalawatlah kalian kepadaku, karena shalawat kalian akan tersampaikan kepadaku di manapun kalian berada.” (HR. Abu Dawud no.2042, dari sahabat Abu Hurairah, sahih)

Namun yang perlu dipahami di sini adalah bahwa shalawat tersebut tidaklah sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, akan tetapi melalui perantara malaikat. Hal ini sebagaimana sabda beliau yang lainnya.

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ يُبَلِّغُونِي مِنْ أُمَّتِي السَّلَامَ

“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang berkeliling di muka bumi untuk menyampaikan salam kepadaku dari umatku.” (HR. an-Nasa’i no.1282, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, sahih1)

Sehingga hal ini tidak bisa dikiaskan dengan selain shalawat dan salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti mengajak bicara beliau di sisi kuburnya dan meminta doa dari beliau. Jikalau hal ini memungkinkan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang pertama yang mengerjakannya.

Tawasul dengan Menyebut Nama Orang Saleh di dalam Doanya

Hal lain yang perlu diperhatikan ketika bertawasul dengan orang saleh, yaitu bahwasanya orang yang bertawasul itu datang langsung kepadanya untuk meminta doa. Bukan dengan cara menyebut-nyebut nama orang saleh itu di dalam doanya. Contohnya: Allahumma bi haqqi Syaikh Fulan; asaluka bi haqqi Imam Fulan .. dst (Ya Allah dengan hak Syaikh Fulan; aku memohon kepada-Mu dengan hak Imam Fulan)

Tawasul dengan cara seperti ini diingkari oleh para imam dan ulama. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah rahimahullah. Az-Zubaidi menyatakan,

كَرِهَ أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ أَنْ يَقُولَ الرَجُلُ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ فُلاَنٍ، أَوْ بِحَقِّ أَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ، أَوْ بِحَقِّ البَيْتِ الحَرَامِ وَالمَشْعَرِ الحَرَامِ، وَنَحْوُ ذَلِكَ، إِذْ لَيْسَ لِأَحَدٍ عَلَى اللهِ حَقٌّ

“Abu Hanifah dan dua muridnya tidak suka jika ada seorang mengatakan: aku memohon kepada-Mu dengan hak Fulan; atau dengan hak para Nabi dan Rasul-Mu; atau dengan hak Baitul Haram (Ka’bah) dan Masy’aril Haram. Sebab, tidak ada kewajiban atas Allah untuk memenuhi hak seorang pun.”2

Cara tawasul dengan orang saleh yang benar adalah dengan meminta doa secara langsung darinya ketika ia masih hidup. Bukan dengan hak atau kedudukannya di sisi Allah.

Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harrani rahimahullah menyatakan,

لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم بل ولا أحد من الأنبياء قبله شرعوا للناس أن يدعوا الملائكة والأنبياء والصالحين، ويستشفعوا بهم، لا بعد مماتهم، ولا في مغيبهم، فلا يقول أحد: يا ملائكة الله اشفعوا لي عند الله، سلو الله لنا أن ينصرنا أو يرزقنا أو يهدينا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan para Nabi sebelumnya sekalipun, tidak pernah menuntunkan kepada umat untuk berdoa kepada Malaikat, Nabi, atau orang-orang saleh dan meminta syafaat melalui mereka, baik setelah mereka wafat atau ketika mereka tidak ada di tempat (jauh atau tanpa sepengetahuan mereka -ed).

Sehingga jangan sampai ada seorang yang berdoa: Wahai para malaikat Allah, jadilah pemberi syafaat bagiku di sisi Allah, mintakanlah kepada Allah bagiku agar menolongku; atau memberi rezki kepadaku; atau memberi petunjuk kepadaku…”3

Tidak Bertawasul dengan Nabi Bukan Berarti Merendahkan Kedudukan beliau

Telah maklum bahwasannya kedudukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang tertinggi di sisi Allah. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling mulia, penghulu Bani Adam. Sehingga penghormatan kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah penghormatan tertinggi di atas seluruh makhluk.

Bersamaan dengan itu, ketika kita menyatakan bahwa tawasul dengan kedudukan beliau di sisi Allah Ta’ala adalah hal yang tidak mungkin dilakukan, bukan berarti hal itu sebagai bentuk perendahan terhadap beliau. Bahkan hal itu kita yakini sebagai bentuk pengagungan dan penjagaan terhadap syariat yang beliau bawa.

Silakan simak penuturan Syaikh Ahmad bin Abdul Halim Al Harrani rahimahullah berikut ini,

فلا يلزم إذن من كون جاهه صلى الله عليه وسلم عند ربه عظيماً، أن نتوسل به إلى الله تعالى لعدم ثبوت الأمر به عنه صلى الله عليه وسلم، ويوضح ذلك أن الركوع والسجود من مظاهر التعظيم فيما اصطلح عليه الناس، فقد كانوا وما يزال بعضهم يقومون ويركعون ويسجدون لمليكهم ورئيسهم والمعظم لديهم، ومن المتفق عليه بين المسلمين أن محمداً صلى الله عليه وسلم هو أعظم الناس لديهم، وأرفعهم عندهم. ترى فهل يجوز لهم أن يقوموا ويركعوا ويسجدوا له في حياته وبعد مماته؟

الجواب: إنه لا بد لمن يجوز ذلك، من أن يثبت وروده في الشرع

“Kalau begitu, tidak mesti kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam yang agung di sisi Allah mengharuskan kita untuk bertawasul dengan beliau kepada Allah Ta’ala, karena tidak ada perintah dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.

Hal ini bisa diperjelas dengan asumsi bahwa rukuk dan sujud juga termasuk bentuk pengagungan menurut anggapan orang-orang. Sejak dahulu hingga sekarang sebagian orang masih saja berdiri, rukuk, dan sujud kepada raja, pemimpin dan pembesar mereka.

Dan sudah menjadi kesepakatan di antara kaum muslimin bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling agung dan paling tinggi kedudukannya di sisi mereka. Menurut anda, apakah diperbolehkan mereka berdiri, rukuk, dan sujud kepada beliau di masa hidupnya ataupun setelah wafatnya?

Jawabannya: bagi yang memperbolehkan hal itu maka wajib memastikan adanya dalil di dalam syariat ini. ”

Beliau melanjutkan ,

وقد نظرنا فوجدنا أن السجود والركوع لا يجوزان إلا له سبحانه وتعالى، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن يسجد أو يركع أحد لأحد، كما أننا رأينا في السنة كراهية النبي صلى الله عليه وسلم للقيام، فدل ذلك على عدم مشروعيته.

ترى فهل يستطيع أحد أن يقول عنا حين نمنع السجود لرسول الله صلى الله عليه وسلم: إننا ننكر جاهه صلى الله عليه وسلم وقدره؟: كلا ثم كلا

“Kami telah meneliti (dalilnya) dan mendapati bahwa sujud dan rukuk tidak diperbolehkan kecuali hanya kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sujud atau rukuk kepada yang lainnya. Sebagaimana kami juga menemukan (dalil) di dalam sunnah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membenci berdiri (untuk menghormati orang lain). Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disyariatkan.

Menurut anda, ketika kami menolak untuk sujud kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, apakah ada seorang yang mampu mengatakan bahwa kami mengingkari mulianya posisi dan kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam (di sisi Allah)? Tidak mungkin.” 4

Setelah penjelasan yang gamblang dari Syaikh Ahmad bin Abdul Halim Al Harrani rahimahullahu di atas, maka kami simpulkan bahwa tidak ada timbal balik sama sekali antara mengakui dan mengagungkan kedudukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tawasul melalui perantara kedudukan tersebut. Selama tidak ada kepastian dalil atau perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.

Demikian penjelasan ringkas seputar tawasul dengan orang saleh beserta cara dan tuntunannya. Semoga dapat melengkapi tulisan sebelumnya dan menjadi amal jariyah bagi pembaca, penukil, dan penulisnya. Amin. FAI-THR

Penulis: Fahri Abu Ilyas


1 Lihat Shahih Mawarid azh-Zham’an (2/440)

2 Sumber kalam: Syarhu al-Ihya’ (2/285). Kami nukil dari at-Tawasul Anwa’uhu wa Ahkamuhu karya Syaikh Nashir al-Albani

3 Al-Qa’idah al-Jalilah fi at-Tawasul wal Wasilah, hlm. 19

4 Al-Qa’idah al-Jalilah fi at-Tawasul wal Wasilah, hlm. 150