oleh

Hukum Berhubungan Saat Puasa di Siang Hari Ramadhan

-Fiqih-2,266 views

Diantara pembatal ibadah puasa adalah berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan. 1 Bahkan perbuatan tersebut merupakan pembatal yang berat dan mengandung konsekuensi yang tidak ringan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui hukum dan konsekuensi hal ini. Apa konsekuensi bagi yang melakukan pembatal tersebut? Silakan simak pembahasan berikut.

Dalil Haramnya Berhubungan Saat Puasa di Siang Hari Ramadhan

Sebelum kita membahas apa konsekuensi bagi yang berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan, kami akan memaparkan terlebih dahulu beberapa dalil yang mengharamkan berhubungan saat puasa di siang hari ramadhan. Dalil tersebut terdapat dalam al-Quran, hadits dan ijmak ulama.

Dalil dari al-Quran adalah firman Allah Ta’ala,

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Maka sekarang gaulilah mereka (istri) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (al-Baqarah: 187)

Dijelaskan oleh ahli tafsir, Syaikh Abdurrahman bin Nashir (w. 1376 H) , maksud dari ayat di atas (makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar) adalah “ini (fajar) merupakan batas akhir untuk makan, minum, dan berhubungan suami istri.” 2

Kemudian tafsir ayat (sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam) “adalah menahan diri dari berbagai macam pembatal puasa sampai tiba waktu malam, yaitu terbenamnya matahari”.3

Dalil dari hadits adalah kisah yang dibawakan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah menceritakan:

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ»، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا». قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالعَرَقُ المِكْتَلُ قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ» فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»

“Ketika kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata, “Wahai Rasulullah aku telah binasa.” Rasul menjawab, “mengapa kamu?” Laki-laki tadi menjawab, “aku telah menggauli istriku dalam keadaan aku berpuasa.”

Rasul bertanya lagi, “apakah kamu memiliki budak yang bisa kamu bebaskan?” Ia menjawab, “tidak.” Rasul kembali bertanya, “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “tidak.” Rasul lanjut bertanya, “apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin?” Lagi-lagi ia menjawab, “tidak”.

Rasulullah diam sejenak, lalu di saat itu beliau diberi satu keranjang4 kurma. Rasul-pun berbicara, “Mana yang bertanya tadi?” Laki-laki tersebut menyahut, “saya”. Rasul memberi perintah kepadanya, “Ambilah satu keranjang kurma ini dan bersedakahlah dengannya.” Ia berkata, “Wahai Rasul, apakah aku sedekahkan kepada orang yang lebih fakir dariku? Demi Allah tidak ada di antara dua tanah lapang ini orang yang lebih miskin daripada keluargaku.”

Nabi-pun tertawa hingga terlihat gigi taringnya kemudian berkata kepadanya, “Berikanlah kurma itu kepada keluargamu!”5

Adapun dalil dari ijmak ulama, hal ini telah dinukilkan di dalam berbagi macam literatur Islam bahwa orang yang berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan batal puasanya. Tidak jarang beberapa ulama yang sengaja membuat pasal atau bab khusus terkait batalnya puasa disebabkan berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan.

Diantaranya disebutkan oleh Imam Ibnu Mulaqqin Umar bin Ali as Syafi’i (w. 804 H) dalam kitabnya at-Tadzkirah fi al-Fiqhi asy-Syafi’i,

فَصْلٌ، الجِمَاعُ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ

“Pasal jimak/berhubungan (saat puasa) di siang hari Ramadhan.”6

Demikian pula an-Nawawi (w. 676 H) membuat sebuah judul dalam kitabnya al Majmu’,

مَسَائِلَ تَتَعَلَّقُ بِالْجِمَاعِ فِي صَوْمِ رَمَضَانَ

“Beragam pembahasan yang berkaitan dengan jimak/berhubungan saat puasa (di siang hari) Ramadhan.”7

Permasalahan ini tidak ada perselisihan pendapat di antara ulama, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah (w. 620) di dalam kitabnya al-Mughni,

لاَ نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا

“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama.”8

Hukuman Bagi yang Berhubungan Saat Puasa di Siang Hari Ramadhan

Setelah kita mengetahui dan yakin bahwa berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan merupakan perkara yang terlarang dan haram, selanjutnya kita akan bahas hukuman dan konsekuensi bagi yang melakukannya.

Ulama menjelaskan konsekuensi hukum yang berlaku bagi yang berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan sangatlah berat. Hal ini tersimpulkan dalam lima poin berikut:

Pertama, ia telah melakukan dosa besar. Sebab ia telah merusak puasa wajib bulan Ramadhan. Setiap orang yang merusak amalan wajib maka ia telah berdosa dengan dosa yang besar. Dalil yang menunjukan hal itu sangatlah jelas dipahami dari hadits Abu Hurairah di atas. Yakni, pada ucapan si penanya “aku binasa” dan Rasul tidak menyalahkan ucapannya.

Kedua, puasanya rusak atau batal, karena ia telah melakukan salah satu pembatal puasa yang telah disepakati ulama.

Ketiga, wajib baginya menahan diri dari berbagi macam pembatal puasa yang lainnya sebagai bentuk hukuman. Sebab, tidak dizinkan bagi siapapun untuk melakukan pembatal puasa di siang hari Ramadhan kecuali ada udzur syar’i.

Keempat, wajib baginya mengganti puasa sebanyak hari yang telah batal.

Kelima, wajib baginya membayar kafarat9 sebagaimana tersebut dalam hadits.

Kafarat Bagi yang Berhubungan Saat Puasa di Siang Hari Ramadhan

Perbedaan antara pembatal puasa biasa dengan berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan adalah adanya kafarat yang wajib ditebus. Apa saja kafarat tersebut? Berikut ini tahapan kafarat yang harus ditunaikan yang disimpulkan dari hadits Abu Hurairah di atas.

Kafarat yang wajib di bayar ada tiga tahapan: membebaskan budak, puasa dua bulan beturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarat ini wajib ditunaikan secara berurutan, jika tidak mampuh membayar kafarat tahapan pertama maka diperbolehkan beralih kepada kafarat berikutnya, demikian seterusnya.

Jadi jenis kafarat bagi yang berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan adalah:

  1. Membebaskan budak, keselarasan antara membebaskan budak dengan perkara yang ia langgar yaitu berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan adalah karena ia telah melakukan kesalahan terhadap dirinya, maka ia menebus dirinya dengan menebus budak.

Ia wajib menunaikannya, sampai ia tidak mampu.

Dijelaskan oleh ulama, tidak mampu dalam hal ini adalah karena ia tidak mendapati seorang pun budak untuk ia beli atau ia tidak memiliki uang untuk membeli budak.

  1. Berpuasa selama dua bulan berturut-turut10, tidak boleh terputus kecuali ada udzur syar’i, seperti haidh, nifas, hari raya iedul adha, hari-hari tasyrik, sakit dan safar.11
  2. Memberi makan 60 orang miskin dengan setengah sha’12(-+ 1,5 kg) gandum, beras atau selainnya dari makanan pokok di negrinya. Boleh dengan makanan mentah atau yang sudah masak.

Syarat Ditegakkan Hukum Bagi yang Berhubungan Saat Puasa di Siang Hari Ramadhan

Seorang yang terjatuh pada dosa besar seperti berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan, tidak mesti harus ditegakkan hukuman pada setiap keadaan. Namun harus terpenuhi beberapa syarat berikut:

Pertama, dia termasuk orang yang wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Adapun orang yang tidak wajib melaksankan puasa, seperti orang gila atau anak kecil, maka tidak ada hukuman dan kafarat baginya. Pembahasan tentang siapa saja yang wajib berpuasa bisa lihat pada artikel: PENGERTIAN PUASA DALAM ISLAM

Kedua, tidak ada udzur syar’i, seperti safar atau sakit yang ia berbuka puasa karenanya.

Ketiga, ia menggauli istrinya pada kemaluannya ibarat timba masuk sumur walaupun tidak mengeluarkan air mani. Adapun jika hanya sekedar bercumbu dengan istrinya maka tidak terkena kafarat walaupun sampai mengeluarkan air mani.

Keempat, ia dalam keadaan sadar ketika menggauli istrinya, tidak lupa, tidak terpaksa dengan paksaan yang keras.

Kesimpulan

Kesimpulannya hukuman bagi yang melakukan jimak atau berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan ada lima. Yaitu:

  1. berdosa,
  2. puasanya rusak,
  3. wajib menahan diri dari berbagai pembatal puasa lainnya di hari yang ia melakukan jimak,
  4. wajib mengganti puasanya dan
  5. wajib membayar kafarat.

Tentu semua itu harus dilakukan dengan penuh ikhlas disertai taubat dan istigfar.

Demikian pembahasan hukuman bagi yang berhubungan saat puasa di siang hari Ramadhan. Hukuman yang sangat berat ini menunjukan kesucian bulan Ramadhan dan betapa mahalnya nilai puasa di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab, puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, akan tetapi syahwat pun wajib dijaga. Semoga Allah lindungi kita semua dari pembatal-pembatal puasa di setiap kita menjalani ibadah puasa Ramadhan. Amin. MA-IWU

Penulis: Muhammad Aufa

Referensi:

  • al-Fiqhu al-Muyassar
  • asy-Syarhu al-Mumti’

Footnotes

  1. Kalimat “berhubungan saat puasa” pada pembahasan kali ini merupakan ungkapan atau ibarat dari jimak atau menggauli istri. Hal ini penting karena pembahasan fikih sangat luas, jika salah memahami makna maka penerapan hukum pun bisa salah.
  2. Tafsir Taisir al-Karim ar-Rahman, Surat al-Baqarah ayat 187
  3. Idem
  4. keranjang yang terbuat dari daun kurma-
  5. HR. Al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111 di dalam Shahih keduanya, dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
  6. Kitab at-Tadzkirah fi al-Fiqhi asy-Syafi’i hal. 53
  7. Kitab al Majmu’ syarh al muhadzab (6/ 344)
  8. Kitab al Mughni (3/134)
  9. Menurut KBBI, kafarat adalah denda yg harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji.
  10. Dua bulan di sini maknanya enam puluh hari. Pendapat ini dipilih oleh Komite Riset Ilmiah dan Fatwa (Lajnah Daimah) kerajaan Arab Saudi pada fatwanya no. 8789
  11. Safar disini adalah safar yang sebenarnya, benar-benar ada kebutuhan, bukan safar dengan maksud agar bisa berbuka. Jika safar dengan maksud tersebut maka ia teranggap memutus puasanya.
  12. Ukuran satu sha sama dengan empat mud. Ulama berbeda pendapat dalam ukuran yang diberikan kepada miskin, ada yang berpendapat satu mud (-+750 g) ini yang dipilih madzhab Hanabilah dan ada yang mengatakan setengah sha’ (-+ 1,5 kg) ini yang dipilih selain hanabilah dan dipilih pula oleh komite riset ilmiyah dan fatwa kerajaan saudi sebagaiman tersebut pada fatwanya no. 8789 dan pendapat ini lebih hati-hati. Namun di sana juga ada yang meyakini pendapat yang benar adalah tidak ada ukuran tertentu yang penting mengenyangkan.