oleh

Aqidah Tauhid adalah Intisari Dakwah Seluruh Nabi

Aqidah tauhid yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak 14 abad silam tidak lain merupakan ajaran yang sama, yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Aqidah tauhid adalah inti dari aqidah Islam dan bahkan inti aqidah seluruh para nabi.

Hakikat Aqidah Tauhid

Untuk bisa sampai pada kesimpulan bahwa aqidah tauhid adalah intisari dakwah seluruh nabi, maka kita perlu mengetahui hakikat tauhid itu sendiri.

Kata tauhid adalah masdar (akar kata) dari wahhada yuwahhidu (وحديوحد), artinya adalah menunggalkan atau mengesakan.1

Sehingga aqidah tauhid itu maknanya adalah keyakinan yang kuat bahwa hanya Allah semata yang berhak diibadahi serta memurnikan ibadah itu sendiri hanya untuk-Nya. Ibadah tersebut sedikit pun tidak ditujukan kepada selain-Nya.

Dengan pengertian di atas, maka kalimat syahadat la ilaha illallah paling tepat diartikan dengan makna: tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata.2

Imam al-Maqrizi3 rahimahullahu menyatakan,

ولُبَاب التّوحيد: أن يرى الأمور كلها لله – تعالى -، ثم يقطع الالتفات إلى الوسائط، وأن يعبده سبحانه عبادة يفرده بها، ولا يعبد غيره

“Inti aqidah tauhid adalah meyakini bahwa segala sesuatu datangnya hanya dari Allah Ta’ala, kemudian ia memutus segala ketergantungan kepada perantara-perantara (makhluk) yang ada. Lalu beribadah kepada-Nya Subhanahu Wa Ta’ala semata dan tidak beribadah kepada selain-Nya.”4

Konsep Tauhid Ada Dua: Peniadaan dan Penetapan

Di antara hal yang penting untuk dipahami adalah bahwasannya aqidah tauhid mengandung dua unsur makna yang sangat fundamental (pokok), yaitu peniadaan dan penetapan. Keduanya terkandung dalam kalimat syahadat la ilaha illallah.

Kata la ilaha (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi) merupakan peniadaan. Sehingga berkonsekuensi bahwa segala bentuk sesembahan tidak ada yang pantas atau berhak untuk diibadahi. Baik sesembahan tersebut berupa sosok yang terlihat seperti: manusia, binatang, pepohonan, atau benda-benda lainnya. Maupun sesembahan yang sosoknya tidak terlihat seperti roh halus, jin, atau malaikat.

Adapun kata illallah (kecuali Allah semata) merupakan penetapan. Artinya adalah penetapan dan penegasan bahwa hanya Allah saja yang pantas dan berhak untuk diibadahi. Dengan meyakini dan mengamalkan dua unsur ini sekaligus, maka akan tercapai hakikat aqidah tauhid itu.

Seluruh Nabi Mengajak kepada Aqidah Tauhid

Setelah kita mengetahui hakikat aqidah tauhid, berikut ini akan kami paparkan beberapa dalil bahwa seluruh para nabi mengajak umatnya kepada aqidah tauhid tersebut. Secara umum Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun sebelummu (Muhammad) kecuali selalu Kami wahyukan kepadanya bahwasannya tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (al-Anbiya’: 25)

Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa para rasul sebelum Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu berupa syahadat la ilaha illallah. Dan telah kita ketahui bersama bahwa itulah hakikat aqidah tauhid.

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras5 menerangkan, “La ilaha illallah adalah kalimat tauhid yang disepakati oleh para rasul seluruhnya. Bahkan kalimat ini adalah inti dakwah mereka dan pokok ajaran risalah (kitab suci) mereka. Tidak ada seorang rasul pun kecuali pasti menjadikan kalimat ini sebagai pembuka dakwahnya dan sebagai porosnya.”6

Maka materi dakwah para nabi seluruhya adalah sama, yaitu aqidah tauhid. Untuk lebih meyakinkan pembaca, silakan simak beberapa penuturan langsung para nabi tersebut ketika mengajak kaumnya. Hal ini banyak dinukil di dalam al-Quran.

Dakwah Nabi Nuh kepada Kaumnya

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Maka ia berkata: Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah! Kalian tidak mempunyai sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia (Allah). Sungguh aku khawatir kalian akan ditimpa azab yang besar.” (al-A’raf: 59)

Nabi Nuh mengajak kaumnya untuk meyakini aqidah tauhid.

Dakwah Nabi Hud kepada Kaumnya

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Kepada kaum ‘Ad kami utus saudara mereka, Hud. Maka ia berkata: Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah! Kalian tidak mempunyai sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia (Allah), tidakkah kalian mau bertakwa?” (al-A’raf: 65)

Nabi Hud menyeru kaumnya kepada aqidah tauhid.

Dakwah Nabi Shalih kepada Kaumnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Kepada kaum Tsamud kami utus saudara mereka, Shalih. Maka ia berkata: Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah semata! Kalian tidak mempunyai sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia (Allah). Telah datang kepada kalian keterangan yang nyata dari Rabb kalian. Inilah unta Allah yang menjadi bukti bagi kalian.

Maka biarkanlah unta tersebut mencari makan di bumi Allah dan janganlah kalian berbuat jelek kepadanya, sehingga menyebabkan kalian ditimpa azab yang pedih!” (al-A’raf: 73)

Tidak lain seruan Nabi Shalih kepada kaumnya adalah ajakan kepada aqidah tauhid.

Dakwah Nabi Ibrahim kepada Aqidah Tauhid

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27)

“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari sesembahan yang kalian ibadahi. Kecuali hanya satu sesembahan saja yang telah menciptakan aku (Allah), karena sungguh Ia akan memberiku petunjuk.” (az-Zukhruf: 26-27)

Di ayat ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berlepas diri dari segala bentuk peribadahan kaumnya dan hanya menetapkan satu peribadahan saja, yaitu beribadah kepada Allah semata. Inilah makna aqidah tauhid sebagaimana yang kami jelaskan di atas.

Dakwah Nabi Musa kepada Kaumnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (138) إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (139) قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (140)

“Kami selamatkan Bani Israil dari samudra, lalu mereka datang kepada sebuah kaum yang mengelilingi (mengibadahi) berhala-berhala mereka. Lantas mereka (Bani Israil) berkata: Wahai Musa, adakanlah satu sesembahan untuk kami sebagaimana sesembahan-sesembahan mereka. Musa menjawab: kalian memang kaum yang bodoh.

Mereka itu akan celaka dan amal yang mereka kerjakan adalah batil. Musa melanjutkan: Apakah kalian hendak mencari sesembahan selain Allah? padahal Dia telah meninggikan keutamaan kalian atas seluruh alam?” (al-A’raf: 138-140)

Di sini Nabi Musa ‘alaihis salam mengingkari Bani Israil dengan keras ketika meminta diadakan satu sesembahan selain Allah, demi menjaga keselamatan aqidah tauhid kaumnya.

Dakwah Nabi Isa kepada Kaumnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah al-Masih bin Maryam. Sementara al-Masih sendiri berkata: Wahai Bani Israil, beribadahlah kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Sesungguhnya (balasan) orang yang menyekutukan Allah adalah Allah akan mengharamkan surga untuknya dan tempat kembalinya adalah neraka. Tidak ada satu penolong pun bagi orang-orang yang zalim tersebut.” (al-Maidah: 72)

Pada ayat di atas, Nabi Isa ‘alaihis salam membantah statemen orang-orang kafir yang menganggap dirinya sebagai sesembahan yang diibadahi, seraya megajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata.

Para Nabi Seluruhnya Bagaikan Saudara Se-ayah

Demikian gambaran umum dakwah para nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uraian di atas meyakinkan kita bahwa inti ajaran seluruh nabi adalah sama, yaitu aqidah tauhid.

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan yang sangat sesuai tentang para nabi tersebut. Yaitu, para nabi bagaikan saudara seayah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

“Aku adalah orang yang paling dekat dengan Isa bin Maryam di dunia dan di akhirat. Seluruh para nabi adalah saudara seayah. Ibu-ibu mereka berbeda akan tetapi agama mereka satu.”7

Menjelaskan hadits di atas, al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu menyatakan,

وَمَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ أَصْلَ دِينِهِمْ وَاحِدٌ وَهُوَ التَّوْحِيدُ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ فُرُوعُ الشَّرَائِعِ

“Makna hadits tersebut adalah bahwa pokok agama para nabi adalah satu, yaitu aqidah tauhid. Meskipun cabang-cabang syariat/tuntunan agama mereka berbeda-beda.”8

Penting! Perjanjian Para Nabi dengan Allah Ta’ala

Cukup gamblang kiranya penjelasan yang telah kami paparkan di atas. Namun, ada satu hal penting yang tidak boleh terlewatkan oleh para pembaca sekalian. Yaitu, meskipun para nabi terdahulu mengajak kepada aqidah tauhid yang sama, akan tetapi di zaman kita sekarang syariat mereka tidak berlaku lagi!

Kenapa demikian? Karena para nabi telah terikat dengan sebuah perjanjian antara Allah dengan mereka. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa setiap kali datang seorang nabi baru dengan membawa syariat yang baru, maka ia harus mengikuti syariat tersebut dan meninggalkan syariat yang ia bawa. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian terhadap para nabi (yang berisi), bahwa setiap kali kalian mendapat kitab suci dan hikmah (sunnah) kemudian datang menyusul kalian seorang rasul yang membenarkan (memperbaharui) ajaran kalian, maka kalian harus beriman dengannya dan menolongnya. Allah berkata: Apakah kalian setuju dan siap menjalankan perjanjianku ini?

Mereka (para nabi) menjawab: Iya kami setuju. Allah berkata: Persaksikanlah hal ini dan Aku termasuk saksi bagi kalian.” (Ali Imran: 81)

Maka ajaran yang harus diikuti semenjak diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat nanti adalah ajaran Islam yang beliau bawa. Tidak diperkenankan mengikuti ajaran-ajaran yang lainnya, sekalipun ajaran tersebut dinisbatkan kepada salah satu nabi sebelumnya.

Terlebih lagi berbagai ajaran dan agama tersebut telah bergeser dari asas aqidah tauhid itu sendiri! Tidak sebagaimana awal mulanya ketika diajarkan para nabi tersebut. Hal ini dipertegas langsung oleh sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin al-Khaththab ketika membolak-balik lembaran taurat. Seketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمُتَهَوِّكُونَ أَنْتُمْ كَمَا تَهَوَّكَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا اتِّبَاعِي

“Apakah kamu ingin menyimpang sebagaimana kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang? Sungguh, Aku telah membawa ajaran agama bagaikan warna putih bersih (sangat jelas). Andaikata Musa masih hidup tidak ada jalan lain baginya kecuali harus mengikuti ajaranku!”9

Walhasil, yang ingin kami titik beratkan adalah inti ajaran yang didakwahkan seluruh para nabi adalah aqidah tauhid. Meski demikian, bagi yang ingin meyakini dan menerapkan aqidah tersebut di masa ini, maka wajib memeluk ajaran Islam yang dibawa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. FAI-THR

Penulis : Fahri Abu Ilyas


Footnotes

  1. Lihat al-Qamus al-Muhith hlm.324.
  2. Diintisarikan dari beberapa sumber, antara lain: Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah (1/57), Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah (hlm. 47), Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah (hlm. 23).
  3. Imam al-Maqrizi adalah salah satu ulama Syafi’iyyah yang tinggal di Mesir. Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al-Husaini. Beliau berguru langsung kepada beberapa ulama terkemuka di masanya, seperti : Sirajudin al-Bulqini, Zainudin al-‘Iraqi, al-Haitsami, at-Tanukhi, dan lainnya. Biografi beliau lebih lanjut dapat dibaca di dalam adh-Dhau al-Lami’ (1/21); Inba’ al-Ghumar (9/170); Syadzarat adz-Dzahab (4/254).
  4. Tajrid at-Tauhid (hlm. 22 – 23).
  5. Beliau adalah seorang profesor dalam bidang ushuludin di Universitas al-Azhar Kairo. Sempat menjadi kepada Jurusan Aqidah di Universitas Muhammad bin Su’ud di Riyadh dan Universitas Ummul Qura Makah. Wafat pada tahun 1975 dalam usia 60 tahun.
  6. Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah (hlm. 55).

    لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ: هِيَ كَلِمَةُ التَّوْحِيدِ، الَّتِي اتَّفقت عَلَيْهَا كَلِمَةُ الرُّسُلِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ؛ بَلْ هِيَ خُلَاصَةُ دَعَوَاتِهِمْ وَزُبْدَةُ رِسَالَاتِهِمْ، وَمَا مِنْ رَسُولٍ مِنْهُمْ إِلَّا جَعَلَهَا مُفْتَتَحَ أَمْرِهِ، وَقُطْبَ رَحَاهُ

  7. HR. al-Bukhari no.3443 di dalam Shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah.
  8. Fathul Bari (6/489).
  9. HR. Ahmad no. 15156 dan ad-Darimi no. 449, dari Sahabat Jabir, hasan. Silakan merujuk Irwa’ al-Ghalil (1589); Misykah al-Mashabih (177); Zhilal al-Jannah (50).