oleh

Apakah Pasti Masuk Surga Mengucapkan Kalimat Tauhid di Akhir Hayat

Seorang yang mengucapkan syahadat sebelum wafatnya apakah ia masuk dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut?

”Siapa yang akhir kalamnya di dunia لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ (Laa ilaaha illallah) niscaya masuk surga” 

Jawaban:

Jika seseorang berkata “Laa ilaaha illallah” -di saat kematiannya – dan hatinya meyakininya maka ia termasuk yang disebut di dalam hadits ini.

Namun hendaknya diperhatikan bahwa:

”Nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah yang secara umum menyebutkan tentang suatu perkara yang memasukkan ke dalam surga atau ke neraka, tidak diterapkan kepada individu tertentu kecuali dengan adanya dalil.”

Sebagai permisalan hadits:

مَنْ كَانَ آخِرَ كَلامِهِ لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Siapa yang akhir ucapannya لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ (Laa ilaaha illallah) niscaya masuk surga”.

Andai kita mengetahui bahwa orang ini, akhir ucapannya di dunia adalah اَ إلهَ إِلاَّ اللهُ maka yang kita ucapkan: “Semoga ia termasuk penghuni surga.”

Sehingga kita tidak men-jazm (memastikan) individu tertentu sebagai penghuni surga.

Tidak lain katakan “diharapkan” jika orang itu dalam kebaikan dan “dikhawatirkan” apabila orang tersebut dalam kejelekan saat kematiannya. Sebab dibedakan antara yang umum dan yang khusus.

Kita bersaksi, mengetahui, dan meyakini bahwa setiap mukmin ada di surga. Lalu apakah kita bersaksi bahwa setiap mukmin secara individunya ia di dalam surga?

Tentu jawabannya: Tidak!

Akan tetapi jika kita mengetahui bahwa ia seorang mukmin, kita berharap semoga ia masuk di dalam surga.

Kita beriman bahwa Allah Ta’ala mencintai seorang yang mukmin dan berbuat baik. Sehingga, andaikan kita melihat seseorang berbuat ihsan (baik) dan menyaksikan seorang mukmin menegakkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, apakah kita bersaksi bahwa Allah mencintainya?

Jawabannya juga Tidak!

Sebab ta’yin (penentuan secara khusus) bukanlah ta’mim (penetapan secara umum). Namun yang kita katakan:

“Kami bersaksi untuk setiap mukmin secara umum bahwa Allah mencintainya dan kami berharap semoga orang ini secara individunya termasuk golongan yang Allah ‘azza wa jalla mencintainya”.

Imam Al Bukhari rahimahullah dalam shahihnya telah mengisyaratkan kepada hal ini. Beliau berkata:

“Bab: Tidak dikatakan “Fulan mati syahid”.”

Walaupun ia terbunuh fi sabilillah jangan katakan bahwa ia mati syahid. Dan beliau berdalil dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ

“Tidaklah seseorang terluka di jalan Allah –dan Allah yang lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya- kecuali ia datang pada hari Kiamat dan lukanya masih mengeluarkan darah, warnanya warna darah sedangkan aromanya aroma misik.”

Sabda beliau,“dan Allah yang lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya” mengisyaratkan untuk tidak memberi kesaksian secara khusus kepada individu tertentu.

Bahkan katakan: “Allah yang lebih mengetahui”.

Dan Amirul Mukminin, Umar radhiallahu ‘anhu berkhutbah lalu berkata:

“Sesungguhnya kalian mengucapkan: “Si fulan syahid! Si fulan syahid!” Padahal kamu tidak mengetahui mungkin ia berbuat demikian dan demikian? Namun hendaknya yang kalian katakan,” Siapa yang mati fi sabilillah atau terbunuh maka ia syahid.”

Sehingga beliau radhiallahu ‘anhu membedakan antara ta’yin (penentuan khusus) dan ta’mim (penetapan secara umum).”

Disadur dari kitab Fatwa Ulama. Fataawa Nuurun ‘alad Darb, 1/ 78 – 79.

Oleh: Al-Ustadz Abdullah Ayman

join chanel telegram islamhariini 2

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *