oleh

Apakah Berjabat Tangan dengan Non Muslim Membatalkan Wudhu?

-Fiqih-2,166 views

Berjabat tangan dengan seorang non muslim mungkin masih menjadi problem bagi sebagian kita, terkhusus bagi yang memiliki kerabat non muslim atau setidaknya berdomisili di tengah-tengah komunitas non muslim. Sehingga tak jarang muncul pertanyaan, “Apakah berjabat tangan dengan non muslim membatalkan wudhu??” Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita baca dengan seksama pada penjelasan berikut.

Apakah Anggota Tubuh Non Muslim Najis?

Sebelumnya penting bagi kita mengetahui terlebih dahulu apakah tubuh non muslim itu suci ataukah najis? Para ulama berbeda pandangan dalam permasalahan ini. Berikut ini penjelasannya.

  1. Anggota tubuh non muslim adalah najis seperti najisnya anjing dan babi. Hal ini berdasarkan dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّمَا الْمُشْرِكونَ نَجَسٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (at-Taubah: 29)

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Imam Umar bin Abdil Aziz dan al-Imam al-Hasan al-Bashri. Bahkan beliau rahimahullah mewajibkan berwudhu lagi bagi orang yang berjabat tangan dengan non muslim.1

  1. Anggota tubuh manusia secara umum adalah suci, baik muslim maupun non muslim. Adapun najis yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas adalah najis dari sisi keyakinan serta kebiasaan mereka yang tidak bersuci dari junub.2 Pendapat kedua ini diperkuat dengan beberapa alasan,
  • Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan bagi umat Islam untuk memakan makanan Ahlul Kitab, Yahudi maupun Nasrani.3&4 Andaikan anggota tubuh Ahlul Kitab itu najis, tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghalalkannya.
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengizinkan orang musyrik masuk ke dalam masjid. Sekiranya anggota tubuh mereka najis, niscaya Nabi akan menjauhkan mereka dari masjid. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Tsumamah bin Utsal radhiyallahu’anhu manakala beliau diikat di salah satu tiang masjid Nabawi. Ketika itu beliau masih dalam keadaan musyrik. 5&6

Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh jumhur ulama. Di antaranya adalah ulama mazhab Syafi’iyyah.7 Sehingga berjabat tangan dengan non-muslim menurut ulama Syafi’iyyah tidaklah membatalkan wudhu.

Berikut ini pernyataan salah satu ulama mazhab Syafi’iyyah,

Pernyataan al-Imam an-Nawawi Terkait Kesucian Tubuh Non Muslim

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan di dalam kitab beliau yang berjudul al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj,

“Terkait kesucian tubuh orang kafir, maka sebagaimana layaknya seorang muslim. Ini adalah pendapat mazhab kami dan juga jumhur ulama salaf dan khalaf.”

Adapun terkait firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّمَا الْمُشْرِكونَ نَجَسٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.”

Beliau rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya adalah najis dari sisi keyakinan dan kebiasaan buruk mereka (yaitu tidak pernah mandi junub-pen.). Hal ini bukan berarti bahwa tubuh mereka najis layaknya air seni, tinja, dan yang semisalnya.”

Kemudian sang penulis menegaskan,

“Manakala sudah dapat dipastikan kesucian anggota tubuh manusia secara umum, baik muslim maupun kafir, maka keringat, air liur, dan air mata orang kafir dapat dipastikan pula kesuciannya. Baik dalam kondisi ia berhadats, junub, haidh, maupun nifas. Ini semua telah disepakati kaum muslimin.”8

Setelah kita mengetahui bahwa anggota tubuh non muslim itu suci dan tidak najis, alangkah baiknya kita meluruskan anggapan sebagian orang terkait benda najis yang mengenai seorang yang telah berwudhu.

Berikut ini penjelasannya,

Apakah Berjabat Tangan atau Menyentuh Anggota Tubuh Non Muslim Membatalkan Wudhu?

Menyentuh benda najis seperti tinja, air seni, dan yang semisalnnya tidaklah membatalkan wudhu. Hal ini sebagaimana yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat. Suatu ketika beliau ditegur oleh malaikat Jibril alaihissalam terkait sandal beliau yang terkena najis. Serta merta beliau melepaskan sandal dan melanjutkan shalat hingga selesai tanpa mengulanginya.9

Para ulama mengatakan bahwa hal ini menunjukkan wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah batal meskipun menginjak benda najis.

Adapun terkait cara bersuci dari najis yang mengenai badan atau pakaian bukanlah dengan berwudhu, namun dengan membasuhnya dengan air10 atau dengan melepas pakaian tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Oleh karena itu ulama mengatakan bahwa seorang yang telah berwudhu, kemudian dia terkena najis, maka cukup baginya untuk membersihkan najis tersebut tanpa perlu mengulang wudhunya.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah lalu, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut,

  • Anggota tubuh non muslim tidaklah najis berdasarkan pendapat yang dipilih oleh para ulama mazhab Syafi’iyyah.
  • Kalaupun anggota tubuh non muslim itu najis sebagaimana pendapat sebagian para ulama, maka terjadinya kontak fisik dengan mereka tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga setelah berjabat tangan dengan non muslim, tidak perlu mengulangi wudhu. Wallahu A’lam.

Penutup

Sekian sajian ringkas dari kami terkait berjabat tangan dengan non muslim. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala terus menambahkan kepada kita semua wawasan seputar agama dan mengistiqamahkan kita di atas jalan-Nya yang lurus. Aamiin. HAN-MPS/THR

Penulis: Abdullah Haunan

Referensi:

  1. Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasharil Muzani, karya al-Imam Abul-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Mawardi asy-Syafi’i rahimahullah (450 H).
  2. Al-Minhaj Syarhun Nawawi ala Muslim, karya al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah (631-676 H).
  3. Tafsir at-Thabari, karya al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid at-Thabari asy-Syafi’i rahimahullah (224-310 H).
  4. Tafsir Ibnu Katsir, karya al-Imam Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qurasyi asy-Syafi’i rahimahullah (700-774 H).
  5. Ashlu Shifat Shalat an-Nabi, karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh rahimahullahu (1420 H).
  6. Al-Fiqhul Muyassar.

1 Lihat al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasharil Muzani, 1/81.

أَنَّهُمْ أَنْجَاسُ الْأَبْدَانِ كَنَجَاسَةِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ، وَهَذَا قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ كَذَلِكَ، وَأَوْجَبَ الْوُضُوءَ عَلَى مَنْ صَافَحَهُمْ.

2 Lihat Tafsir at-Thabari, 14/191.

هم نجسسماهم بذلك، لأنهم يجنبون فلا يغتسلون، فقالقال بعضهم

3 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal pula bagi mereka.” (al-Maidah: 5)

4 Alasan ini dinukil di dalam Tafsir Ibnu Katsir, 4/131.

وَأَمَّا نَجَاسَةُ بَدَنِهِ فَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْبَدَنِ وَالذَّاتِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّ طَعَامَ أَهْلِ الْكِتَابِ،

5 HR. Al-Bukhari, no. 4372 dan Muslim no. 59/1764.

أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ

بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، سَيِّدُ أَهْلِ الْيَمَامَةِ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ،

(أطلقوا ثمامةعِنْدِي يَا مُحَمَّدُ خَيْرٌ، فذكر الحديثَ قالَقال. فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ ما عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ

6 Alasan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasharil Muzani, 1/80.

وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَكَانَ أَوْلَى الْأُمُورِ بِهِ تَطْهِيرُ مَسْجِدِهِ مِنْهُ، وَلِأَنَّ الِاعْتِقَادَ لَا يُؤَثِّرُ فِي تَنْجِيسِ الْأَعْيَانِ، وَلَوْ كَانَ بِسُوءِ مُعْتَقَدِهِ يُنَجِّسُ مَا كَانَ طَاهِرًا لَكَانَ حُسْنُ مُعْتَقَدِنَا يُطَهِّرُ مَا كَانَ نَجِسًا

7 Lihat al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasharil Muzani, 1/81.

الْمُشْرِكُونَ عَلَى أَصْلِ الطَّهَارَةِ في أبدانهم، وثيابهم، وأوانيهم، وهو قول جمهور الْفُقَهَاءِ

8 Silahkan merujuk kembali pada kitab Syarhun Nawawi ala Muslim, no. 4/66.

وَأَمَّا الْكَافِرُ فَحُكْمُهُ فِي الطَّهَارَةِ وَالنَّجَاسَةِ حُكْمُ الْمُسْلِمِ هَذَا مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْجَمَاهِيرِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ

وَأَمَّا قَوْلُ الله عز وجل انما المشركون نجس فَالْمُرَادُ نَجَاسَةُ الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَةٌ كَنَجَاسَةِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَنَحْوِهِمَا فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَةُ الْآدَمِيِّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا فَعِرْقُهُ وَلُعَابُهُ وَدَمْعُهُ طَاهِرَاتٌ سَوَاءٌ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ وَهَذَا كُلُّهُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ

9 Teks hadits selengkapnya diriwayatakan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 11877 disahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin dalam Ashlu Shifat Shalat an-Nabi no. 1/110

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمَّا كَانَ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ خَلَعَ نَعْلَيْهِ، فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ، خَلَعُوا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ، قَالَ: ” مَا بَالُكُمْ ‌أَلْقَيْتُمْ ‌نِعَالَكُمْ؟ قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ، فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي، فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ: أَذًى فَأَلْقَيْتُهُمَا، فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَلْيَنْظُرْ فِي نَعْلَيْهِ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ: أَذًى فَلْيَمْسَحْهُمَا وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

10Al-Fiqhul Muyassar hlm. 51

وإن كانت النجاسة من البول والغائط والدم ونحوها: فإنها تغسل بالماء مع الفرك والعصر حتى تذهب وتزول، ولا يبقى لها أثر، ويكفي في غسلها مرة واحدة.