oleh

Adzan Merdu Tapi Keliru? Pembahasan Seputar Tata Cara Adzan yang Benar

-Fiqih-3,214 views

Pada artikel ringkas ini kami akan mencoba sedikt mengupas tentang tata cara adzan yang disyariatkan, termasuk adzan yang dikumandangkan dengan merdu dan mendayu-dayu, seakan-akan punya irama dan lekukan nada yang khas. Apakah benar tata cara adzan yang demikian?

Adzan merupakan panggilan khusus bagi kaum muslimin untuk menunaikan ibadah agung shalat wajib lima waktu. Gema suara adzan di negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu sudah biasa terdengar setiap harinya.

Bahkan, lantunan adzan punya daya tarik tersendiri bagi sebagian orang. Mendengar suara adzan yang dikumandangkan dengan merdu dan mendayu-dayu seakan menimbulkan kerinduan di hati untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal itu bisa saja kita pandang sebagai hal yang baik dan positif. Sebab, penilaian kita hanya bersandar kepada perasaan pribadi dan testimoni para pendengar yang notabene adalah masyarakat umum yang tidak banyak wawasan ilmu agamanya. Sudah pasti banyak masyarakat yang akan mengacungi jempol para muadzin yang mampu melantunkan adzan dengan begitu merdu dan syahdunya.

Namun, sudahkah kita memastikan dan bertanya kepada para ustadz atau alim ulama perihal hukum tata cara adzan yang biasa kita dengarkan itu?

Tata Cara Adzan yang Benar dengan Suara Nyaring, Bukan Sekadar Merdu

Imam al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dengan judul, “Mengumandangkan Azan dengan Suara yang Nyaring”. Kemudian beliau mencantumkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits tersebut Abu Sa’id berkata kepada seseorang,

إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الغَنَمَ وَالبَادِيَةَ، فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ، أَوْ بَادِيَتِكَ، فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ: لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤَذِّنِ، جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ، إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Aku lihat kamu senang menggembala kambing sampai ke tempat yang jauh. Jika suatu ketika kamu menggembala kambing, maka kumandangkanlah adzan shalat dengan suara yang nyaring. Sebab, tidak ada satu makhluk pun dari kalangan jin, manusia dan lainnya yang mendengar suara muadzin kecuali ia akan menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat.” (HR. al-Bukhari no. 609 di dalam Shahihnya, dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri)

Berdasarkan hadits di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa tata cara adzan yang benar adalah dengan suara nyaring.

Oleh karenanya, Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ketika bermimpi melihat tata cara adzan kemudian menyampaikannya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata:

إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ، فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ

“Itu adalah mimpi yang benar insyaAllah. Bangkitlah bersama Bilal, lalu sampaikan mimpimu kepadanya! Kemudian perintahkan dia untuk mengumandangkan adzan dengan tata cara tersebut, karena suaranya lebih nyaring daripada suaramu.” (HR. Abu Dawud no. 499; at-Tirmidzi no. 189; Ibnu Majah no. 778, dari Sahabat Abdullah bin Zaid, shahih)1

Pada hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abdullah bin Zaid untuk mengumandangkan adzan karena ia yang bermimpi melihat tata caranya. Akan tetapi Rasulullah lebih memprioritaskan Bilal yang suaranya lebih nyaring dan lebih tinggi. Sehingga yang menjadi tolok ukur adalah tinggi dan nyaringnya suara, bukan indah dan bagus lekukan nadanya.

Pengingkaran Para Ulama Terhadap Tata Cara Adzan yang Melampaui Batas

Disebutkan di dalam sebauah riwayat:

وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنٍ: إِنِّي أُبْغِضُكَ فِي اللهِ؛ إِنَّكَ تَبْغِي فِي أَذَانِكَ.

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata kepada seorang muadzin, “Aku membencimu karena Allah. Sebab, kamu melampaui batas dalam mengumandangkan adzan.”

Pada riwayat lain dengan redaksi:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: إِنِّي لَأُحِبُّكَ فِي اللَّهِ، قَالَ لَهُ: «وَلَكِنِّي أُبْغِضُكَ فِي اللَّهِ». قَالَ: لِمَ؟ قَالَ: «إِنَّكَ تَبْغِي فِي أَذَانِكَ، وَتَأْخُذُ الْأَجْرَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ»

“Ada seorang berkata kepada Ibnu Umar, ‘Aku mencintaimu karena Allah.’

Ibnu Umar menjawab, ‘Akan tetapi aku membencimu karena Allah!’

Ia bertanya, “Kenapa demikian?”

Sungguh kamu telah melampaui batas dalam mengumandangkan adzan dan mencari upah dalam membaca dan mengajarkan Kitab Allah”, jawab Ibnu Umar. (HR. Abdurrazzaq di dalam al-Mushannaf)2

Tentang riwayat di atas Ibnu Rajab menyatakan,

يُشِيرُ إِلَى أَنَّهُ يَتَجَاوَزُ الحَدَّ المَشْرُوعَ بِتَمْطِيطِهِ وَالتَّطْرِيبِ فِيهِ

“Ibnu Umar memberi isyarat, bahwa yang dimaksud adalah melampaui batas yang ditentukan syariat, yaitu dengan cara tamthith dan tathrib.” 3

Kemudian Imam Ahmad rahimahullah juga pernah ditanya tentang adzan tathrib. Beliau berkata, “Ini amalan yang diada-adakan.”4

Imam as-Suyuthi rahimahullahu menyatakan,

فَصْلٌ بِدَعٌ مُتَفَرِّقَاتٌ، وَمِنْ ذَلِكَ التَّلْحِينُ فِي القِرَاءَةِ وَالآذَان.

“Pasal : Tentang beragam bentuk kebid’ahan. Diantaranya: melakukan talhin dalam bacaan al-Quran dan adzan.” Kemudian beliau menukil kisah Sahabat Abdullah bin Umar yang telah disebutkan di atas.5

Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan,

وَالقَوْلُ فِي الأَذَانِ بِالتَّطْرِيبِ كَالْقَوْلِ فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بِالتَّلْحِينِ. وَكَرِهَهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ أَيْضًا. وَقَالَ إِسْحَاقُ: هُوَ بدعة -: نقله عنه إسحاق بن منصور.

“Fatwa terkait (larangan) adzan dengan cara tathrib sama seperti fatwa membaca Al-Quran dengan talhin. Dan hal itu dibenci oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i. Ishaq (bin Rahuyah) mengatakan, “Perkara itu adalah bid’ah.” Fatwa ini dinukil oleh Ishaq bin Manshur.”6

Imam Abu Thalib Al-Makki7 rahimahullah menyebutkan diantara perkara bid’ah di dalam adzan,

وَمِنْ ذَلِكَ التَّلْحِينُ فِي الأَذَانِ وَهُوَ مِنَ الْبَغْيِ وَالاِعْتِدَاءِ فِيهِ

“Termasuk perkara bid’ah adalah talhin dalam adzan. Hal ini merupakan perbuatan melampaui batas dan berlebih-lebihan.” Lalu menyebutkan kisah Ibnu Umar di atas.8

Penjelasan Makna Talhin, Tamthith dan Tathrib Pada Adzan

Dari uraian tersebut, kita ketahui bahwa adzan yang melampaui batas dan diingkari oleh para ulama adalah adzan yang mengandung talhin, tamthith atau tathrib. Maka akan kami terangkan secara ringkas makna dari istilah-istilah tersebut.

  • Talhin adalah memanjang-manjangkan bacaan, seolah-olah seperti melantunkan nyanyian. Hal ini makruh di dalam adzan dan iqamah.9
  • Adapun makna tathrib adalah memanjang mad (bacaan panjang) secara berlebihan disertai lekukan nada. Ibnu Farhun10 rahimahullah menyatakan,

وَالتَّطْرِيبُ: مَدُّ الْمَقْصُورِ، وَقَصْرُ الْمَمْدُودِ

“Tathrib adalah: memanjangkan bacaan yang semestinya pendek dan memendekkan bacaan yang semestinya panjang (karena mengikuti naik turunnya nada -ed)11.”

Ibnu Naji at-Tanukhi12 rahimahullah berkata,

يُكْرَهُ التَّطْرِيبُ؛ لِأَنَّهُ يُنَافِي الْخُشُوعَ وَالْوَقَارَ، وَيَنْحُو إلَى الْغِنَاءِ

“Tidak disukai perbuatan tathrib (melagukan adzan) karena menafikan khusyuk dan tenang, serta mengarah kepada penyerupaan lagu-lagu dan nyanyian.”13

  • Adapun tamthith berasal dari kata math (مَطٌّ), yang secara bahasa bermakna memperpanjang dan mengulur-ulur sesuatu.14 Oleh karenanya karet yang memiliki sifat elastis disebut dengan mathath (المَطاطُ) di dalam Bahasa Arab.

Penutup dan Kesimpulan

Dari beberapa uraian ringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa adzan dengan suara yang mendayu-dayu dan memanjang-manjangkan bacaan secara berlebihan adalah hal yang diingkari para ulama. Minimal hukumnya makruh secara syariat.

Tata cara adzan yang dihasung oleh syariat adalah yang dikumandangkan dengan suara keras dan nyaring. Sebagaimana di dalam hadits Abdullah bin Zaid ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan karena suaranya yang nyaring.

Semoga artikel ringkas ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Amin. FAI-AAK

Penulis: Fahri Abu Ilyas


1Disahihkan oleh Muhammad Nashiruddin di dalam Misykah al-Mashabih (1/205).

2Hadits ini meski sanadnya lemah, akan tetapi menjadi penguat fatwa para ulama yang akan kita sebutkan.

3Fathul Bari (5/218)

4Fathul Bari (5/219)

5Al-amr bil Ittiba wan Nahyi ‘anil Ibtida’ (Hal. 190)

6Fathul Bari karya Ibnu Rajab (5/219)

7 Muhammad bin Ali bin Athiyah al-Haritsi al-Makki (Wafat 386 H)

8 Qutu al-Qulub fi Mu’amalati al-Mahbub wa Wasfu Thariq al-Murid ila Maqami at-Tauhid (1/282)

9Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (10/340) dan Asy Syarhul Mumti’ ala Zadil Mustaqni’ (2/70)

10Ibrahim bin Ali bin muhammad Burhanuddin al Ya’muri (Wafat 799 H)

11Mawahibul Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil (1/438)

12Qasim bin Isa bin naji At Tanukhi (wafat 837 H)

13Mawahibul Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil (1/438)

14Lihat al-Qamus al-Muhith (hlm. 688)