oleh

4 Landasan Seorang Muslim Tidak Merayakan Hari Valentine

Sungguh telah terjadi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan tentang umatnya yang tersebar di masa ini pada mayoritas negeri-negeri kaum muslimin, yaitu mereka mengikuti para musuh-musuh Allah dari orang-orang kafir pada adat-adat dan perilaku mereka, bahkan pada syiar-syiar agama mereka dengan ikut berpartisipasi merayakan hari raya mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh demi Allah nanti kalian benar-benar akan meniru ajaran-ajaran kaum sebelum kalian. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka masuk ke lubang hewan dhab (padang pasir), niscaya kalian akan ikut memasukinya.” Para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab, “Siapa lagi?”1

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksud dari kata ‘sejengkal, ‘sehasta’ adalah permisalan yang menunjukkan kuatnya upaya meniru dan menyerupai ahlul kitab. Keserupaan yang dimaksud yaitu dalam perilaku maksiat dan penyimpangan mereka, bukan pada kekufuran. Ini merupakan mukjizat yang nampak pada ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh telah terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.”2

Hari Valentine Bukan Hari Raya Kaum Muslimin

Hari raya merupakan simbol agama Islam yang begitu mulia nan agung. Hari raya merupakan sebuah ibadah, yang dengannya seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ibadah merupakan perkara tauqifiyyah yaitu pensyariatannya berlandaskan al-Qur’an dan hadits; artinya, pemberlakuan sebuah ibadah dari Allah dan Rasul-Nya sehingga seseorang tidak boleh beramal sampai ada dasar pembolehan dari Allah dan Rasul-Nya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu, tidak boleh mengada-ngadakan sebuah hari raya yang tidak pernah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkaitan dengan hari Valentine yang kerap dirayakan setiap tahun adalah sebuah hari raya yang tidak pernah disyariatkan dalam agama Islam yang agung nan mulia ini. Islam hanya memiliki tiga hari raya :

  1. Hari raya pekanan yaitu hari Jum’at
  2. Hari raya Idul Fitri
  3. Hari raya Idul Adha

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat tiba di kota madinah mendapati penduduknya memiliki 2 hari yang mereka bermain dan bergembira pada hari itu, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟

“Ada apa dengan 2 hari ini?” Para Sahabat menjawab:

كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ

“Kami terbiasa bermain pada 2 hari tersebut sejak masa jahiliyah.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengganti 2 hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu: ‘Idul ‘Adha dan ‘Idul Fitri.” 3

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa pada hadits tersebut terdapat sisi penetapan hukum berupa diharamkannya bergembira pada hari-hari raya kaum musyrikin dan haramnya meniru kebiasaan mereka.4

Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah juga menyatakan: ”Allah tidak mensyariatkan hari raya dalam kurun waktu setahun kecuali tiga hari raya saja yaitu Idul Adha, Idul Fitri dan hari raya pekanan yaitu hari Jum’at. Adapun hari raya lainnya yang kalian lakukan maka sungguh kalian telah mengada-adakan sebuah amalan dalam agama Allah yang tidak pernah Allah syariatkan.”5

Merayakan Hari Valentine Merupakan Tasyabbuh (Menyerupai) Orang Kafir

Menyerupai orang kafir, baik itu dari sisi aqidah, ibadah maupun dari sisi akhlak merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali-Imran: 105)

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan kaum mukminin dari menempuh jalannya ahlul kitab – yaitu Yahudi dan Nasrani- yang telah mengubah agama dan menyelewengkan makna kitab-kitab mereka. Mereka membuat perkara baru dalam agama mereka yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya serta meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum makai ia termasuk dalam golongan mereka.”

Menyerupai kaum kafir dalam perkara agama mereka -seperti perayaan hari Valentine- lebih buruk dan berbahaya dibandingkan menyerupai mereka dalam hal berpakaian, adat, atau perilaku. Karena syariat agama mereka tidak lepas dari 3 hal:

  1. Amalan yang diada-adakan
  2. Syariat yang telah dirubah dan diselewengkan
  3. Syariat yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya islam)

Berdasarkan tiga hal di atas maka tidak ada satu amalan atau syariat dari agama mereka yang dipastikan kebenarannya bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ajakan Menyebarkan Cinta Kasih Kepada Orang Kafir

Hal ini jelas menyelisihi prinsip agama Islam, karena seorang mukmin wajib membenci orang kafir karena kekufuran mereka walaupun seorang mukmin tetap diperintah untuk berbuat adil dan tidak menzalimi orang kafir selama mereka tidak memerangi kaum muslimin.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)

Berbuat baik dan adil terhadap orang kafir tidak berarti kita harus mencurahkan cinta dan kasih sayang padanya, bahkan yang wajib adalah membencinya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membencinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya” (az-Zumar: 7)

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka”. (al-Mujadalah: 22)

Seorang ulama yang terkenal keilmuan yang luas, Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim rahimahullah menjelaskan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa tidak akan didapati seorang yang beriman berkasih sayang dengan orang kafir. Barangsiapa yang berkasih sayang dengannya maka dia bukanlah seorang yang beriman.”

Beliau juga mengatakan: “Perbuatan meniru (orang kafir) akan mewariskan sikap kasih sayang dan saling cinta di dalam jiwa seseorang, sebagaimana hal tersebut akan mewariskan sikap meniru mereka pada raga seseorang.”

Sehingga, tidak mungkin akan terkumpul kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuatu yang Allah cintai bersamaan dengan kecintaan kepada kekufuran dan orang kafir dalam hati seorang mukmin. Barangsiapa yang mencintai Allah Ta’ala pasti dia akan membenci kekufuran.

Saling Mencinta Diluar Hubungan Pernikahan

Sangat disayangkan banyak pemuda dan pemudi Islam merayakan hari valentine karena syahwat yang diwujudkan pada hari valentine dan ini sangat berbahaya bagi akidah seorang muslim.

Dampaknya adalah tersebarknya praktek zina dan kekejian, oleh karena itu pemuka agama Nasrani menentang dan menolak hal ini di setiap waktunya dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menjalani hubungan dengan perempuan yang tidak halal baginya yang mana hal itu merupakan dosa besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al-Isra: 32)

Seorang ulama ahli tafsir abad ini Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’di menjelaskan ayat di atas:

“Larangan mendekati zina lebih mengena daripada larangan dari melakukannya, karena larangan dari mendekati zina mencakup larangan untuk memulainya dan juga larangan dari mendekati faktor-faktor pendorongnya.”6

Allah mensifati zina dan mencelanya karena zina merupakan hal yang keji; yaitu, dosa yang dianggap kotor dan melampaui batas oleh syariat, akal dan fitrah manusia karena padanya terdapat pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala, hak wanita dan keluarganya atau suaminya, merusak hubungan suami istri, tercampurnya nasab dan kerusakan-kerusakan lainnya.7

Penutup

Demikian sekelumit pemaparan alasan mengapa seorang muslim tidak merayakan hari Valentine. Kita akhiri atikel ini dengan sebuah nasehat dari seorang imam ahli sejarah yang mulia yaitu Imam adz-Dzahabi rahimahullah, beliau menyatakan:

“Apabila kaum Nashrani memiliki hari raya. Begitupula kaum Yahudi, mereka memiliki hari raya khusus di kalangan mereka. Maka tidak boleh seorang muslim ikut merayakannya sebagaimana tidak boleh mengikuti syariat dan kiblat mereka”.8

Wallahu a’lam bish shawab

REI-IWU

Penulis: Reihan Audie

Referensi:

  • Idul Hubb wa Qishatuhu wa Sya’ariuhu wa Hukmuhu, karya Ibrahim bin Muhammad al-Haqil rahimahullah

 

Footnotes

  1. HR. Bukhari (7320), dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu
  2. Lihat Syarh Shahih Muslim (16/220)
  3. HR. Abu Dawud (1134), dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, shahih, lihat Misykah al-Mashabih
  4. Fathul Bari (2/442)

    وَاسْتُنْبِطَ مِنْهُ كَرَاهَةُ الْفَرَحِ فِي أَعْيَادِ الْمُشْرِكِينَ وَالتَّشَبُّهِ بِهِمْ

     

  5. Liqa’ Babul Maftuh (6/35)

    الله تعالى لم يجعل في السنة إلا ثلاثة أعياد فقط: عيد الأضحى، وعيد الفطر، وعيد الأسبوع يوم الجمعة، أما أن تحدثوا أعياداً أخرى فإنكم تحدثون في دين الله ما لم يشرعه

     

  6. Lihat Tafsir as-Sidi (hlm. 457)

    والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه

     

  7. Lihat Tafsir as-Sidi (hlm. 457)

    ووصف الله الزنى وقبحه بأنه {كَانَ فَاحِشَةً} أي: إثما يستفحش في الشرع والعقل والفطر لتضمنه التجري على الحرمة في حق الله وحق المرأة وحق أهلها أو زوجها وإفساد الفراش واختلاط الأنساب وغير ذلك من المفاسد

     

  8. Lihat Idul Hubb wa Qishatuhu wa Sya’ariuhu wa Hukmuhu (hlm. 9)

    فإذا كان للنصارى عيد، ولليهود عيد، كانوا مختصين به، فلا يشركهم فيه مسلم، كما لا يشاركهم في شرعتهم ولا قبلتهم