oleh

3 Jenis dan Cara Tawasul Sesuai Bimbingan Nabi

Dengan bertawasul, banyak orang meyakini doa dan hajatnya akan lebih mudah terkabul. Karena hakikat tawasul adalah meminta bantuan kepada orang dekat untuk membantu menyampaikan hajat kita kepada pihak ketiga agar dapat memenuhinya.

Dengan kata lain, tawasul adalah meminta bantuan kepada perantara (wasilah) untuk menyampaikan hajat atau kebutuhan kita kepada orang yang mampu mengabulkannya. Contohnya, seperti rakyat yang hendak menyampaikan kebutuhannya kepada Bapak Presiden. Untuk itu, tentu harus melalui beberapa pihak yang menjadi perantara. Ini contoh tawasul antar sesama makhluk.

Demikian halnya dengan kebutuhan kita kepada Allah, Sang Khalik. Ada beberapa cara untuk bertawasul agar hajat kita mudah dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun tawasul tersebut harus dilakukan dengan cara yang syar’i, sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana cara bertawasul yang syar’i? Silakan simak beberapa pembahasan berikut ini!

Definisi Tawasul Secara Bahasa

Tawasul adalah kata yang diserap dari Bahasa Arab asli (fasih). Artinya, kata tawasul sudah akrab di kalangan orang Arab sejak dahulu. Oleh karenanya, untuk mendefinisikan makna tawasul yang tepat harus dikembalikan kepada makna yang dipahami oleh orang Arab.

Menurut Ibnul Atsir (544-606 H)1, wasil adalah orang yang berkeinginan. Wasilah maknanya adalah kedekatan dan perantara2. Sehingga tawasul maknanya: (مَا يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الشَّيْء ويُتَقَرَّبُ بِهِ) segala hal yang dapat menjadi perantara untuk meraih sesuatu dan mendekatkan kepadanya.

Al-Fairuz Abadi (729-817 H)3 menyimpulkan bahwa makna tawasul adalah mengerjakan amal/perbuatan yang dapat mendekatkan kepada Allah. Makna yang semisal juga dikemukakan oleh Ibnu Faris (329-395 H)4 dan al-Raghib al-Asfahani (w. 502 H).

Menurut al-Raghib5, hakikat tawasul kepada Allah adalah menempuh jalan kepada-Nya dengan mengerjakan amal ibadah serta mencari kemuliaan-kemuliaan syariat.

Makna-makna di atas selaras dengan pengertian yang tercantum di dalam KBBI, yaitu tawasul adalah mengerjakan suatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Makna Tawasul di dalam al-Quran

Makna tawasul di dalam al-Quran tercermin dalam dua ayat:

Pertama, Allah Ta’ala berkata,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah wasilah kepadanya, serta berjihadlah di jalan-Nya. Semoga kalian beruntung.” (al-Maidah: 35)

Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla berkata:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isra’: 57)

Pada dua ayat di atas disebutkan kata wasilah yang masih satu rumpun dengan kata tawasul, sebagaimana penjelasan sebelumnya. Nah, terkait makna mencari wasilah pada ayat pertama (al-Maidah: 5), pakar ilmu tafsir al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah menerangkan maknanya, yaitu:

واطلبوا القربة إليه بالعمل بما يرضيه

“Carilah kedekatan kepada-Nya dengan mengerjakan amalan yang dapat mendatangkan ridha-Nya.”6

Al-Imam Ibnu Katsir juga menerangkan bahwa makna wasilah pada ayat tersebut adalah kedekatan. Kemudian beliau menukil ucapan Qatadah rahimahullah,

أَيْ تَقَرَّبُوا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيهِ

“Artinya: Mendekatlah kepada-Nya dengan menaati-Nya dan mengerjakan amalan yang bisa mendatangkan ridha-Nya.”

Tafsir ayat tersebut adalah pendapat para imam dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mufasir, imbuh Ibnu Katsir.7

Adapun tentang ayat yang kedua (al-Isra’: 57), salah satu sahabat yang mulia yaitu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, menerangkan tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut:

نَزَلَتْ فِي نَفَرٍ مِنَ الْعَرَبِ كَانُوا يَعْبُدُونَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ، فَأَسْلَمَ الْجِنِّيُّونَ وَالْإِنْسُ الَّذِينَ كَانُوا يَعْبُدُونَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“Ayat tersebut turun berkaitan dengan beberapa orang Arab yang dahulu beribadah kepada beberapa orang dari kalangan jin. Kemudian para jin tersebut masuk Islam dalam keadaan orang-orang yang beribadah kepada mereka tersebut tidak menyadarinya.” (HR. Muslim no.3030)

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menerangkan,

أَيِ اسْتَمَرَّ الْإِنْسُ الَّذِينَ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ عَلَى عِبَادَةِ الْجِنِّ وَالْجِنُّ لَا يَرْضَوْنَ بِذَلِكَ لِكَوْنِهِمْ أَسْلَمُوا وَهُمُ الَّذِينَ صَارُوا يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ

“yaitu orang-orang tersebut tetap melanjutkan peribadahannya kepada para jin. Sementara itu para jin tidak ridha akan hal itu, karena mereka telah masuk Islam. Mereka itulah (para jin) yang senantiasa mencari wasilah kepada Rabb mereka.”8

Demikian dua ayat yang menyebutkan tentang wasilah sekaligus tafsir para ulama tentangnya. Kesimpulannya, makna mencari wasilah (tawasul) yang ada di dalam al-Quran adalah mencari ridha Allah dengan mengerjakan amal saleh dan ketaatan yang dapat mendekatkan diri seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tawasul Syar’i dan Berbagai Jenisnya

Melalui pemaparan di atas, kita mengetahui makna tawasul secara bahasa sekaligus makna tawasul yang termuat di dalam al-Quran. Dari penjelasan tersebut kita dapat memahami bahwa tawasul adalah sebuah ibadah syar’i yang dituntunkan oleh Islam. Oleh karenanya, termasuk kesempurnaan Islam adalah mengajarkan tata cara tawasul itu sendiri.

Berdasarkan beberapa referensi, dapat disimpulkan bahwa tawasul yang syar’i terbagi menjadi tiga jenis:

  1. Tawasul Dengan Asmaul Husna dan Sifat-sifat Allah yang Mulia

Pertama, tawasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut Asmaul Husna (nama-nama Allah) dan sifat-sifat-Nya yang mulia ketika berdoa. Contoh doa berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا اَللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ، الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ya Allah al-Ahad ash-Shamad (Maha Esa lagi Maha Perkasa), yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada satu pun yang sekufu dengan-Nya; ampunilah aku atas segala dosa-dosaku. Sungguh Engkau adalah al-Ghafur ar-Rahim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).”

Dalam doa di atas terkandung beberapa nama Allah seperti: al-Ahad, ash-Shamad, al-Ghafur dan ar-Rahim. Disebutkan pula dalam doa tersebut berbagai sifat Allah seperti: tidak beranak dan tidak diperanakkan. Betapa agungnya doa tersebut, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tentang sahabat yang mengucapkan doa itu,

قَدْ غُفِرَ لَهُ، قَدْ غُفِرَ لَهُ

“Ia telah diampuni, ia telah diampuni.” (HR. Abu Dawud no.985, dari Sahabat Mihjan bin al-Adra’, sahih)

Tawasul dengan nama-nama Allah juga telah ditegaskan secara langsung di dalam al-Quran. Allah ‘Azza wa Jalla berkata,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah Asmaul Husna maka berdoalah dengannya.” (al-A’raf: 180)

Artinya, berdoalah kepada Allah Ta’ala dengan cara tawasul menggunakan Asmaul Husna. Sebagaimana contoh doa di atas.

  1. Tawasul dengan Amal Saleh yang Pernah Dikerjakan

Kedua, tawasul kepada Allah Ta’ala dengan amal saleh yang pernah dikerjakan. Yaitu, dengan menyebutkan amal saleh apapun yang dianggap besar dan diharapkan diterima di sisi Allah. Contoh tawasul jenis ini adalah kisah 3 orang dari Bani Israil yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Alkisah, ada 3 orang Bani Israil yang tengah berlindung di dalam sebuah gua. Tanpa disangka mulut gua tersebut tiba-tiba tertutup oleh sebuah batu besar, entah apa yang membuatnya tertutup. Sontak 3 orang tersebut kebingungan. Mereka tidak mampu menggeser batu tersebut barang sedikit pun.

Lantas salah seorang dari mereka mengajak kedua temannya untuk berdoa kepada Allah sembari bertawasul dengan amal saleh yang pernah mereka kerjakan. Maka satu per satu mulai memanjatkan doanya masing-masing diawali dengan menyebutkan amal perbuatan mereka.

Orang pertama menyatakan dahulu pernah merawat kedua orang tuanya yang telah tua renta. Setiap sore ia biasa menyediakan susu untuk diminum keluarganya. Dalam menyajikannya, ia selalu mendahulukan kedua orang tuanya sebelum anak dan istrinya.

Suatu hari ia terlambat pulang ke rumah hingga larut malam. Ia dapati kedua orang tuanya sudah tidur pulas. Sementara itu anak-anaknya merengek-rengek kelaparan dan meminta susu yang ia bawa. Namun karena rasa bakti kepada orang tuanya yang sangat besar, ia tidak ingin mendahulukan anak-anaknya. Maka ia pun membiarkan mereka kelaparan dan menunggu hingga kedua orang tuanya terbangun di pagi hari lalu memberikan susu tersebut.

Kemudian orang kedua menyebutkan: dahulu ia mempunyai saudari sepupu yang paling ia kagumi. Ia pun mencoba merayunya agar mau berzina dengannya. Akan tetapi si saudari menolaknya. Sampai datang masa paceklik dan ekonomi sulit. Dalam momen ini ia kembali merayunya sambil menyodorkan uang 120 dinar. Si wanita pun tergiur dan menerima ajakannya.

Namun pada detik-detik ia hendak melakukan tindakan amoral itu, tiba-tiba saudarinya mengingatkannya untuk bertakwa kepada Allah. Tak disangka nasehat di momen yang sangat krusial itu menyentuh relung kalbunya. Ia pun segera menarik diri dan membiarkan uang 120 dinar tersebut untuknya.

Kemudian orang ketiga menyebutkan: dahulu ia memiliki lahan ternak dan mempekerjakan beberapa orang pegawai. Seluruh pegawai tersebut telah ia bayar gajinya, kecuali satu orang. Pegawai tersebut pergi terlebih dahulu sebelum menerima gajinya.

Demi menjaga amanah, ia menyimpan gaji pegawainya tersebut dengan menginvestasikannya untuk pengembangbiakan ternak hingga jumlah ternaknya mencapai sekitar satu lembah! Kemudian datanglah sang pegawai kepadanya meminta haknya. Maka ia pun memberikan seluruh peternakan yang ia kembangkan dari gaji pegawai tersebut tanpa mengambil untung satu peser pun.

Setelah masing-masing menyebut amal salehnya, maka mereka mulai memanjatkan doa kepada Allah. Mereka mengatakan,

اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ

“Ya Allah, jikalau aku melakukan amalan tersebut dengan ikhlas mengharap wajah-Mu maka berilah kami jalan keluar dari musibah yang menimpa kami ini.” (HR. al-Bukhari di dalam Shahihnya no.2272, dari sahabat Ibnu Umar)

Setiap salah seorang dari mereka memanjatkan doa tersebut maka terbuka sedikit celah dari mulut gua itu, hingga akhirnya mereka dapat keluar darinya dengan selamat.

Tawasul jenis ini juga termuat dalam beberapa ayat di dalam al-Quran, di antaranya adalah pernyataan Allah Ta’ala,

رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Wahai Rabb kami, kami beriman terhadap (kitab) yang Engkau turunkan dan kami mengikuti ajaran Rasul. Maka tetapkanlah kami sebagai orang-orang yang mempersaksikan (keimanan).” (Ali Imran: 53)

Yaitu, tawasul dengan keimanan kepada Kitab Allah dan dengan sikap mengikuti Rasul.

  1. Tawasul dengan Meminta Doa dari Orang Saleh

Misalnya ada sebuah musibah melanda kaum muslimin. Kemudian salah seorang dari mereka diminta untuk berdoa kepada Allah Ta’ala agar mengentaskan mereka dari musibah tersebut. Dengan keyakinan bahwa orang itu adalah sosok yang dikenal saleh dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Sehingga doanya diharapkan lebih mudah terkabul.

Hal ini dipraktikkan langsung di masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka biasa bertawasul dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya ketika terjadi musim kemarau panjang, sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan air. Tanaman dan ternak pun mati. Maka salah seorang Arab Badui berbicara kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tengah berkhutbah di atas mimbar. Ia meminta beliau berdoa agar Allah segera menurunkan hujan.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya seraya berdoa,

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

“Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami.” 3 kali (Muttafaq ‘alaih)

Tak lama berselang, langit langsung mendung. Awan-awan berkumpul dan menyatu seperti tameng. Hujan pun turun dengan derasnya membasahi jalan-jalan hingga tergenang air.

Contoh lainnya adalah ketika Umar radhiyallahu ‘anhu bertawasul dengan doa Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepeninggal beliau. Umar menyatakan,

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, dahulu kami biasa bertawasul dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari di dalam Shahihnya, dari sahabat Anas bin Malik)

Maka Allah pun menurunkan hujan kepada mereka.

Demikianlah 3 cara tawasul yang syar’i, sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah kami paparkan beberapa contoh praktik tawasul tersebut berdasarkan dalil dari al-Quran dan Sunnah. Semoga dapat diamalkan bersama. Amin  FAI-THR

Penulis: Fahri Abu Ilyas


1 An-Nihayah fi Gharib al-Hadits (5/185)

2 Kata wasil, wasilah dan tawasul berasal dari akar kata yang sama, yaitu wasala (وسل). Sehingga ketiganya memiliki keterkaitan makna yang erat.

3 Al-Qamus al-Muhith (1068)

4 Maqayis Lughah (6/110)

5 Al-Mufradat (871)

6 Tafsir ath-Thabari (10/290)

7 Lihat tafsir Ibnu Katsir (2/52-53)

8 Fathul Bari (8/397)